Sabtu, 11 Oktober 2014

LDR


‘I promised I would wait for you.
I promised that I wouldn’t give up.
I promised that you are the only one.
I won’t break my promises.’
Jutaan butiran air kini tengah menghujam bumi. Membasahi apa saja yang sengaja tidak berlindung darinya. Seorang gadis mungil berambut panjang hanya bisa mematung di jendela kamarnya. Mengukir embun dari setiap helaan napasnya. Menyambut senja yang hampir datang.
Kalender yang tergantung di sudut kamarnya seketika menarik perhatiannya. Seperti terpanggil, Nafa menoleh, matanya langsung tertuju pada sebuah tanggal yang terlihat mencolok; 11 Februari.
“Hai, Evan! Aku kangen kamu.”
Dia semakin erat memeluk foto di bingkai kecil yang digenggamnya itu. Foto dua orang yang tengah tersenyum lebar. Mereka bahagia, tanpa jarak yang memisahkan. Ya, itu Nafa dan Evan. Beberapa waktu lalu, sebelum Evan memutuskan untuk menuntut ilmu di negeri orang. Sekarang mereka terpisah oleh jarak tanpa diinginkan. Berjanji untuk saling setia dan menjaga hati satu sama lain. Entah berapa lama lagi mereka bisa saling menahan rindu.
Jemari Nafa yang berdampingan dengan sebuah pena, menari-nari diatas sebuah kertas kecil. Menuliskan beberapa kata yang mewakili perasaannya; Seandainya, jarak dapat ku tembus dalam sekejap, mungkin tak akan ada lagi rindu yang menggangguku.
Dia beranjak. Menempelkan kertas kecil itu di sudut kamarnya bersama puluhan kertas lainnya. Mereka, saksi bisu penantian Nafa selama ini. Saksi bagaimana kerinduan itu terpaksa harus ditumpahkan hanya dengan beberapa kata. Menanti dia, yang hanya bisa didengar suaranya. Setia, pada janji yang diharapkan akan terwujud jadi nyata secepat mungkin.
***
Evan menghentikan aktivitasnya sejenak. Menyadari beberapa rintik hujan tampak mulai membasahi bumi. Suasana berubah. Langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Tangannya kemudian bergerak aktif mencari sebuah foto di file Ipad yang digenggamnya. Dalam hitungan detik, foto dua orang yang tengah tersenyum telah memenuhi layar.
‘Disini sedang turun hujan. Aku terjebak di sebuah kafe kopi ini sendirian. Andai ada kamu disini. Sedang apa kamu disana, Naf? Apa hujan juga sedang bercerita kepadamu? Aku sangat merindukanmu, Nafa..’
Evan mencoba mendekatkan perasaannya pada Nafa yang ada di seberang benua. Selama beberapa bulan ini mereka hanya saling bertatap muka lewat video call dan bertukar pesan singkat. Evan hanya sering berharap; Seandainya, waktu dapat aku singkat, mungkin tak lama lagi rindu ini pasti terobati.
Hujan selalu membawa cerita untuk Nafa dan Evan. Mengingatkan mereka kepada banyak momen manis yang telah terlewati ketika hujan turun. Ketika pertama kali mereka bertemu, mereka akrab, dan banyak momen sederhana namun indah ketika dikenang lagi. Hujan juga membuat mereka selalu yakin, bahwa akan tiba saatnya mereka bertemu lagi. Seperti hujan yang selalu setia datang kembali memberi kedamaian.
Nafa tersenyum melihat pesan singkat dari Evan. 11 Februari tinggal beberapa hari lagi. Mereka semakin tidak sabar menanti saat itu tiba. Setelah sekian lama. Semoga harapan akan terwujud menjadi kenyataan. Karena semuanya pasti akan indah pada waktunya.
            ‘Aku hanya terdiam di jendela kamarku sambil menikmati hujan dari balik kaca. Kamu mau tau? Hujan bercerita padaku bahwa kamu akan segera pulang. Aku harap hujan tidak pernah berdusta. Karena aku juga sangat merindukanmu, Evan..’
***
            “Hai, Nafa! Aku telah berusaha menghubungimu. Apa kamu baik-baik saja? Aku khawatir karena ponselmu tidak aktif. Aku harap kamu segera menghubungiku setelah menerima voice note ini. Selamat tanggal 11, Dear…”
Pagi yang kelabu. Sang mega telah bertengger di atmosfir. Rasanya tidak ada yang bisa memprediksi, sampai kapan awan itu masih bisa menampung uap air . Udara sekitar terasa lembab, membuat beberapa orang enggan beranjak dari selimut mereka apalagi di hari Minggu.
Nafa mengerjapkan matanya. Sedikit terkejut dengan ponselnya yang ternyata mati semalaman tanpa dia sadari. Pikirannya langsung melayang ke Evan. Laki-laki itu pasti kecewa karena tidak bisa menghubunginya. Evan memang tidak pernah marah, hatinya terlalu luas untuk memaafkan dan mengalah agar setiap masalah dalam hubungan jarak jauhnya dengan Nafa dapat segera terselesaikan.
“Halo, Evan…”
“Hey, Nafa. Kamu…” Jawab seseorang diseberang sana.
“Ah, maaf. Ternyata ponselku mati semalaman dan aku tidak menyadarinya. Maaf, aku harap kamu mengerti, Dear.”
Nafa mendengar Evan tertawa santai, “Syukurlah kamu baik-baik saja. Oh, ya, aku pasti mengerti. Jadi disana masih pagi? Segera bersiap dan lanjutkan aktivitasmu, Naf.”
Nafa menghela napas, “Siap, bos! Selamat tanggal 11, Dear. I miss you…”
“I love you and I miss you too, Naf.” Balas Evan tapi rasanya sudah tidak sempat terdengar oleh Nafa yang lebih dulu memutuskan sambungan telephone mereka.
            Tidak lama setelah percakapan itu berakhir, Evan tersenyum melihat sebuah gambar yang dikirim Nafa. Dia yakin itu hasil karyanya semalam. Jika bisa, Evan ingin sekedar pulang ke Indonesia untuk bertemu Nafa dan membawanya ke New York agar mereka selalu bersama. Jarak memang memisahkan, tapi hati mereka akan selalu tertaut satu sama lain. Mereka yakin, waktu pasti akan mengalah. Ya, waktu akan membuat mereka bersatu kembali lagi, nanti.
'Dear my 11 Februari,
            I may be thousands of miles away but you’re still the first thing on my mind ‘cause I just want to be with you, Evan..'
***


 Hai! Ketemu lagi~
Ini FF sih namanya, sebenernya bukan cerpen-__-
Kenapa temanya LDR? Saya lagi suka banget lagunya Raisa - LDR.
Gatau kenapa kok merinding aja kalo denger lagu itu, 
seolah saya ada di posisi Raisa:") *halah* huehe.
Tapi, ini FF pasti gajelas banget ya, Maaf banget._.v
Tapi ternyata saya berhasil buat cerita pas 800 kata,
setelah selama ini penasaran sama event yang cuma ngebatesin kata max segitu.
Kritik dan saran selalu ditungguuu;)
See u bye!
-Mia

0 komentar:

Posting Komentar