‘I
promised I would wait for you.
I promised that I wouldn’t give up.
I promised that you are the only one.
I won’t break my promises.’
I promised that I wouldn’t give up.
I promised that you are the only one.
I won’t break my promises.’
Jutaan
butiran air kini tengah menghujam bumi. Membasahi apa saja yang sengaja tidak
berlindung darinya. Seorang gadis mungil berambut panjang hanya bisa mematung
di jendela kamarnya. Mengukir embun dari setiap helaan napasnya. Menyambut
senja yang hampir datang.
Kalender
yang tergantung di sudut kamarnya seketika menarik perhatiannya. Seperti
terpanggil, Nafa menoleh, matanya langsung tertuju pada sebuah tanggal yang
terlihat mencolok; 11 Februari.
“Hai,
Evan! Aku kangen kamu.”
Dia
semakin erat memeluk foto di bingkai kecil yang digenggamnya itu. Foto dua orang
yang tengah tersenyum lebar. Mereka bahagia, tanpa jarak yang memisahkan. Ya,
itu Nafa dan Evan. Beberapa waktu lalu, sebelum Evan memutuskan untuk menuntut
ilmu di negeri orang. Sekarang mereka terpisah oleh jarak tanpa diinginkan.
Berjanji untuk saling setia dan menjaga hati satu sama lain. Entah berapa lama lagi
mereka bisa saling menahan rindu.
Jemari
Nafa yang berdampingan dengan sebuah pena, menari-nari diatas sebuah kertas
kecil. Menuliskan beberapa kata yang mewakili perasaannya; Seandainya, jarak dapat ku tembus dalam sekejap, mungkin tak akan ada
lagi rindu yang menggangguku.
Dia
beranjak. Menempelkan kertas kecil itu di sudut kamarnya bersama puluhan kertas
lainnya. Mereka, saksi bisu penantian Nafa selama ini. Saksi bagaimana
kerinduan itu terpaksa harus ditumpahkan hanya dengan beberapa kata. Menanti
dia, yang hanya bisa didengar suaranya. Setia, pada janji yang diharapkan akan
terwujud jadi nyata secepat mungkin.
***
Evan
menghentikan aktivitasnya sejenak. Menyadari beberapa rintik hujan tampak mulai
membasahi bumi. Suasana berubah. Langit tampak lebih kelabu dari biasanya.
Tangannya kemudian bergerak aktif mencari sebuah foto di file Ipad yang
digenggamnya. Dalam hitungan detik, foto dua orang yang tengah tersenyum telah
memenuhi layar.
‘Disini sedang turun hujan. Aku
terjebak di sebuah kafe kopi ini sendirian. Andai ada kamu disini. Sedang apa
kamu disana, Naf? Apa hujan juga sedang bercerita kepadamu? Aku sangat merindukanmu,
Nafa..’
Evan
mencoba mendekatkan perasaannya pada Nafa yang ada di seberang benua. Selama
beberapa bulan ini mereka hanya saling bertatap muka lewat video call dan
bertukar pesan singkat. Evan hanya sering berharap; Seandainya, waktu dapat aku singkat, mungkin tak lama lagi rindu ini
pasti terobati.
Hujan
selalu membawa cerita untuk Nafa dan Evan. Mengingatkan mereka kepada banyak
momen manis yang telah terlewati ketika hujan turun. Ketika pertama kali mereka
bertemu, mereka akrab, dan banyak momen sederhana namun indah ketika dikenang
lagi. Hujan juga membuat mereka selalu yakin, bahwa akan tiba saatnya mereka
bertemu lagi. Seperti hujan yang selalu setia datang kembali memberi kedamaian.
Nafa
tersenyum melihat pesan singkat dari Evan. 11 Februari tinggal beberapa hari
lagi. Mereka semakin tidak sabar menanti saat itu tiba. Setelah sekian lama.
Semoga harapan akan terwujud menjadi kenyataan. Karena semuanya pasti akan
indah pada waktunya.
‘Aku
hanya terdiam di jendela kamarku sambil menikmati hujan dari balik kaca. Kamu
mau tau? Hujan bercerita padaku bahwa kamu akan segera pulang. Aku harap hujan
tidak pernah berdusta. Karena aku juga sangat merindukanmu, Evan..’
***
“Hai, Nafa! Aku telah berusaha
menghubungimu. Apa kamu baik-baik saja? Aku khawatir karena ponselmu tidak
aktif. Aku harap kamu segera menghubungiku setelah menerima voice note ini.
Selamat tanggal 11, Dear…”
Pagi
yang kelabu. Sang mega telah bertengger di atmosfir. Rasanya tidak ada yang
bisa memprediksi, sampai kapan awan itu masih bisa menampung uap air . Udara
sekitar terasa lembab, membuat beberapa orang enggan beranjak dari selimut
mereka apalagi di hari Minggu.
Nafa
mengerjapkan matanya. Sedikit terkejut dengan ponselnya yang ternyata mati
semalaman tanpa dia sadari. Pikirannya langsung melayang ke Evan. Laki-laki itu
pasti kecewa karena tidak bisa menghubunginya. Evan memang tidak pernah marah,
hatinya terlalu luas untuk memaafkan dan mengalah agar setiap masalah dalam
hubungan jarak jauhnya dengan Nafa dapat segera terselesaikan.
“Halo,
Evan…”
“Hey,
Nafa. Kamu…” Jawab seseorang diseberang sana.
“Ah,
maaf. Ternyata ponselku mati semalaman dan aku tidak menyadarinya. Maaf, aku
harap kamu mengerti, Dear.”
Nafa
mendengar Evan tertawa santai, “Syukurlah kamu baik-baik saja. Oh, ya, aku pasti
mengerti. Jadi disana masih pagi? Segera bersiap dan lanjutkan aktivitasmu,
Naf.”
Nafa
menghela napas, “Siap, bos! Selamat tanggal 11, Dear. I miss you…”
“I
love you and I miss you too, Naf.” Balas Evan tapi rasanya sudah tidak sempat
terdengar oleh Nafa yang lebih dulu memutuskan sambungan telephone mereka.
Tidak lama setelah percakapan itu
berakhir, Evan tersenyum melihat sebuah gambar yang dikirim Nafa. Dia yakin itu
hasil karyanya semalam. Jika bisa, Evan ingin sekedar pulang ke Indonesia untuk
bertemu Nafa dan membawanya ke New York agar mereka selalu bersama. Jarak
memang memisahkan, tapi hati mereka akan selalu tertaut satu sama lain. Mereka
yakin, waktu pasti akan mengalah. Ya, waktu akan membuat mereka bersatu kembali
lagi, nanti.
'Dear my 11 Februari,
I
may be thousands of miles away but you’re still the first thing on my mind ‘cause
I just want to be with you, Evan..'
***
Hai! Ketemu lagi~
Ini FF sih namanya, sebenernya bukan cerpen-__-
Kenapa temanya LDR? Saya lagi suka banget lagunya Raisa - LDR.
Gatau kenapa kok merinding aja kalo denger lagu itu,
seolah saya ada di posisi Raisa:") *halah* huehe.
Tapi, ini FF pasti gajelas banget ya, Maaf banget._.v
Tapi ternyata saya berhasil buat cerita pas 800 kata,
setelah selama ini penasaran sama event yang cuma ngebatesin kata max segitu.
Kritik dan saran selalu ditungguuu;)
See u bye!
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar