Sabtu, 23 November 2013

#1 Datang untuk Pergi

Datang Untuk Pergi

Apa kau sanggup untuk melepaskan dan berpisah dengan cinta pertamamu?
          “Jadi, kau mau pergi? Aku sendirian disini, Ra,”
          “Tenang aja, Raf, nanti aku pasti pulang.”
          “Tapi, kapan? Aku nggak bisa sendirian terlalu lama. Kau tau, ‘kan? Aku nggak punya teman lagi.”
          “Lima tahun lagi, di tanggal yang sama. Tunggu aku di stasiun ini, okay?”
***
Cinta pertamaku, akankah dia akan kembali hari ini? Setelah lima tahun pergi dan menghilang?
          Suara dan bayangan itu menyeruak. Aku mengerjap sejenak, menyadari untuk kesekian kalinya mimpi itu datang lagi. Beberapa detik kemudian, jam weker di samping ranjangku berdering tidak tahu malu sudah telat membangunkanku. Aku menoleh ke arah jam weker itu, anehnya mendadak aku tidak peduli pukul berapa sekarang. Di belakang jam itu terletak sebuah kalender duduk, tertera juga sebuah tanggal disana yang terlihat lebih mencolok dari yang lain dengan bulatan khususnya; 11 Februari.
          Apa aku tidak salah lihat?
          Aku terduduk di pinggir ranjang kotakku sambil mengusap wajahku. Sekarang aku mengerti kenapa mimpi itu muncul. Mimpi itu mengingatkan aku pada peristiwa lima tahun yang lalu.
          “Nara datang hari ini.” Senyumku mengembang.
          Kubuka jendela kamarku dengan semangat, hamparan benda halus berwarna putih menutupi hampir seluruh benda yang ada di luar. Bahkan hijaunya dedaunan pohon pun tergantikan. Tidak ada warna lain yang mendominasi. Sampai menara jangkung yang ada jauh di sana juga tertutup benda seperti kapas itu.
          Memori otakku memutar kenangan lima tahun lalu, seorang gadis yang manis meneriaki namaku dari jalan di bawah sana. Suaranya yang khas membuat aku sangat antusias untuk segera menemuinya. Kupikir dia akan mengajakku bermain seperti biasa, tapi ternyata itu adalah hari perpisahan kami.
          Nara namanya. Sahabatku sejak kecil. Kukira kami akan selamanya bersama sampai kami dewasa. Tetapi hanya sampai 15 tahun umur kami dan dia pergi.
***
Harapan kami yang dulu telah terkunci…..
          Tak peduli berapa juta kapas salju yang dikirim ke bumi dari angkasa hari ini, aku harus tetap berjalan menembus itu semua menuju Stasiun Kota untuk menjemput Nara. Rasanya tak sabar ingin bertemu sahabat kecilku itu. Sangat tak sabar.
          Aku melewati banyak trotoar jalan yang kurasa menjadi lebih tinggi karena tertutup salju tebal, sampai tiba di jembatan yang menghampar tepat di atas Sungai Seine. Dua pagar pinggirnya cukup unik. Banyak gantungan gembok cinta memadati setiap rongganya dengan berbagai bentuk dan ukuran. Memberikan kesan tersendiri bagi pengunjungnya.
          Di antara gembok-gembok yang tergantung ini, salah satunya adalah gembok milikku dan Nara. Kami menggantungnya pada hari yang sama saat Nara pergi, dan kuncinya kami buang bersama-sama ke dalam Sungai Seine.
          Telapak tanganku yang mulai memucat bergerak mencari gembok kami. Aku masih ingat betul di mana kami menggantungnya.Tapi, kenapa aku tak menemui gembok itu? Apa mungkin hilang? Padahal gembok itu adalah pengunci harapanku juga Nara.
          Aku masih berusaha menyusuri setiap tulisan yang terkunci pada gembok-gembok itu, berharap menemukan tulisan “Rafka & Nara”. Tapi nihil. Tanganku kaku, suhu di sekitar semakin memaksaku mengakhiri pencarian kali ini. Jika gembok itu memang hilang, kuharap itu bukan pertanda buruk.
***
Menunggu memang membosankan. Bahkan hal yang paling kubenci adalah menunggu. Tapi untuk menunggu cinta pertamaku? Ini berbeda.
          Aku merapatkan lagi mantel tebal yang kupakai. Angin musim dingin terasa semakin kuat menerpa tubuhku. Gigiku bergemeletuk dibuatnya. Tapi, apapun itu aku harus tetap kuat, harus.
          Langkahku terhenti di depan sebuah gedung klasik khas Eropa. Meskipun ini musim dingin atau apapun, gedung itu seperti tak pernah tidur. Banyak orang yang keluar masuk dan menunggu jemputan keretanya di gedung itu. Ya, itu Stasiun Kota di Paris.
          Baru saja kakiku melangkah menyusuri koridor panjang stasiun yang ramai, aku dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Dan secara dramatis aku dan orang asing ini menjadi pusat perhatian sekeliling kami.
          “Devan, akhirnya kita ketemu lagi. I miss you.” Serunya.
Devan? Siapa Devan? Gadis asing yang memelukku ini sepertinya tidak menyadari kalau aku bukan orang yang dia sebut. Dia salah orang.
          “Maaf ya, tapi aku bukan Devan.” sahutku keheranan. Kemudian, perlahan aku merasa tangan yang membelit perutku itu mulai mengendur sampai akhirnya lepas.
          Gadis itu terdiam. Aku memutar tubuhku agar menghadapnya. Dia hanya menunduk, tidak berani menatapku. Hmm, gadis ini seperti salah tingkah jadinya.
          “Maaf. Kukira kau… Devan.” suaranya lirih.
          “Nevermind.”
          Aku memutuskan untuk pergi dari hadapannya, aku mengerti mungkin dia malu karena salah memeluk orang. Sebenarnya, aku sempat berharap itu Nara. Ya, Nara sahabat kecilku, sekaligus cinta pertamaku. Huh! Tapi, seperti kebanyakan kisah cinta klise, aku belum sempat mengatakan padanya tentang perasaanku ini. Tidak sempat tepatnya. Jadilah aku sekarang yang hanya bisa berkhayal tentangnya dan hanya berharap padanya. Tanpa pernah tau bagaimana perasaannya kepadaku. Menyedihkan.
          “Tunggu!” Sebuah seruan terdengar dan kurasa ditujukan padaku. Aku menghentikan langkahku. Gadis asing tadi berdiri didepanku dengan manik hijaunya yang kini berani menatapku, “Kau berbicara… Padaku?” Aku menunjuk diriku sendiri.
          Gadis itu mengangguk, “Kalau memang kau bukan Devan, apa buktinya?”
          “Apa? Bukti? Jadi kau tidak percaya? Baiklah ini kartu identitasku.” Aku mengambil salah satu kartu yang ada di dompetku. Aku menatapnya heran. Gadis konyol, bagaimana bisa dia tidak tahu betul orang yang akan dia temui?
“Oh, namamu Rafka. Maaf aku sempat meragukanmu.” Dia menyodorkan kartu identitasku kembali dengan senyum tanpa dosanya.
          “Sepertinya, tadi kau sudah mengakui kalau kau memang salah orang, ‘kan?”  
“Iya, tapi… Mm, sebenarnya aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa,” Gadis ini menekuk-nekuk jari tangannya sendiri seperti gugup, sesekali wajahnya terlihat menunduk.
          “Lalu?”
          “Ya, aku ingin meminta tolong padamu. Mm, bolehkah?” Pendar mata hijaunya seperti memohon kepadaku.
          “Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa aku menolongmu? Aku tidak kenal siapa kau, darimana kau. Lalu kau mengiraku Devan. Dan yang paling penting, kau tidak percaya kalau aku bukan Devan. Kemudian apa lagi?” aku benar-benar tak habis pikir dengan gadis ini.
          “Tolonglah..”
          Pandanganku beralih menatap bangku panjang berwarna cokelat kayu dipinggir koridor stasiun yang kebetulan sedang kosong. Aku berniat duduk di bangku itu dan gadis ini masih mengikutiku.
          “Kau harus jelaskan dulu siapa dirimu.”
          Gadis ini mengambil tempat di sebelahku kemudian, “Okay, namaku Tania. Aku dari Moscow, dan ini pertama kali aku ke Paris sendiri setelah sebelumnya aku didampingi. Aku mencari teman dekatku− Devan. Dia sangat mirip denganmu. Dia bilang, akan menjemputku di stasiun ini. Tapi, dia belum datang. Aku tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku bisa ikut denganmu dulu sampai Devan datang?” setelah bercerita panjang, dia menarik nafas.
          “Kenapa kau percaya denganku dan ingin mengikutiku?”
          “Feeling-ku mengatakan kau orang baik.”
          “Kau yakin?” Aku meliriknya disampingku.
          Dia mengangguk pelan sambil melempariku dengan tatapan meminta.
          “Ok, baiklah.”
          Gadis berambut cokelat ini tampak girang, “Thanks.”
          Aku mengangguk, lalu membuang pandangan ke arah kereta yang baru saja datang. Kuamati satu per satu orang yang keluar dari kereta itu. Aku tak melihat Nara, sepertinya.
          “Kau menunggu seseorang?” Tania menaikkan sebelah alis coklat tebalnya.
          “Aku sedang menunggu teman kecilku. Hmm, lebih tepatnya sahabat dekatku dari kecil.”
          “Dia pergi kemana?” tanyanya lagi sambil membenarkan syal ungu yang dikenakannya.
          “London.” jawabku singkat sambil masih mengamati setiap orang yang berlalu lalang.
          Keheningan pun memeluk kami dari suhu yang semakin rendah, aku semakin merapatkan mantel tebalku, begitu pula Tania. Ternyata aku melupakan satu hal, syalku tertinggal. Aku tak menyangka kalau suhu akan serendah ini. Tanganku mulai memucat kedinginan, dan dengan sekuat tenaga aku menahan gemeletuk gigiku yang bisa terdengar oleh orang lain. Aku cuma tidak mau dianggap lemah.
          “Kau lupa membawa syal? Ini pakailah. Aku membawa dua syal. Kebetulan warnanya hitam, jadi pas dipakai olehmu. Ambillah..” Tania mengulurkan sebuah syal berwarna hitam dari tasnya. Syal itu terlihat sangat hangat jika dipakai. Tania berhasil membaca dan menjawab apa yang aku pikirkan.
          “Tidak perlu. Aku takut merepotkanmu.” Aku berusaha tersenyum meski pipiku terasa beku.
          “Meskipun kita baru berkenalan, tapi aku tahu kau kedinginan. Sudah, pakai saja.” Tania tersenyum tulus.
          Aku menerimanya dengan tangan bergetar tak biasa. Lalu secepat mungkin aku memakai syal itu di leherku.
          “Thanks.” Aku tersenyum, dan aku merasa lebih baik sekarang.
          Dia mengangguk sambil masih mengembangkan senyuman sederhananya lagi.
          “Kalau boleh tahu, Devan itu siapa? Oh ya, maaf aku tiba-tiba bertanya seperti ini. Hmm, dia hanya teman dekatmu?” Aneh, mendadak aku tidak menikmati keheningan kami.
          “Dia teman dekatku, bahkan sangat dekat. Tapi, dia hanya menganggapku seorang adik.” Jawabnya sambil menunduk yang membuat rambut cokelat panjangnya jatuh menjuntai.
          “Bukankah itu baik?”
          “Ya, tentu saja…” Tania lebih memilih menggantung ucapannya dan terlihat tidak berniat melanjutkannya kembali.
          “Dia tinggal di Paris?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan situasi.
          “Tidak. Dia tak pernah menetap di suatu negara. Terkadang di Moscow, Amsterdam, Paris, dan London juga.”
          “Pasti dia orang yang sibuk.”
          “Ya, memang benar.”
          “Lalu kau pergi ke Paris untuk apa?” Aku menaikkan sebelah alisku, entah sejak kapan aku menjadi orang yang ingin tahu urusan orang lain.
          “Rafka!!!” seseorang berteriak memanggil namaku dari kejauhan. Aku mencari sumber suara itu. Sudut pandangku menangkap sebuah bayangan seseorang yang berdiri tegap sambil menghadapku di tengah-tengah orang yang berlalu lalang. Aku bisa melihat raut kebahagiaan di wajahnya.
          Langkah kakinya terarah kepadaku. Dia seorang gadis berambut hitam kecokelatan, mendekap erat jaket hangatnya, dan masih tersenyum kepadaku. Di rambutnya terdapat sebuah topi yang terlihat semakin membuat rapi rambutnya yang terurai.
          Sampai kakinya yang dibalut sepatu boots modis berhenti di depanku, aku masih mengingat siapa dia.
          “Hei, kau lupa denganku? Dasar!” Mata cokelatnya membuatku menemukan jawaban siapa gadis ini.
          “Nara!!!” Secara spontan aku langsung memeluk gadis berlesung pipi ini.
          “Kenapa dari tadi kau diam saja? Aku hampir mengira aku salah orang.” Katanya sambil membalas pelukanku.
          “Maaf, aku tidak mengira kalau kamu secantik ini sekarang. Dan aku pikir kamu tidak datang.” Ujarku sambil merenggangkan pelukan sahabat itu.
          “Ya, kau juga lebih tampan dari Rafka yang ada di pikiranku. Hey, mana mungkin aku ingkar janji pada sahabat kecilku?” Dia mengerutkan dahinya.
          “Ah, ya, aku tahu.”
          “Bagaimana Paris sekarang? I miss you and Paris so badly!” Wajahnya menunjukkan raut ketidaksabaran. Aku tahu, Nara pasti ingin segera menjelajah Kota Paris masa sekarang.
          “Kau akan tahu itu nanti, Ra.” sahutku sambil menekan dua pipi chaby milik Nara. Mendadak aku menyadari sesuatu, Tania? Tak terdengar lagi suaranya. Aku harus memperkenalkannya pada Nara. “Oh ya, Nara kenalkan ini Tania…” sambungku lagi sambil membalikkan badanku. Tania? Tania sudah tak ada di belakangku. Kemana dia? Aku bingung.
          “Siapa Tania? Pacarmu?” Nara terlihat bingung, terlihat dari dua alisnya yang hampir menyatu.
          “Bukan. Dia orang yang baru kukenal tadi.” Jawabku sambil masih menyapu sekeliling stasiun yang masih padat oleh orang yang sibuk dengan urusannya sendiri. Setelah sekian lama aku memperhatikan kerumunan orang yang tak terhitung jari ini, akhirnya aku menyimpulkan; Tania telah dijemput oleh Devan.
          Aku menyadari sesuatu lagi. Syalnya masih tertinggal di leherku. Suatu saat jika aku bertemu lagi dengan Tania, aku akan mengembalikannya.
          “Dia sudah pergi, mungkin. Ayo, sekarang kita pulang! Selamat datang kembali di Paris, Nonara!” kataku bersemangat sambil menggandeng tangan Nara. Dia juga tidak kalah antusiasnya.
          “Paris, I come back! Apa Menara Eiffel masih romantis?”
          “Tentu saja,”
***
          Aku dan Nara berjalan membelah lautan salju yang terhampar di sana-sini. Meski Nara sudah melarangku berjalan seperti ini pada musim dingin, tapi aku memaksa. Aku akan buktikan kalau aku kuat.
          Sambil membenamkan kedua tangannya pada saku jaketnya, Nara tak henti-hentinya menoleh ke kanan kiri untuk menikmati setiap sudut Kota Paris yang kami lewati. Dari mata cokelatnya, terlihat dia sangat merindukan Paris. Mungkin baginya, Paris sangat berbeda saat lima tahun lalu.
          “Hey, bukankah kita pernah menggantung gembok di jembatan ini?” Nara berhenti di atas jembatan Sungai Seine dengan jemari yang bergerak menelusuri pagar jembatan dan mengamati sebuah gembok.
          “Ya, tapi hilang,”
          “Bagaimana bisa hilang?” tanyanya heran yang langsung mendapat jawaban bahu yang terangkat dariku.
          “Aneh.” katanya lagi sambil menarik tanganku meninggalkan tempat ini. Aku tak menyangka kalau Nara masih ingat tentang gembok kami.
          “Apa kau rindu Menara Eiffel?”
***
Kesenangan sesaat. Dia kembali untuk pergi lagi.
          “Paris memang luar biasa, Raf!” Nara masih memuji-muji Paris saat kami sudah berada di rumahku. Dia tampak sibuk merapikan barang bawaannya.
          “Kalau begitu, kenapa kau harus kembali ke London? Sudahlah, kau menetap saja di Paris.” sahutku dengan kaki yang direndam air panas dan tangan mengarah ke perapian.
          “Besok aku harus pulang, Raf. Aku tidak bisa menetap.” katanya pelan, kemudian menunduk membiarkan rambut cokelatnya menjuntai.
          “Secepat itu?” sahutku dengan mata membulat.
          Nara mengangguk pelan dan yakin.
          “Nanti malam kau bisa temani aku ke Jules Verne?” Nara bertanya dengan nada yang ragu.
          “Untuk apa? Ingin membuat semacam perpisahan dengan makan malam di Jules Verne?” kataku dengan rasa kecewa yang tak bisa ditutupi ini. Bagaimana bisa dia hanya semalam berada di Paris? Sedangkan selama lima tahun aku telah menunggunya. Tidak masuk akal.
          “Aku ingin makan malam di Jules Verne lagi setelah sekian lama aku di London. Dan kau harus tahu, Raf, ini bukan makan malam perpisahan.” Nara berusaha menegaskan.
          “Ok, maaf, aku terlalu keras.”
          “Aku tahu kamu kecewa, Raf. Aku yang seharusnya minta maaf.” Nara tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, “Kau tetap sahabatku, ‘kan?” sambungnya kemudian.
          Aku menjabat tangannya, “Kau memang sahabatku, Ra!”
          Nara memang tak pernah bisa membuatku marah. Tapi kali ini, Nara membuatku kecewa. Kupikir kami akan bersama lagi seperti lima tahun lalu. Ternyata, dia hanya menepati janjinya untuk datang pada hari ini, 11 Februari, lalu pergi lagi. Padahal aku telah sabar menunggunya selama ini. Kemudian hanya akan dibayar dengan sehari? Tidak sebanding memang, tapi setidaknya aku sudah bahagia bertemu Nara.
          “Setelah ini, aku akan lebih sering pergi ke Paris. Percayalah.”
***
Saatnya, aku nyatakan kepadanya. Sekarang atau tidak selamanya.
          Sweater tebal berwarna putih, celana panjang yang hangat, dan sepatu boots coklat tampak kompak dengan syal berwarna senada yang dikenakan Nara malam ini. Rupanya lima tahun di London telah merubahnya menjadi gadis yang modis. Tak lupa topi hangat berwarna cokelat di kepalanya terlihat sangat cocok dengan warna matanya. Dia sangat terlihat… Hem, cantik!
          “Ayo, Raf! Kau tidak lupa janjimu menemaniku ke Jules Verne malam ini, ‘kan?” ujarnya membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum memohon.
          “Ya, mana mungkin aku mengingkari janji pada sahabat kecilku?”
          Aku menarik tangan mungilnya ke luar dan merasakan butiran salju yang berjatuhan dari langit. Aku memang tidak kuat terhadap dingin, tapi jika bersama Nara, aku bisa berkali-kali lipat lebih kuat. Ya, mungkin…
          Langkah kaki kami berhenti di bawah Menara Eiffel. Nara tertegun melihatnya seolah tak ingin berpisah dengan menara yang dibilang paling romantis di dunia itu. Dia mendongakkan kepalanya untuk melihat pucuk menara itu. Sesekali senyum kekaguman mengembang di bibir merahnya.
          “Ra, kita duduk dulu di situ aja, ya?” kataku sambil mengacungkan jari ke sebuah bangku taman yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
          Nara mengangguk, lalu berjalan berdampingan denganku menuju bangku itu. Salju masih tetap menghiasi malam ini. Bahkan, Menara Eiffel juga sedikit tertutup salju dengan gemerlap lampunya, sangat eksotis tentunya. Dan kurasa, ini saatnya aku harus mengakhiri memendam perasaan lebih pada Nara.Ya, kapan lagi? Selama lima tahun aku menunggu saat ini. Bahkan, besok pun aku sudah tidak punya kesempatan.
          Baiklah akan kumulai,
          “Nara, apa aku mengganggumu? Aku ingin berbicara sesuatu kepadamu. Ya, kalau aku tak mengganggumu.” kataku secara perlahan karena sepertinya Nara sedang menikmati suasana senggang ini.
          “Bicaralah,” jawabnya, lalu merubah posisi duduknya menjadi lebih menghadapku.
          “Aku telah menunggu saat ini, kau tahu? Aku…” Ah, mata cokelatnya membuat lidahku kelu.
          “Ya?”
          “Aku sudah lama memendam perasaan ini, Ra! Aku… menyayangimu lebih dari sahabat. Dan selama ini, aku menunggumu hanya untuk mengatakan ini. Apa kita bisa menjadi sepasang─” perkataanku terhenti ketika Nara memelukku. Dan aku lega, aku telah menyatakan perasaan itu. Kini, perasaan itu tak lagi menyiksaku karena aku telah menyatakannya. Ya, aku berhasil!
          “Tidak bisa, Raf! Maaf, aku tak bisa membalasnya. Kamu adalah sahabatku, sahabat karibku. Terima kasih telah menempatkan aku di hatimu. Terima kasih untuk segalanya, tapi kita hanya sebagai sahabat karib saja.” jawabnya kemudian, sambil melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku. Mata cokelatnya begitu memintaku mengerti. Tapi, kurasa jawabannya janggal. Ada sesuatu dengannya, tapi aku tak tahu.
          “Tapi, kenapa, Ra? Apa alasannya tidak bisa? Apa kau masih butuh waktu?”
          “Kau akan tahu nanti, Raf! Ayo, ikut aku ke Jules Verne.” Nara menarikku menuju restoran di Menara Eiffel itu. Tangannya yang mungil menggenggam tangan kakuku dengan yakin.
          Sampai kami menginjakkan kaki di Jules Verne, semua orang di restoran itu berdiri. Tidak terkecuali dua orang  yang berdiri di hadapan kami. Mereka terlihat berbeda dari yang lain.
          “Hey, Nara! Kau tahu, aku sudah tidak sabar menunggumu.” Seorang laki-laki di antara dua orang tadi berkata dengan ramahnya kepada Nara. Lalu menarik Nara ke dalam dekapannya.
          “Rafka, ini pacarku. Kenalkan namanya─” ucapan Nara mendadak terpotong, karena seseorang di samping laki-laki tadi, Tania.
          “Devan?”
          “Ya, kau sudah mengenalnya?” Nara tampak bingung dengan tebakanku yang tidak meleset.
          “Tidak, aku mengenal Tania.” Tania yang sedari tadi diam, mata hijaunya tampak sedih melihat Devan memeluk Nara.
          “Baiklah, Nara kenalkan ini Tania, teman kecilku. Sama seperti kau dengan Rafka.” Akhirnya Devan angkat bicara. Tania dan Nara hanya saling senyum dan berjabat tangan. Cukup mungkin.
          “Devan, lebih baik kita semua duduk.” saran Tania.
          “Ya, kau benar.” Lalu Devan mengajak kami berempat duduk di depan sebuah meja bundar yang sama. Dia tampak ramah dan humoris. Aku mengamatinya, memang benar kata Tania, Devan mirip denganku. Tetapi, tetap saja aku lebih tampan darinya.
          “Sebenarnya, maksud aku mengundang kalian datang ke sini untuk menunjukkan sesuatu sekaligus menjadi saksi.” Tiba-tiba Devan berkata di tengah-tengah keramaian restoran. Jujur, perasaanku tidak enak.
          “Nonara Anastasia, resmi menjadi tunangan saya.” sambungnya kemudian sambil menyematkan cincin di jari manis Nara. Mereka tampak sangat bahagia dan serasi.
          Aku dan Tania berdiri berdampingan, bersama dengan seluruh pengunjung restoran kami ikut bertepuk tangan. Tapi seperti ada palu tak terlihat yang menghantam dadaku dan menghancurkan hatiku. Apa nama perasaan ini?
          Tania terlihat biasa saja. Aneh memang. Apa mungkin sebenarnya Tania tidak menyukai Devan? Tapi kenapa matanya tidak memancarkan raut bahagia?
          Kurasa Tania dan aku mengalami rasa yang sama. Tapi, Tania begitu tegar. Dia hebat.
          Kini semuanya sudah terjawab. Nara telah bertunangan dan besok akan pulang ke London dengan laki-laki berwajah maskulin itu. Apa aku kuat melepasnya pergi? Harus kuat. Setidaknya, aku telah melihat Nara bahagia.
***
Aku kembali sendiri. Cinta pertamaku pergi –lagi…
          “Raf, sampai jumpa lagi, ya! Tidak lama lagi aku akan kembali lagi ke Paris. Percayalah,” kata Nara sebelum kakinya melangkah menaiki kereta yang membawanya ke London. Kini aku paham, mengapa Nara bisa berjanji seperti itu, ya jelas saja. Menurut Tania, Devan memang tak pernah menetap di suatu negara. Ya mungkin, jika Nara kembali lagi ke Paris, itu karena Devan. Bukan aku.
          Aku melambaikan tanganku ke arah Nara dan Devan di sampingnya, sampai kereta mereka berlalu dari pandanganku. Semenjak kejadian di Jules Verne, aku berteman dengan Devan. Menurutku, dia orang yang baik. Aku percaya Devan bisa menjaga Nara dengan baik.
          Semoga kau bahagia, Ra!
          Aku berbalik badan, di ujung sana kulihat seseorang tengah bergetar bahunya, kedinginan. Aku kenal rambutnya, Tania. Ya, itu dia.
          Kakiku tergerak menuju ke arahnya. Tanganku mengambil salah satu syal yang melingkar di leherku. Ya, aku memakai dua syal, tentu saja salju hanya membuatku merasa sejuk.
          “Kau lupa membawa syal? Ini pakailah.” kataku ketika aku berada di balik punggungnya.
          Manik hijaunya menatapku, “Makasih, Raf!” sahutnya sambil mengambil syal itu dari tanganku.
          “Kenapa kau di sini?” tanyaku kemudian setelah aku mengambil tempat di sebelahnya.
          “Aku ingin pulang ke Moscow, Raf.”
          “Sendiri?” tanyaku lagi sambil melirik koper bawaannya.
          “Ya, tentu saja. Kau sendiri kenapa di sini?” katanya heran.
          “Mengantar Nara─”
          “Dan Devan.” Tania menyerobot.
          “Ya.”
          Raut wajah Tania berubah. Dia menunduk sambil menutup wajahnya. Entah apa yang dia rasakan.
          Suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Mungkin suara itulah yang sangat ditunggu Tania.
          “Raf, jika kau kesepian, pergilah ke Moscow. Aku akan menjemputmu di stasiun.” katanya sambil bersiap.
          “Nanti aku akan menghubungimu. Terima kasih, Tan.”
          “Sampai bertemu,“ ujarnya lagi, lalu memasuki kereta yang akan mengantarnya ke Moscow.
          “Sampai jumpa!”
          Nyanyian angin khas musim dingin terdengar jelas, aku masih duduk di bangku stasiun ini. Kereta Tania sudah tak meninggalkan jejak lagi.
          Sekarang hanya butiran salju yang menemaniku di sini. Apakah ini akhir dari penantian musim dinginku selama ini?
          Aku merapatkan jaketku dan menyadari sesuatu. Syalku tertukar oleh Tania. Ah, bodoh!
***

To be continue…

Ketika menemui typo atau EYD yang masih salah
mohon dimaklumi dan Insya Allah akan saya revisi ulang
secepatnya, terima kasih:)
-Mia

0 komentar:

Posting Komentar