Sederhana,
ini hanya perkara cinta yang tak pernah terucap.
Entah apa yang membuatnya dapat dirasakan namun tidak dapat diungkapkan.
Ini hanya sebuah perkara aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita…
Entah apa yang membuatnya dapat dirasakan namun tidak dapat diungkapkan.
Ini hanya sebuah perkara aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita…
Angin yang berhembus terasa
angkuh saat menerpa tubuh mungilnya. Rambut panjang kecoklatan gadis itu dibuat
menari-nari karenanya. Dia bergidik lalu merapatkan kembali mantel tebalnya. Tangan
kanannya masih menggenggam se-bucket bunga mawar merah. Suhu nampak sedang
tidak bersahabat. Dedaunan itu tampak
menggantung lemah diujung tangkai pohon-pohon itu. Langkah demi langkah dia
tapakkan diantara dedaunan kuning kecoklatan yang berserakan ditanah. Sesekali,
angin juga membawa dedaunan itu terbang sejenak sebelum mendarat di tanah.
Kaki yang terbungkus
sepatu boots modis itu berhenti di
suatu tempat yang terasa damai karena kesunyiannya. Bibirnya menyunggingkan senyum
tipis saat menatap tempat itu. Dia bersimpuh dan mengusap sebuah batu berarti
yang ada di depannya. Disisi atas batu itu tertulis; Reynaldi Putra Atmaja –cinta
pertamanya.
“Hai, Reyn? Gimana
dunia barumu disana? Semoga kamu baik-baik saja, ya.” Seketika matanya
berkaca-kaca seiring kata tersebut terucap.
Zia masih tersenyum
hampa menatap batu nisan itu. Seketika memory bertahun-tahun lalu yang hampir
terkubur seperti terputar lagi di kepalanya. Memenuhi setiap rongga otaknya
sehingga tidak ada hal lain lagi yang bisa dia pikirkan.
***
Matahari masih belum
terbangun dari singgasananya di ujung timur sana. Tapi seperti tidak peduli,
seorang gadis berseragam merah putih tampak bersemangat menyusuri koridor
sekolahnya yang masih sepi. Tak henti-henti dia mengembangkan senyum manisnya
itu. Di genggamannya yang erat terdapat sebuah amplop kecil berwarna merah
jambu.
Langkahnya terhenti di
depan sebuah ruang kelas. Gadis berkuncir dua itu tampak ragu ketika ingin
memasukinya. Dengan sangat hati-hati, dia memberanikan diri mengintip ke dalam
ruangan itu dari jendela. Helaan napas lega menyusul setelah dia melihat tak
ada seorang pun di kelas itu.
Setelah memastikan
tidak ada orang yang melihatnya, dia masuk ke ruang kelas itu. Pandangannya
langsung tertuju pada sebuah meja di baris nomor dua dari belakang. Gadis itu
melirik amplop di tangannya, lalu berjalan menghampiri meja itu. Dia
meraba-raba loker di bawah meja itu, kemudian tanpa berpikir lagi gadis mungil
itu menyelipkan amplop merah jambu tadi ke dalamnya.
‘Semoga
Kak Reyn baca, ya..’ Gumamnya dalam hati.
=====
Kriiiiiiiiiing…
Kriiiiiiiiiiiing…
Bunyi bel nyaring itu
terdengar tepat saat jam 12. Semua siswa berhamburan keluar. Sepertinya cuma
gadis itu yang masih duduk tenang sambil mengamati teman-temannya yang berebut
keluar kelas.
“Zia, lagi nunggu apa?”
Seorang wanita dengan wajah keibuannya yang kental menegur gadis itu. Dia cuma
merasa aneh kenapa gadis ini masih duduk tenang padahal bel pulang telah
berdering.
“Mm, enggak ada, Bu
Guru. Saya cuma malas berdesakan di pintu sana.” Jawabnya dengan tersenyum
polos.
“Oh, gitu, ya. Oke,
tapi nanti kamu harus langsung pulang, ya..” Wanita yang dipanggil Bu Guru itu
perlahan berlalu setelah mendapat anggukan mantab dari Zia.
Setelah punggung Bu
Guru itu menghilang, dengan santai Zia melenggang keluar kelas. Tetapi dia
tidak langsung menuju gerbang sekolah, dia sengaja berjalan memutar melewati
taman sekolah agar lewat di depan kelas Reyn.
Keadaan kelas itu sama
dengan pagi tadi, sepi. Bisa dipastikan penghuninya sudah pulang semua. Zia
masih berjalan melewati kelas itu sampai sesuatu menarik perhatiaannya dan
otomatis menghentikan langkahnya.
Sesuatu berwarna merah
jambu mirip dengan amplop yang dia selipkan di loker meja Reyn pagi tadi itu
berada bersama barang-barang terbuang di tong sampah. Tanpa sempat berpikir
lagi, dia memungut benda itu dan membersihkannya dengan tissue di
kantongnya.
Zia masih membolak
balik benda dari kertas itu.’Ah, benar
ini amplopku buat Kak Reyn’ Katanya yakin setelah melihat ada sebaris tulisan
tangannya di amplop itu. Hal yang paling tidak disangkanya adalah surat itu
masih terlipat rapi di dalamnya walaupun amplop itu telah sobek di bagian
atasnya.
Dada gadis kecil itu
terasa sesak. Pipinya memanas. Senyum manisnya yang dari pagi tadi selalu
mengembang di bibir tipisnya seakan tak berbekas di raut wajahnya sekarang.
Perlahan, dia merasa matanya telah dipenuhi air yang siap jatuh jika tidak
terbendung lagi.
Zia tau, Kak Reyn tidak
membaca suratnya. Dia hanya membuka amplopnya lalu membuangnya ke tempat
sampah. Setidaknya, hal itulah yang ada di pikirannya sekarang. Tetes air mata
itu sudah mengalir di pipi Zia, dia marah. Dia sangat kecewa. ‘Kak Reyn jahat.’
***
“Aku masih ingat, Reyn,
saat kamu membuang surat pertamaku buat kamu. Mungkin aku nggak akan mungkin
bisa lupa hal itu.” Zia mengusap air matanya dan mencoba tersenyum tegar.
“Kamu nggak tau, kan,
surat itu aku buat semalaman dan telah direvisi sampai ganti kertas
berkali-kali demi sempurnanya setiap kata yang terpampang di kertas sederhana
itu. Tapi kamu malah membuangnya, Reyn. Aku sangat kecewa saat itu. Lucu, ya,
bocah SD bisa patah hati.” Zia berusaha menertawai kekecewaannya saat itu,
walaupun sangat terlihat; senyum itu senyum yang hambar.
Zia mengelus batu nisan
itu, “Mungkin memang aku yang salah, Reyn. Dari awal aku udah dapat pertanda
kalo kamu bukan buat aku. Tapi kenapa susah, Reyn, susah buat lupain kamu.”
***
Gadis manis itu, tak
henti-hentinya mengulum senyum. Hari ini hari yang sangat istimewa baginya. Berkat
kerja kerasnya minggu lalu, dia berhasil menjuarai Lomba Biologi tingkat Provinsi.
Dan hari ini, di depan semua murid, guru pembimbingnya akan menyerahkan sebuah
piala penghargaan padanya. Dia sangat antusias, sangat jelas terlihat dari
wajah mulusnya yang sumringah dan sangat bersemangat.
Zia mematut dirinya di
depan cermin, memastikan tidak ada noda mengganggu di seragam putih-birunya.
Dia masih mengurus rambutnya yang pendek sebahu itu. Setelah menyematkan sebuah
jepit berwarna biru di sebelah poninya, dia segera menyambar tas coklatnya dan
beranjak keluar kamar.
Dia merasa gugup.
Sepertinya, dia merasa kurang percaya diri mengingat hal yang akan dialaminya.
Menerima piala di depan semua murid dan otomatis dijadikan teladan bagi siswa
lain. Tapi hal yang paling mengganggunya adalah Reyn. Apakah Reyn akan
melihatnya? Apakah Reyn akan terkagum dengan prestasinya itu? Dia cuma takut,
suatu hal terjadi di luar bayangannya.
Salah satu motivasi
belajarnya, adalah Reyn. Zia cuma ingin Reyn tau kalau Zia ada. Zia cuma ingin
menunjukkan kalau Zia bisa. Zia bisa untuk Reyn. Walaupun sampai detik ini Zia
hanya bisa melihat Reyn dari kejauhan, gadis manis ini hanya berharap bisa
dekat dengan Reyn karena usahanya sendiri.
Detik-detik itu akan
segera tiba. Zia akan ada di hadapan semua murid di sekolahnya, termasuk Reyn.
Apel pagi telah di mulai. Dia berada di barisan perempuan seperti murid lain.
Posisinya sekarang tidak jauh dari barisan murid laki-laki; tempat Reyn biasa
berdiri.
Zia cukup penasaran,
dari sudut mana laki-laki keturunan Arab yang dikaguminya itu akan melihatnya
di depan nanti. Berdirinya dia kini hanya bertumpu pada ujung jari-jari
kakinya. Zia memang tidak terlalu pendek, tetapi tidak terlalu tinggi juga.
Dari tempatnya sekarang, tidak semudah biasanya menemukan kepala Reyn yang
lebih menjulang daripada teman-temannya. Ini aneh.
“Untuk ananda Natasha
Ferozia dipersilahkan ke depan.” Suara MC yang mengalun itu membuat gadis
berkulit kuning langsat itu tercengang sejenak. Dia nampak sedikit tidak menyangka
akan secepat ini moment istimewanya itu terjadi.
“Zia ke depan, tuh..”
“Selamat, ya, Zia..”
“Kamu hebat! Cepat bawa
piala itu..”
Suasana Apel berubah
seketika. Teman-teman sekitar barisan Zia bersahutan memberikan pujian untuk
kesuksesannya. Dia hanya bisa mengumbar senyum bahagianya. Perlahan, kakinya
melangkah membawa Zia ke samping Pembina Apel yang tersenyum ramah
menyambutnya. Dia merasakan darahnya berdesir kencang. Jantungnya bergemuruh
kencang. Keringat dingin mulai menyelimuti telapak tangan mungilnya. Zia tidak
terbiasa berdiri di hadapan orang banyak. Ditambah, semua pasang mata sedang
tertuju padanya sekarang; sebagai pemeran utama. ‘Kak Reyn, semua ini untukmu. Semoga kamu melihat ini semua, Kak..’
Piala nan tinggi itu
berkilau diterpa sinar matahari. Zia menerimanya dengan kedua tangannya yang
terbuka. Riuh tepuk tangan menyusul setelah piala itu berpindah tangan. Dia
masih memancarkan raut bahagianya itu –juga senyum terbaiknya.
Manik cokelatnya tampak
berkeliaran. Menyapu setiap orang di barisan laki-laki yang tepat ada di
depannya sekarang. Tidak salah lagi, dia hanya mau melihat bagaimana binar mata
Reyn saat melihatnya sekarang. Dia ingin tau, apakah Reyn terkesan akan
prestasinya sekarang. Dia cuma ingin memastikan, Reyn melihatnya.. sekarang.
Bisa dipastikan, Zia
tidak mendengarkan apa saja yang disampaikan Pembina Apel terkait dengan
dirinya untuk memotivasi yang lain, agar terus berprestasi. Dia hanya focus
mencari laki-laki bermata hazel itu ditengah banyaknya murid laki-laki di
depannya. Senyuman yang dari tadi merekah di bibirnya perlahan menghilang setelah
kedua matanya tak berhasil menemukan Reyn. Satu pertanyaan yang berkecamuk di
kepalanya kini; dimanakah Reyn?
Zia kembali ke kelasnya
dengan piala kuning keemasan itu di tangannya. Teman-teman Zia menyambutnya
dengan suka cita. Pujian belum berhenti mengalir dari mulut mereka. Dia hanya
menarik dua sudut bibirnya dan membentuk sebuah lengkungan; lagi dan lagi.
Tidak ada kata lain yang keluar dari mulutnya selain ‘Terima Kasih’.
Mata Zia terlihat
berkaca-kaca. Semua temannya mengira, itu salah satu respon Zia semacam ‘Air
mata Kebahagiaan’ atas prestasinya. Diluar itu semua, tidak ada yang tau Zia
tidak bahagia atas piala tinggi menjulang itu. Dia merasa hampa dan seperti
kehilangan. Dia merasa bodoh karena telah membayangkan hari ini akan jadi hari
bahagianya. Dia merasa bodoh berharap Reyn melihatnya dengan binar kekaguman.
Dia salah. Semua ini terjadi diluar perkiraannya. Sontak Zia menyadari, hal
yang ditakutinya dari awal justru terjadi.
Gadis berambut cokelat
itu meletakkan pialanya di meja. Matanya memancarkan raut kesedihan. Aneh,
karena disaat seperti ini dia masih bisa merasakan kekecewaan. Kakinya perlahan
melangkah keluar kelas. Meninggalkan kerimunan teman-temannya yang entah sedang
membicarakannya atau acara music K-Pop di televisi semalam. Dia nampak tidak
peduli sekarang. Zia duduk di bangku panjang yang ada di depan kelasnya.
Biasanya Reyn sering tidak sengaja lewat di depan kelasnya seusai apel pagi dan
pastinya memberikan kesan tersendiri untuk Zia. Hari ini aneh. Dia tidak mengerti
kenapa semuanya menjadi tidak biasanya seperti ini.
“Ikut ke kantin, yuk.
Penting!” Seseorang menarik tangan mungilnya tiba-tiba.
“Mau apa?” Zia
mengernyitkan dahinya.
Belum
sempat orang itu menjawab, Zia sudah berjalan membuntuti orang yang menariknya
tadi. Dia tidak sempat menolak, sudah terlanjur dan kantin sudah dekat.
“Ada
apa ini, Fay? Apa yang penting? Aku nggak lapar.” Tanyanya setelah temannya ini
memilih duduk di salah satu bangku kantin yang kosong.
“Nggak
ada apa-apa. Hal pentingnya adalah aku lapar, Zi. Aku hanya bisa menarikmu
tadi, untuk menemaniku,” Faya menjawabnya dengan cengiran tanpa dosanya itu,
“Tunggu, ya..” gadis berambut ikal itu berdiri dari tempatnya dan sekarang
meninggalkan Zia sendiri. Zia hanya bisa menyangga dagunya sambil menatap Faya
malas.
Di
depan penjual makanan, Faya yang sedang mengantri menoleh ke arah Zia sambil
mengedipkan matanya dan tersenyum ceria. Faya tidak biasa melihat Zia murung.
Dia hanya berusaha membuat Zia tersenyum. Zia yang melihat tingkah temannya
yang satu ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Eh,
Reyn jadi pindah hari ini, ya?” Suara itu berasal dari meja sebelah. Ada empat
orang siswa perempuan sedang asyik melahap bakso pedas mereka sambil mengobrol
santai.
Zia
terperangah mendengar nama Reyn disebut dengan jelas. Spontan dia menoleh ke
arah sumber suara. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Akhirnya Zia
memutuskan untuk menyimak baik-baik pembicaraan mereka.
“Lho,
jadi pindah, ya? Pantas aja hari ini dia absen.”
“Iya,
katanya dia pindah ke luar kota karena ayahnya pindah kantor.”
“Berarti
hari kemarin itu hari terakhir kita sama-sama dia, ya?”
“Iya
mungkin, katanya juga dia nggak akan pulang lagi ke sini.”
Seketika,
darah Zia terasa berhenti mengalir sejenak. Dia tidak tau lagi harus merasakan
apa. Dia kecewa? Sudah pasti. Marah? Untuk apa. Menangis? Haruskah sekarang −di
tempat umum seperti orang gila?
Zia merasa
semuanya sia-sia. Kenapa harus hari ini Reyn pindah? Disaat dia mendapatkan kesempatan
tampil di hadapan umum dan menjadi pusat perhatian. Dan pertanyaan yang makin
membuat dadanya sesak adalah ‘Kenapa
semua keinginannya yang menyangkut Reyn selalu tidak seperti harapannya?’
***
“Waktu
itu, aku ingin kamu melihatku memegang piala Lomba Biologi di depan semua
murid. Tapi hari itu, takdir membawamu pergi. Semakin jauh dari aku.” Zia masih
duduk di samping makam itu. Bahkan air mata di pipinya pun belum mengering.
“Aku
bisa, karena kamu, Reyn. Aku semangat karena kamu. Aku hanya ingin kamu
melihatku waktu itu. Dan piala waktu itu juga aku dapatkan karena semangatku
untuk kamu. Semuanya hanya karena kamu dan untuk kamu, Reyn. Hanya kamu. Tapi
aku harus menelan kecewa lagi, Reyn.” Zia semakin erat menapakkan tangannya di
batu nisan bernama itu.
Semilir
angin memainkan rambut Zia lagi, “Entah kenapa, semuanya hal yang menyangkut
denganmu selalu terjadi di luar bayanganku, Reyn.”
***
Lepas dari
seragam sekolah, Zia sekarang mengenyam pendidikan Universitas. Tapi, Reyn
belum menghilang dari pikirannya dan juga hatinya. Justru Reyn makin leluasa
menduduki hati Zia semakin dalam seiring bertambahnya waktu. Zia hanya belum
bisa... melupakan Reyn sampai sekarang.
Masa
putih abu-abu yang telah dilaluinya belum cukup untuk bisa benar-benar melupakan
cinta pertamanya itu. Bahkan, sampai sekarang dia belum bisa mendapatkan
pengganti Reyn. Zia tidak tau kenapa Reyn begitu kuat melekat di hatinya.
Padahal sudah lama dia tak melihat batang hidung mancung Reyn. Tapi, semuanya
masih sama… Zia masih tetap menanti Reyn entah sampai kapan.
“Zia!!!”
sebuah teriakan yang menyebut jelas memanggil membuat Zia langsung menoleh
mencari sumber suara. Gadis berkulit sawo matang tampak terengah-engah
menghampiri Zia. Dia terlihat sangat terburu-buru. Zia hanya bisa menatapnya
heran sambil menunggunya sampai dihadapannya.
“Ada
apa, Fay?” Tanya Zia santai. Sedangkan Faya tampak sedang berusaha keras
mengatur napasnya kembali sebelum mulai bercerita.
Zia
mengeleng pelan, heran dengan teman lamanya yang satu ini, “Fay? Kenapa harus
lari-lari? Tenang aja, aku bakal nunggu kamu walaupun kamu sambil jalan
santai,” Zia tidak pernah mengerti kenapa temannya ini suka sedikit heboh
ketika mempunyai cerita baru.
Faya menarik
napas, “Ada film bagus baru tayang hari ini,” katanya kemudian. Gadis ini
kemudian tersenyum bangga ketika mendapati wajah Zia yang sumringah seketika.
“Hah?
Film apa, Fay?” Zia menatap Faya tidak sabar. Senyumnya mengembang lebar di
bibir tipisnya.
“Udah
langsung berangkat ke bioskop aja, yuk!” Faya beranjak sambil menarik tangan
Zia. Mereka berjalan berdampingan seperti biasa.
Zia
mengenal Faya sejak mereka berseragam putih biru. Selanjutnya, mereka cocok
karena mereka mempunyai banyak kesamaan dan kesukaan. Salah satunya, mereka
memang hobby menonton film di bioskop. Entah mengapa, mereka menjadi lupa
segalanya ketika mendengar ada film bagus di bioskop.
Mereka
tiba di lapangan parkir Universitas yang tampak sangat padat. Tanpa sengaja,
Zia melihat seorang laki-laki yang seperti dikenalnya tapi tidak biasa dia
lihat di kampus. Laki-laki bermata hazel itu tengah duduk diatas motor sport
mewahnya sambil masih memandangi gerbang keluar kampus. Bisa disimpulkan dia
sedang menunggu seseorang. Zia masih mengamati laki-laki itu sampai sesuatu
menyadarkannya.
Kaki
Zia mendadak terpaku sejenak, langkahnya terhenti. Jantungnya tiba-tiba
berdegup kencang. Ini cukup aneh karena sudah lama dia tidak merasakan ini.
Otaknya masih terus berpikir keras, apakah benar laki-laki itu.. ‘Reyn?’
Faya merasa aneh melihat Zia yang
tiba-tiba berhenti ditengah kerumunan lapangan parkir kampus. Seketika telapak
mungil Zia menggenggam tangan Faya kuat. Hal yang lebih membuatnya bingung,
kenapa pandangan Zia mendadak hanya terfokus pada seorang laki-laki di atas
motor itu? Tanpa sadar, Faya juga ikut terhanyut mengingat wajah siapa yang
terpampang disana, sepertinya dulu dia mengenal laki-laki itu.
“Zi,
itu kak Reyn?”
Zia
tampak tidak percaya. Laki-laki yang selama ini pergi tapi masih melekat di
hatinya ada di depannya sekarang. Ini seperti mimpi di siang bolong baginya.
Zia tidak tau harus merasakan apa sekarang. Bahagia? Terharu? Tidak percaya?
Semuanya melebur jadi satu di dalam darahnya yang mengalir sekarang. Reyn ada
di hadapannya sekarang. Hey, inilah kenyataanya.
Gadis bermata cokelat itu spontan
melangkahkan kakinya ke arah Reyn. Di wajahnya sekarang terpancar raut
kebahagiaan yang sangat kuat. Belum pasti apa yang akan dilakukannya jika sudah
ada di depan Reyn nanti. Yang pasti, langkahnya masih terayun yakin menuju
posisi laki-laki itu.
Lima
langkah lagi. Sampai akhirnya, ada seorang gadis yang telah menghampiri Reyn
lebih dulu. Reyn tampak tersenyum lega saat gadis itu muncul di hadapannya.
Kemudian sebuah kecupan manis dilayangkan Reyn di dahi gadis itu. Tidak salah
lagi itu pasti orang yang sedang ditunggunya. Tanpa ragu gadis itu langsung
naik ke motor Reyn dan segera berlalu dari kampus itu.
Hati
yang semula telah tertata mendadak hancur berantakan. Perasaan itu begitu
menyakitkan. Zia merasa kakinya lemas. Tangannya yang mengeluarkan keringat
dingin juga terasa lemas. Dia merasa dipermainkan... oleh perasaanya sendiri!
Matanya memanas. Pipinya merah dan dadanya sesak karena terlalu kecewa. Dia
hampir kehilangan kendali dirinya sendiri.
“Zia?
Kamu-nggak-apa-apa?” Faya bertanya dengan sangat hati-hati. Sejurus kemudian,
Faya menuntun Zia ke sebuah bangku kosong di taman kampus yang tidak jauh dari
posisinya semula. Zia masih menatap lurus ke depan, pandangannya kosong.
Tubuhnya masih lemas sehingga Faya juga membutuhkan tenaga untuk menopang tubuh
Zia.
“Ini
mimpi, ya, Fay? Kapan aku bangun?”
“Enggak,
Zi tapi−“ Faya sengaja tidak melanjutkan jawabannya setelah melihat Zia
meneteskan air mata yang daritadi berusaha dibendungnya.
Air
itu meleleh juga dari pelupuk mata cokelat Zia. Pelampiasan yang sudah tidak
bisa lagi dia tahan. Dadanya semakin sesak ketika dia berusaha menahan
semuanya. Dia benar-benar merasa dilambungkan setinggi langit sebelum akhirnya
terhempas juga ke tanah lalu hancur. Semua ini begitu menyakitkan baginya. Dia
masih berharap ini semua mimpi dan ketika dia terbangun semuanya masih
baik-baik saja.
“Nangis
aja, Zi. Aku tau perasaan kamu sekarang, biar semuanya tumpah. Jangan ditahan
lagi…” Faya memeluk Zia erat. Dia seperti ikut merasakan kehancuran seperti
yang dialami Zia. Air matanya ikut menetes.
Faya
tau benar bagaimana Zia menyukai Reyn. Zia telah melakukan segalanya hanya
untuk Reyn. Tapi, dia juga masih merasa heran sampai sekarang –kenapa takdir
tidak pernah membiarkan Zia bahagia karena Reyn?
“Mulai
sekarang, mulai detik ini, ya, kamu mau melupakan Reyn, Zi? Dia terlalu banyak
menyakiti kamu. Aku nggak bisa melihat kamu seperti ini terus. Kamu juga berhak
bahagia, Zi. Kamu harus buktikan kamu juga bisa tanpa dia.” Faya menatap mata
Zia yang berkaca-kaca. Zia masih menunduk. Entah apa yang kira-kira ada di
pikirannya sekarang, dia hanya bisa terdiam seribu kata.
Angin
bertiup semilir, udara segar sangat terasa mengalir ke paru-paru. Cuaca siang
hari yang panas dan terang mendadak berganti. Sang mega mendung yang gagah
sudah bertengger di angkasa. Mungkin tinggal menunggu hitungan menit hujan akan
turun membasahi bumi. Faya mengajak Zia yang masih membisu ke sebuah café
coffee di sekitar kampus. Café ini merupakan café favorit mereka berdua
menghabiskan waktu.
“Udah,
Zi. Lupakan aja kejadian yang tadi. Anggap nggak pernah terjadi. Lupakan Reyn,
itu saranku yang terbaik buat kamu.” Kata Faya memecah keheningan yang
membelenggu mereka. Sambil menyeruput mochacinno hangatnya, dia memperhatikan
tetesan air yang terjun bebas dari langit itu dari kaca besar di sampingnya.
“Mulai
sekarang aku akan mencoba melupakan Reyn. Aku akan usaha, Fay. Aku nggak mau
terus merasa hancur hanya karena mengharapkan Reyn. Aku bodoh karena hanya bisa
terus berkhayal tinggi tentang dia tanpa bisa mewujudkan semuanya jadi
kenyataan. Mungkin memang bukan dia orangnya…” ujar Zia sambil menutup matanya
mantab. Dia sengaja tidak membiarkan apapun mengganggunya ketika meneguhkan
keputusannya ini. Lengkungan senyum di bibirnya menyusul kemudian setelah
semuanya telah selesai sampai disini baginya.
“Jodohmu
sudah menanti di luar sana, Zi. Jangan buang waktumu untuk hal yang nggak pasti
seperti Reyn. Jangan tutup hatimu hanya untuk memelihara hal menyakitkan
seperti harapanmu kepada Reyn. Coba buka hatimu, Zi…”
“Makasih,
Fay. Entah malaikat macam apa kamu ini, terima kasih..”
***
Tiga tahun
kemudian. Zia telah menginjakkan kakinya di kota impiannya; Melbourne. Dia
memutuskan mengambil beasiswa kuliah S2-nya di sana. Mengenai hatinya,
sepertinya dia sudah berhasil mengosongkan hatinya. Dan jejak Reyn di hatinya
pun perlahan menghilang ditelan waktu. Dia menjadi sesosok gadis yang kuat.
Sakit dan patah hati yang dialaminya telah menjadi guru hidupnya yang sangat
berarti.
Sampai
sekarang, Zia masih belum membuka hatinya. Entah karena Reyn masih membayangi
atau memang belum ada yang bisa masuk ke hatinya selain Reyn. Tapi yang jelas,
dia tampak sangat menikmati hidup barunya itu. Dan sepertinya dia juga sudah
bahagia.
“Hey,
Fay! Gimana kabar di Indonesia?” Ujar Zia membuka topic pembicaraan baru
melalui Skype. Faya yang ada di layar laptopnya itu tampak jauh lebih dewasa
setelah menjadi pengusaha butik yang sukses pasca sarjana.
“Hmm,
ya, biasa seperti yang kamu tau…” Jawab Faya santai sambil tersenyum.
Jawaban
itu belum cukup memuaskan Zia sepertinya, “Nggak ada kabar yang ‘luar biasa’ gitu?”
“Kabar
luar biasa?” Faya mengulang kata yang membuatnya tampak berpikir dan mengingat
sesuatu yang memang rencananya akan dia sampaikan pada Zia. Dia masih berusaha
sekarang.
“Nggak
ada? Yah…” Zia mendesah kecewa. Dia masih menatap wajah sahabatnya itu di layar
sambil masih berharap.
“Eh,
aku baru ingat, Zi! Ada,” Ujar Faya kemudian.
“Apa?
Apa Fay?” Zia nampak antusias dan tidak sabar ingin cepat mendengarnya.
Tidak
seperti Zia yang tampak bersemangat ingin segera mendengar kabar luar biasa
macam apa yang akan diceritakan sahabatnya itu, Faya malah terlihat tidak
berniat mengatakannya. Seketika gurat kesedihan terlukis di wajahnya. Gadis
bermata hitam legam itu masih berpikir untuk mengatakan kabar itu atau tidak.
“Sebelumnya,
gimana perasaanmu untuk Reyn sekarang, Zi?” Sebuah pertanyaan yang tidak
disangka Zia akan ditujukan padanya. Zia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Faya
bertanya hal ini padanya.
Zia
masih diam. Berbagai pemikiran muncul di kepalanya. Apakah Reyn sudah menikah?
Apakah Zia akan hancur lagi karena kabar itu? Banyak hal yang sempat terlintas
tapi satu hal yang pasti, Zia sudah mengira kabar yang akan disampaikan Faya
pasti menyangkut Reyn.
“Zia?”
Faya berusaha menyadarkan Zia dari lamunannya.
Zia
menatap Faya, “Mm, kurasa aku sudah berhasil mengosongkan hatiku dari dia,
Fay.” Sebuah senyum kemenangan kemudian mengembang di bibir Zia.
“Hebat!”
Faya mengacungkan kedua jempolnya.
“Jadi?
Kabar luar biasanya apa?” Zia mengernyit penasaran.
Faya
nampak berat mengatakannya tapi keharusan memaksanya sekarang, “Reyn
kecelakaan, Zi. Dia sudah meninggal lima hari lalu.”
Darah
Zia terasa berdesir seketika. Entah apa lagi yang bisa dirasakan oleh Zia
sekarang. Cinta pertamanya kini telah pergi meninggalkan dunia. Kehilangan?
Sudah pasti. Bagaimanapun Reyn juga merupakan orang penting di hidup Zia. Orang
yang pernah mengisi hatinya. Orang yang paling banyak mengecewakan dia selama
ini. Orang yang selalu menghancurkan hati Zia. Dan merupakan orang yang paling aneh
karena bisa membuat Zia masih tetap mencintainya meski sampai mati pun Reyn
tidak pernah tau perasaan Zia tapi inilah jalan cinta Zia, mungkin...
“Kamu
nggak bercanda, Fay?” Ujar Zia kemudian dengan suara bergetar.
Faya
menggeleng yakin, “Enggak, Zi. Aku serius. Lima hari lalu aku juga menghadiri
pemakamannya.”
Zia
terdiam. Dia nampak menahan air mata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya. Dia
masih tidak percaya ini semua kenyataan. Reyn. Cinta pertamanya sudah meninggal?
Bayangan wajah menawan keturunan Arab milik Reyn melintas seperti foto-foto
lama di kepalanya. Zia menutup wajahnya yang tertunduk dengan telapak
tangannya.
“Zi,
kamu-nggak-apa-apa?”
***
Lembayung
senja terlihat menggantung di langit. Sepertinya matahari sudah bersiap
melewati malam di balik gunung itu. Entah sudah berapa jam Zia duduk di samping
makam Reyn. Sampai dia tidak sadar senja telah menjemput.
Air
matanya sudah mengering. Tak berbekas lagi sebuah tangisan di wajahnya. Dia
mengulum senyum lega sambil meletakkan bucket bunga mawar yang dibawanya tadi
di atas pusara Reyn. Tangannya masih mengusap nisan yang terbuat dari marmer
itu.
Zia
berdiri, tapi pandangannya masih belum teralih, “Tenang saja disana, Reyn. Aku
telah berhasil menyembukan luka di hatiku dan aku juga telah memaafkanmu.”
“Zi?
Kamu sudah selesai?” Seorang laki-laki dengan suara beratnya itu berdiri
disamping Zia. Zia menoleh lalu
melemparkan senyum kelegaannya.
“Ayo
kita pulang, Al.” ujar Zia kemudian. Laki-laki ini kemudian melingkarkan
lengannya di bahu Zia. Dia hanya mengangguk setuju.
Aldi,
pelabuhan terakhir hati Zia sekarang menggenggam erat telapak tangan Zia.
Mereka seperti tidak bisa dipisahkan lagi. Dialah orang yang selama ini dinanti
Zia setelah Reyn pergi dari hatinya. Satu hal yang menjadi cita-cita Aldi
sekarang; melindungi dan membuat Zia bahagia selalu. Mereka berjalan beriringan
sambil menikmati senja. Satu hal yang pasti dari semua ini hanya; Reyn memang
menjadi yang pertama di hati Zia, tetapi cuma Aldi yang bisa menjadi yang
terakhir selama hidupnya…
*****
Finally, setelah sekian lama ada di draft
akhirnya aku post juga:3 huehe
Agak gimana gitu sama cerita yang satu
ini, hmm padahal belum tentu juga ada yang baca yak ckck
Kritik dan saran selalu diterima kok:D
Kalo masih ada kesalahan atau kekurangan
di cerita ini mohon koreksinya yaa;)
Terima kasih,
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar