Datang
Untuk Pergi
Apa
kau sanggup untuk melepaskan dan berpisah dengan cinta pertamamu?
“Jadi,
kau mau pergi? Aku sendirian disini, Ra,”
“Tenang
aja, Raf, nanti aku pasti pulang.”
“Tapi,
kapan? Aku nggak bisa sendirian terlalu lama. Kau tau, ‘kan? Aku nggak punya
teman lagi.”
“Lima
tahun lagi, di tanggal yang sama. Tunggu aku di stasiun ini, okay?”
Cinta
pertamaku, akankah dia akan kembali hari ini? Setelah lima tahun pergi dan
menghilang?
Suara
dan bayangan itu menyeruak. Aku mengerjap sejenak, menyadari untuk kesekian
kalinya mimpi itu datang lagi. Beberapa detik kemudian, jam weker di samping ranjangku
berdering tidak tahu malu sudah telat membangunkanku. Aku menoleh ke arah jam
weker itu, anehnya mendadak aku tidak peduli pukul berapa sekarang. Di belakang
jam itu terletak sebuah kalender duduk, tertera juga sebuah tanggal disana yang
terlihat lebih mencolok dari yang lain dengan bulatan khususnya; 11 Februari.
Apa aku tidak salah lihat?
Aku
terduduk di pinggir ranjang kotakku sambil mengusap wajahku. Sekarang aku mengerti
kenapa mimpi itu muncul. Mimpi itu mengingatkan aku pada peristiwa lima tahun
yang lalu.
“Nara
datang hari ini.” Senyumku mengembang.
Kubuka
jendela kamarku dengan semangat, hamparan benda halus berwarna putih menutupi
hampir seluruh benda yang ada di luar. Bahkan hijaunya dedaunan pohon pun tergantikan.
Tidak ada warna lain yang mendominasi. Sampai menara jangkung yang ada jauh di
sana juga tertutup benda seperti kapas itu.
Memori
otakku memutar kenangan lima tahun lalu, seorang gadis yang manis meneriaki
namaku dari jalan di bawah sana. Suaranya yang khas membuat aku sangat antusias
untuk segera menemuinya. Kupikir dia akan mengajakku bermain seperti biasa,
tapi ternyata itu adalah hari perpisahan kami.
Nara
namanya. Sahabatku sejak kecil. Kukira kami akan selamanya bersama sampai kami
dewasa. Tetapi hanya sampai 15 tahun umur kami dan dia pergi.
***
Harapan
kami yang dulu telah terkunci…..
Tak
peduli berapa juta kapas salju yang dikirim ke bumi dari angkasa hari ini, aku
harus tetap berjalan menembus itu semua menuju Stasiun Kota untuk menjemput
Nara. Rasanya tak sabar ingin bertemu sahabat kecilku itu. Sangat tak sabar.
Aku
melewati banyak trotoar jalan yang kurasa menjadi lebih tinggi karena tertutup salju
tebal, sampai tiba di jembatan yang menghampar tepat di atas Sungai Seine. Dua
pagar pinggirnya cukup unik. Banyak gantungan gembok cinta memadati setiap
rongganya dengan berbagai bentuk dan ukuran. Memberikan kesan tersendiri bagi
pengunjungnya.
Di
antara gembok-gembok yang tergantung ini, salah satunya adalah gembok milikku
dan Nara. Kami menggantungnya pada hari yang sama saat Nara pergi, dan kuncinya
kami buang bersama-sama ke dalam Sungai Seine.
Telapak
tanganku yang mulai memucat bergerak mencari gembok kami. Aku masih ingat betul
di mana kami menggantungnya.Tapi, kenapa aku tak menemui gembok itu? Apa mungkin
hilang? Padahal gembok itu adalah pengunci harapanku juga Nara.
Aku
masih berusaha menyusuri setiap tulisan yang terkunci pada gembok-gembok itu,
berharap menemukan tulisan “Rafka & Nara”. Tapi nihil. Tanganku kaku, suhu
di sekitar semakin memaksaku mengakhiri pencarian kali ini. Jika gembok itu
memang hilang, kuharap itu bukan pertanda buruk.
***
Menunggu
memang membosankan. Bahkan hal yang paling kubenci adalah menunggu. Tapi untuk
menunggu cinta pertamaku? Ini berbeda.
Aku
merapatkan lagi mantel tebal yang kupakai. Angin musim dingin terasa semakin
kuat menerpa tubuhku. Gigiku bergemeletuk dibuatnya. Tapi, apapun itu aku harus
tetap kuat, harus.
Langkahku
terhenti di depan sebuah gedung klasik khas Eropa. Meskipun ini musim dingin
atau apapun, gedung itu seperti tak pernah tidur. Banyak orang yang keluar
masuk dan menunggu jemputan keretanya di gedung itu. Ya, itu Stasiun Kota di Paris.
Baru
saja kakiku melangkah menyusuri koridor panjang stasiun yang ramai, aku
dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Dan secara
dramatis aku dan orang asing ini menjadi pusat perhatian sekeliling kami.
“Devan,
akhirnya kita ketemu lagi. I miss you.”
Serunya.
Devan?
Siapa Devan? Gadis asing yang memelukku ini
sepertinya tidak menyadari kalau aku bukan orang yang dia sebut. Dia salah
orang.
“Maaf
ya, tapi aku bukan Devan.” sahutku keheranan. Kemudian, perlahan aku merasa
tangan yang membelit perutku itu mulai mengendur sampai akhirnya lepas.
Gadis
itu terdiam. Aku memutar tubuhku agar menghadapnya. Dia hanya menunduk, tidak
berani menatapku. Hmm, gadis ini seperti salah tingkah jadinya.
“Maaf.
Kukira kau… Devan.” suaranya lirih.
“Nevermind.”
Aku
memutuskan untuk pergi dari hadapannya, aku mengerti mungkin dia malu karena
salah memeluk orang. Sebenarnya, aku sempat berharap itu Nara. Ya, Nara sahabat
kecilku, sekaligus cinta pertamaku. Huh! Tapi, seperti kebanyakan kisah cinta klise,
aku belum sempat mengatakan padanya tentang perasaanku ini. Tidak sempat
tepatnya. Jadilah aku sekarang yang hanya bisa berkhayal tentangnya dan hanya
berharap padanya. Tanpa pernah tau bagaimana perasaannya kepadaku. Menyedihkan.
“Tunggu!”
Sebuah seruan terdengar dan kurasa ditujukan padaku. Aku menghentikan
langkahku. Gadis asing tadi berdiri didepanku dengan manik hijaunya yang kini
berani menatapku, “Kau berbicara… Padaku?” Aku menunjuk diriku sendiri.
Gadis
itu mengangguk, “Kalau memang kau bukan Devan, apa buktinya?”
“Apa?
Bukti? Jadi kau tidak percaya? Baiklah ini kartu identitasku.” Aku mengambil salah
satu kartu yang ada di dompetku. Aku menatapnya heran. Gadis konyol, bagaimana bisa dia tidak tahu betul orang yang akan dia
temui?
“Oh, namamu Rafka. Maaf
aku sempat meragukanmu.” Dia menyodorkan kartu identitasku kembali dengan
senyum tanpa dosanya.
“Sepertinya,
tadi kau sudah mengakui kalau kau memang salah orang, ‘kan?”
“Iya, tapi… Mm, sebenarnya
aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa,” Gadis ini menekuk-nekuk jari
tangannya sendiri seperti gugup, sesekali wajahnya terlihat menunduk.
“Lalu?”
“Ya,
aku ingin meminta tolong padamu. Mm, bolehkah?” Pendar mata hijaunya seperti
memohon kepadaku.
“Aku
tidak mengerti. Bagaimana bisa aku menolongmu? Aku tidak kenal siapa kau,
darimana kau. Lalu kau mengiraku Devan. Dan yang paling penting, kau tidak
percaya kalau aku bukan Devan. Kemudian apa lagi?” aku benar-benar tak habis
pikir dengan gadis ini.
“Tolonglah..”
Pandanganku
beralih menatap bangku panjang berwarna cokelat kayu dipinggir koridor stasiun
yang kebetulan sedang kosong. Aku berniat duduk di bangku itu dan gadis ini
masih mengikutiku.
“Kau
harus jelaskan dulu siapa dirimu.”
Gadis
ini mengambil tempat di sebelahku kemudian, “Okay, namaku Tania. Aku dari Moscow, dan ini pertama kali aku ke
Paris sendiri setelah sebelumnya aku didampingi. Aku mencari teman dekatku−
Devan. Dia sangat mirip denganmu. Dia bilang, akan menjemputku di stasiun ini.
Tapi, dia belum datang. Aku tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku bisa
ikut denganmu dulu sampai Devan datang?” setelah bercerita panjang, dia menarik
nafas.
“Kenapa
kau percaya denganku dan ingin mengikutiku?”
“Feeling-ku mengatakan kau orang baik.”
“Kau
yakin?” Aku meliriknya disampingku.
Dia
mengangguk pelan sambil melempariku dengan tatapan meminta.
“Ok, baiklah.”
Gadis
berambut cokelat ini tampak girang, “Thanks.”
Aku
mengangguk, lalu membuang pandangan ke arah kereta yang baru saja datang. Kuamati
satu per satu orang yang keluar dari kereta itu. Aku tak melihat Nara,
sepertinya.
“Kau
menunggu seseorang?” Tania menaikkan sebelah alis coklat tebalnya.
“Aku
sedang menunggu teman kecilku. Hmm, lebih tepatnya sahabat dekatku dari kecil.”
“Dia
pergi kemana?” tanyanya lagi sambil membenarkan syal ungu yang dikenakannya.
“London.”
jawabku singkat sambil masih mengamati setiap orang yang berlalu lalang.
Keheningan
pun memeluk kami dari suhu yang semakin rendah, aku semakin merapatkan mantel
tebalku, begitu pula Tania. Ternyata aku melupakan satu hal, syalku tertinggal.
Aku tak menyangka kalau suhu akan serendah ini. Tanganku mulai memucat
kedinginan, dan dengan sekuat tenaga aku menahan gemeletuk gigiku yang bisa
terdengar oleh orang lain. Aku cuma tidak mau dianggap lemah.
“Kau
lupa membawa syal? Ini pakailah. Aku membawa dua syal. Kebetulan warnanya
hitam, jadi pas dipakai olehmu. Ambillah..” Tania mengulurkan sebuah syal
berwarna hitam dari tasnya. Syal itu terlihat sangat hangat jika dipakai. Tania
berhasil membaca dan menjawab apa yang aku pikirkan.
“Tidak
perlu. Aku takut merepotkanmu.” Aku berusaha tersenyum meski pipiku terasa
beku.
“Meskipun
kita baru berkenalan, tapi aku tahu kau kedinginan. Sudah, pakai saja.” Tania
tersenyum tulus.
Aku
menerimanya dengan tangan bergetar tak biasa. Lalu secepat mungkin aku memakai
syal itu di leherku.
“Thanks.” Aku tersenyum, dan aku merasa
lebih baik sekarang.
Dia
mengangguk sambil masih mengembangkan senyuman sederhananya lagi.
“Kalau
boleh tahu, Devan itu siapa? Oh ya, maaf aku tiba-tiba bertanya seperti ini.
Hmm, dia hanya teman dekatmu?” Aneh, mendadak aku tidak menikmati keheningan
kami.
“Dia
teman dekatku, bahkan sangat dekat. Tapi, dia hanya menganggapku seorang adik.”
Jawabnya sambil menunduk yang membuat rambut cokelat panjangnya jatuh
menjuntai.
“Bukankah
itu baik?”
“Ya,
tentu saja…” Tania lebih memilih menggantung ucapannya dan terlihat tidak
berniat melanjutkannya kembali.
“Dia
tinggal di Paris?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan situasi.
“Tidak.
Dia tak pernah menetap di suatu negara. Terkadang di Moscow, Amsterdam, Paris,
dan London juga.”
“Pasti
dia orang yang sibuk.”
“Ya,
memang benar.”
“Lalu
kau pergi ke Paris untuk apa?” Aku menaikkan sebelah alisku, entah sejak kapan aku
menjadi orang yang ingin tahu urusan orang lain.
“Rafka!!!”
seseorang berteriak memanggil namaku dari kejauhan. Aku mencari sumber suara
itu. Sudut pandangku menangkap sebuah bayangan seseorang yang berdiri tegap
sambil menghadapku di tengah-tengah orang yang berlalu lalang. Aku bisa melihat
raut kebahagiaan di wajahnya.
Langkah
kakinya terarah kepadaku. Dia seorang gadis berambut hitam kecokelatan,
mendekap erat jaket hangatnya, dan masih tersenyum kepadaku. Di rambutnya
terdapat sebuah topi yang terlihat semakin membuat rapi rambutnya yang terurai.
Sampai
kakinya yang dibalut sepatu boots
modis berhenti di depanku, aku masih mengingat siapa dia.
“Hei,
kau lupa denganku? Dasar!” Mata cokelatnya membuatku menemukan jawaban siapa
gadis ini.
“Nara!!!”
Secara spontan aku langsung memeluk gadis berlesung pipi ini.
“Kenapa
dari tadi kau diam saja? Aku hampir mengira aku salah orang.” Katanya sambil
membalas pelukanku.
“Maaf,
aku tidak mengira kalau kamu secantik ini sekarang. Dan aku pikir kamu tidak datang.”
Ujarku sambil merenggangkan pelukan sahabat itu.
“Ya,
kau juga lebih tampan dari Rafka yang ada di pikiranku. Hey, mana mungkin aku
ingkar janji pada sahabat kecilku?” Dia mengerutkan dahinya.
“Ah,
ya, aku tahu.”
“Bagaimana
Paris sekarang? I miss you and Paris so
badly!” Wajahnya menunjukkan raut ketidaksabaran. Aku tahu, Nara pasti
ingin segera menjelajah Kota Paris masa sekarang.
“Kau
akan tahu itu nanti, Ra.” sahutku sambil menekan dua pipi chaby milik Nara. Mendadak aku menyadari sesuatu, Tania? Tak
terdengar lagi suaranya. Aku harus memperkenalkannya pada Nara. “Oh ya, Nara
kenalkan ini Tania…” sambungku lagi sambil membalikkan badanku. Tania? Tania sudah tak ada di
belakangku. Kemana dia? Aku bingung.
“Siapa
Tania? Pacarmu?” Nara terlihat bingung, terlihat dari dua alisnya yang hampir
menyatu.
“Bukan.
Dia orang yang baru kukenal tadi.” Jawabku sambil masih menyapu sekeliling
stasiun yang masih padat oleh orang yang sibuk dengan urusannya sendiri. Setelah
sekian lama aku memperhatikan kerumunan orang yang tak terhitung jari ini,
akhirnya aku menyimpulkan; Tania telah dijemput oleh Devan.
Aku
menyadari sesuatu lagi. Syalnya masih tertinggal di leherku. Suatu saat jika
aku bertemu lagi dengan Tania, aku akan mengembalikannya.
“Dia
sudah pergi, mungkin. Ayo, sekarang kita pulang! Selamat datang kembali di
Paris, Nonara!” kataku bersemangat sambil menggandeng tangan Nara. Dia juga tidak
kalah antusiasnya.
“Paris,
I come back! Apa Menara Eiffel masih
romantis?”
“Tentu
saja,”
***
Aku
dan Nara berjalan membelah lautan salju yang terhampar di sana-sini. Meski Nara
sudah melarangku berjalan seperti ini pada musim dingin, tapi aku memaksa. Aku
akan buktikan kalau aku kuat.
Sambil
membenamkan kedua tangannya pada saku jaketnya, Nara tak henti-hentinya menoleh
ke kanan kiri untuk menikmati setiap sudut Kota Paris yang kami lewati. Dari
mata cokelatnya, terlihat dia sangat merindukan Paris. Mungkin baginya, Paris
sangat berbeda saat lima tahun lalu.
“Hey,
bukankah kita pernah menggantung gembok di jembatan ini?” Nara berhenti di atas
jembatan Sungai Seine dengan jemari yang bergerak menelusuri pagar jembatan dan
mengamati sebuah gembok.
“Ya,
tapi hilang,”
“Bagaimana
bisa hilang?” tanyanya heran yang langsung mendapat jawaban bahu yang terangkat
dariku.
“Aneh.”
katanya lagi sambil menarik tanganku meninggalkan tempat ini. Aku tak menyangka
kalau Nara masih ingat tentang gembok kami.
“Apa
kau rindu Menara Eiffel?”
***
Kesenangan
sesaat. Dia kembali untuk pergi lagi.
“Paris
memang luar biasa, Raf!” Nara masih memuji-muji Paris saat kami sudah berada di
rumahku. Dia tampak sibuk merapikan barang bawaannya.
“Kalau
begitu, kenapa kau harus kembali ke London? Sudahlah, kau menetap saja di
Paris.” sahutku dengan kaki yang direndam air panas dan tangan mengarah ke
perapian.
“Besok
aku harus pulang, Raf. Aku tidak bisa menetap.” katanya pelan, kemudian
menunduk membiarkan rambut cokelatnya menjuntai.
“Secepat
itu?” sahutku dengan mata membulat.
Nara
mengangguk pelan dan yakin.
“Nanti
malam kau bisa temani aku ke Jules Verne?”
Nara bertanya dengan nada yang ragu.
“Untuk
apa? Ingin membuat semacam perpisahan dengan makan malam di Jules Verne?” kataku dengan rasa kecewa
yang tak bisa ditutupi ini. Bagaimana bisa dia hanya semalam berada di Paris?
Sedangkan selama lima tahun aku telah menunggunya. Tidak masuk akal.
“Aku
ingin makan malam di Jules Verne lagi
setelah sekian lama aku di London. Dan kau harus tahu, Raf, ini bukan makan
malam perpisahan.” Nara berusaha menegaskan.
“Ok, maaf, aku terlalu keras.”
“Aku
tahu kamu kecewa, Raf. Aku yang seharusnya minta maaf.” Nara tersenyum, lalu
mengulurkan tangannya, “Kau tetap sahabatku, ‘kan?” sambungnya kemudian.
Aku
menjabat tangannya, “Kau memang sahabatku, Ra!”
Nara memang tak pernah bisa membuatku marah. Tapi kali ini,
Nara membuatku kecewa. Kupikir kami akan bersama lagi seperti lima tahun lalu.
Ternyata, dia hanya menepati janjinya untuk datang pada hari ini, 11 Februari,
lalu pergi lagi. Padahal aku telah sabar menunggunya selama ini. Kemudian hanya
akan dibayar dengan sehari? Tidak sebanding memang, tapi setidaknya aku sudah
bahagia bertemu Nara.
“Setelah
ini, aku akan lebih sering pergi ke Paris. Percayalah.”
***
Saatnya,
aku nyatakan kepadanya. Sekarang atau tidak selamanya.
Sweater
tebal berwarna putih, celana panjang yang hangat, dan sepatu boots coklat tampak kompak dengan syal
berwarna senada yang dikenakan Nara malam ini. Rupanya lima tahun di London
telah merubahnya menjadi gadis yang modis. Tak lupa topi hangat berwarna cokelat
di kepalanya terlihat sangat cocok dengan warna matanya. Dia sangat terlihat…
Hem, cantik!
“Ayo,
Raf! Kau tidak lupa janjimu menemaniku ke Jules
Verne malam ini, ‘kan?” ujarnya membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum
memohon.
“Ya,
mana mungkin aku mengingkari janji pada sahabat kecilku?”
Aku
menarik tangan mungilnya ke luar dan merasakan butiran salju yang berjatuhan
dari langit. Aku memang tidak kuat terhadap dingin, tapi jika bersama Nara, aku
bisa berkali-kali lipat lebih kuat. Ya, mungkin…
Langkah
kaki kami berhenti di bawah Menara Eiffel. Nara tertegun melihatnya seolah tak
ingin berpisah dengan menara yang dibilang paling romantis di dunia itu. Dia
mendongakkan kepalanya untuk melihat pucuk menara itu. Sesekali senyum
kekaguman mengembang di bibir merahnya.
“Ra,
kita duduk dulu di situ aja, ya?” kataku sambil mengacungkan jari ke sebuah bangku
taman yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
Nara
mengangguk, lalu berjalan berdampingan denganku menuju bangku itu. Salju masih
tetap menghiasi malam ini. Bahkan, Menara Eiffel juga sedikit tertutup salju
dengan gemerlap lampunya, sangat eksotis tentunya. Dan kurasa, ini saatnya aku
harus mengakhiri memendam perasaan lebih pada Nara.Ya, kapan lagi? Selama lima
tahun aku menunggu saat ini. Bahkan, besok pun aku sudah tidak punya
kesempatan.
Baiklah
akan kumulai,
“Nara,
apa aku mengganggumu? Aku ingin berbicara sesuatu kepadamu. Ya, kalau aku tak
mengganggumu.” kataku secara perlahan karena sepertinya Nara sedang menikmati
suasana senggang ini.
“Bicaralah,”
jawabnya, lalu merubah posisi duduknya menjadi lebih menghadapku.
“Aku
telah menunggu saat ini, kau tahu? Aku…” Ah, mata cokelatnya membuat lidahku
kelu.
“Ya?”
“Aku
sudah lama memendam perasaan ini, Ra! Aku… menyayangimu lebih dari sahabat. Dan
selama ini, aku menunggumu hanya untuk mengatakan ini. Apa kita bisa menjadi
sepasang─” perkataanku terhenti ketika Nara memelukku. Dan aku lega, aku telah
menyatakan perasaan itu. Kini, perasaan itu tak lagi menyiksaku karena aku
telah menyatakannya. Ya, aku berhasil!
“Tidak
bisa, Raf! Maaf, aku tak bisa membalasnya. Kamu adalah sahabatku, sahabat
karibku. Terima kasih telah menempatkan aku di hatimu. Terima kasih untuk
segalanya, tapi kita hanya sebagai sahabat karib saja.” jawabnya kemudian,
sambil melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku. Mata cokelatnya begitu
memintaku mengerti. Tapi, kurasa jawabannya janggal. Ada sesuatu dengannya,
tapi aku tak tahu.
“Tapi,
kenapa, Ra? Apa alasannya tidak bisa? Apa kau masih butuh waktu?”
“Kau
akan tahu nanti, Raf! Ayo, ikut aku ke Jules
Verne.” Nara menarikku menuju restoran di Menara Eiffel itu. Tangannya yang
mungil menggenggam tangan kakuku dengan yakin.
Sampai
kami menginjakkan kaki di Jules Verne,
semua orang di restoran itu berdiri. Tidak terkecuali dua orang yang berdiri di hadapan kami. Mereka terlihat
berbeda dari yang lain.
“Hey,
Nara! Kau tahu, aku sudah tidak sabar menunggumu.” Seorang laki-laki di antara
dua orang tadi berkata dengan ramahnya kepada Nara. Lalu menarik Nara ke dalam
dekapannya.
“Rafka,
ini pacarku. Kenalkan namanya─” ucapan Nara mendadak terpotong, karena
seseorang di samping laki-laki tadi, Tania.
“Devan?”
“Ya,
kau sudah mengenalnya?” Nara tampak bingung dengan tebakanku yang tidak
meleset.
“Tidak,
aku mengenal Tania.” Tania yang sedari tadi diam, mata hijaunya tampak sedih
melihat Devan memeluk Nara.
“Baiklah,
Nara kenalkan ini Tania, teman kecilku. Sama seperti kau dengan Rafka.”
Akhirnya Devan angkat bicara. Tania dan Nara hanya saling senyum dan berjabat
tangan. Cukup mungkin.
“Devan,
lebih baik kita semua duduk.” saran Tania.
“Ya,
kau benar.” Lalu Devan mengajak kami berempat duduk di depan sebuah meja bundar
yang sama. Dia tampak ramah dan humoris. Aku mengamatinya, memang benar kata
Tania, Devan mirip denganku. Tetapi, tetap saja aku lebih tampan darinya.
“Sebenarnya,
maksud aku mengundang kalian datang ke sini untuk menunjukkan sesuatu sekaligus
menjadi saksi.” Tiba-tiba Devan berkata di tengah-tengah keramaian restoran. Jujur,
perasaanku tidak enak.
“Nonara
Anastasia, resmi menjadi tunangan saya.” sambungnya kemudian sambil menyematkan
cincin di jari manis Nara. Mereka tampak sangat bahagia dan serasi.
Aku
dan Tania berdiri berdampingan, bersama dengan seluruh pengunjung restoran kami
ikut bertepuk tangan. Tapi seperti ada palu tak terlihat yang menghantam dadaku
dan menghancurkan hatiku. Apa nama perasaan ini?
Tania
terlihat biasa saja. Aneh memang. Apa mungkin sebenarnya Tania tidak menyukai
Devan? Tapi kenapa matanya tidak memancarkan raut bahagia?
Kurasa
Tania dan aku mengalami rasa yang sama. Tapi, Tania begitu tegar. Dia hebat.
Kini
semuanya sudah terjawab. Nara telah bertunangan dan besok akan pulang ke London
dengan laki-laki berwajah maskulin itu. Apa aku kuat melepasnya pergi? Harus
kuat. Setidaknya, aku telah melihat Nara bahagia.
***
Aku
kembali sendiri. Cinta pertamaku pergi –lagi…
“Raf,
sampai jumpa lagi, ya! Tidak lama lagi aku akan kembali lagi ke Paris.
Percayalah,” kata Nara sebelum kakinya melangkah menaiki kereta yang membawanya
ke London. Kini aku paham, mengapa Nara bisa berjanji seperti itu, ya jelas
saja. Menurut Tania, Devan memang tak pernah menetap di suatu negara. Ya
mungkin, jika Nara kembali lagi ke Paris, itu karena Devan. Bukan aku.
Aku
melambaikan tanganku ke arah Nara dan Devan di sampingnya, sampai kereta mereka
berlalu dari pandanganku. Semenjak kejadian di Jules Verne, aku berteman dengan Devan. Menurutku, dia orang yang
baik. Aku percaya Devan bisa menjaga Nara dengan baik.
Semoga kau bahagia, Ra!
Aku
berbalik badan, di ujung sana kulihat seseorang tengah bergetar bahunya, kedinginan.
Aku kenal rambutnya, Tania. Ya, itu dia.
Kakiku
tergerak menuju ke arahnya. Tanganku mengambil salah satu syal yang melingkar
di leherku. Ya, aku memakai dua syal, tentu saja salju hanya membuatku merasa
sejuk.
“Kau
lupa membawa syal? Ini pakailah.” kataku ketika aku berada di balik
punggungnya.
Manik
hijaunya menatapku, “Makasih, Raf!” sahutnya sambil mengambil syal itu dari
tanganku.
“Kenapa
kau di sini?” tanyaku kemudian setelah aku mengambil tempat di sebelahnya.
“Aku
ingin pulang ke Moscow, Raf.”
“Sendiri?”
tanyaku lagi sambil melirik koper bawaannya.
“Ya,
tentu saja. Kau sendiri kenapa di sini?” katanya heran.
“Mengantar
Nara─”
“Dan
Devan.” Tania menyerobot.
“Ya.”
Raut
wajah Tania berubah. Dia menunduk sambil menutup wajahnya. Entah apa yang dia
rasakan.
Suara
gemuruh terdengar dari kejauhan. Mungkin suara itulah yang sangat ditunggu
Tania.
“Raf,
jika kau kesepian, pergilah ke Moscow. Aku akan menjemputmu di stasiun.”
katanya sambil bersiap.
“Nanti
aku akan menghubungimu. Terima kasih, Tan.”
“Sampai
bertemu,“ ujarnya lagi, lalu memasuki kereta yang akan mengantarnya ke Moscow.
“Sampai
jumpa!”
Nyanyian
angin khas musim dingin terdengar jelas, aku masih duduk di bangku stasiun ini.
Kereta Tania sudah tak meninggalkan jejak lagi.
Sekarang
hanya butiran salju yang menemaniku di sini. Apakah ini akhir dari penantian
musim dinginku selama ini?
Aku
merapatkan jaketku dan menyadari sesuatu. Syalku tertukar oleh Tania. Ah,
bodoh!
***
To be continue…
Ketika menemui typo atau EYD yang masih salah
mohon dimaklumi dan Insya Allah akan saya revisi ulang
secepatnya, terima kasih:)
-Mia
Ketika menemui typo atau EYD yang masih salah
mohon dimaklumi dan Insya Allah akan saya revisi ulang
secepatnya, terima kasih:)
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar