Rabu, 26 Februari 2014

Mencintai dalam Diam

Sederhana, ini hanya perkara cinta yang tak pernah terucap.
Entah apa yang membuatnya dapat dirasakan namun tidak dapat diungkapkan.
Ini hanya sebuah perkara aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita…
***
Angin yang berhembus terasa angkuh saat menerpa tubuh mungilnya. Rambut panjang kecoklatan gadis itu dibuat menari-nari karenanya. Dia bergidik lalu merapatkan kembali mantel tebalnya. Tangan kanannya masih menggenggam se-bucket bunga mawar merah. Suhu nampak sedang tidak bersahabat.  Dedaunan itu tampak menggantung lemah diujung tangkai pohon-pohon itu. Langkah demi langkah dia tapakkan diantara dedaunan kuning kecoklatan yang berserakan ditanah. Sesekali, angin juga membawa dedaunan itu terbang sejenak sebelum mendarat di tanah.
Kaki yang terbungkus sepatu boots modis itu berhenti di suatu tempat yang terasa damai karena kesunyiannya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat menatap tempat itu. Dia bersimpuh dan mengusap sebuah batu berarti yang ada di depannya. Disisi atas batu itu tertulis; Reynaldi Putra Atmaja –cinta pertamanya.
“Hai, Reyn? Gimana dunia barumu disana? Semoga kamu baik-baik saja, ya.” Seketika matanya berkaca-kaca seiring kata tersebut terucap.
Zia masih tersenyum hampa menatap batu nisan itu. Seketika memory bertahun-tahun lalu yang hampir terkubur seperti terputar lagi di kepalanya. Memenuhi setiap rongga otaknya sehingga tidak ada hal lain lagi yang bisa dia pikirkan.
                                                       ***
Matahari masih belum terbangun dari singgasananya di ujung timur sana. Tapi seperti tidak peduli, seorang gadis berseragam merah putih tampak bersemangat menyusuri koridor sekolahnya yang masih sepi. Tak henti-henti dia mengembangkan senyum manisnya itu. Di genggamannya yang erat terdapat sebuah amplop kecil berwarna merah jambu.
Langkahnya terhenti di depan sebuah ruang kelas. Gadis berkuncir dua itu tampak ragu ketika ingin memasukinya. Dengan sangat hati-hati, dia memberanikan diri mengintip ke dalam ruangan itu dari jendela. Helaan napas lega menyusul setelah dia melihat tak ada seorang pun di kelas itu.
Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, dia masuk ke ruang kelas itu. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah meja di baris nomor dua dari belakang. Gadis itu melirik amplop di tangannya, lalu berjalan menghampiri meja itu. Dia meraba-raba loker di bawah meja itu, kemudian tanpa berpikir lagi gadis mungil itu menyelipkan amplop merah jambu tadi ke dalamnya.
‘Semoga Kak Reyn baca, ya..’ Gumamnya dalam hati.
=====
Kriiiiiiiiiing… Kriiiiiiiiiiiing…
Bunyi bel nyaring itu terdengar tepat saat jam 12. Semua siswa berhamburan keluar. Sepertinya cuma gadis itu yang masih duduk tenang sambil mengamati teman-temannya yang berebut keluar kelas.
“Zia, lagi nunggu apa?” Seorang wanita dengan wajah keibuannya yang kental menegur gadis itu. Dia cuma merasa aneh kenapa gadis ini masih duduk tenang padahal bel pulang telah berdering.
“Mm, enggak ada, Bu Guru. Saya cuma malas berdesakan di pintu sana.” Jawabnya dengan tersenyum polos.
“Oh, gitu, ya. Oke, tapi nanti kamu harus langsung pulang, ya..” Wanita yang dipanggil Bu Guru itu perlahan berlalu setelah mendapat anggukan mantab dari Zia.
Setelah punggung Bu Guru itu menghilang, dengan santai Zia melenggang keluar kelas. Tetapi dia tidak langsung menuju gerbang sekolah, dia sengaja berjalan memutar melewati taman sekolah agar lewat di depan kelas Reyn.
Keadaan kelas itu sama dengan pagi tadi, sepi. Bisa dipastikan penghuninya sudah pulang semua. Zia masih berjalan melewati kelas itu sampai sesuatu menarik perhatiaannya dan otomatis menghentikan langkahnya.
Sesuatu berwarna merah jambu mirip dengan amplop yang dia selipkan di loker meja Reyn pagi tadi itu berada bersama barang-barang terbuang di tong sampah. Tanpa sempat berpikir lagi, dia memungut benda itu dan membersihkannya dengan tissue di kantongnya. 
Zia masih membolak balik benda dari kertas itu.’Ah, benar ini amplopku buat Kak Reyn’ Katanya yakin setelah melihat ada sebaris tulisan tangannya di amplop itu. Hal yang paling tidak disangkanya adalah surat itu masih terlipat rapi di dalamnya walaupun amplop itu telah sobek di bagian atasnya.
Dada gadis kecil itu terasa sesak. Pipinya memanas. Senyum manisnya yang dari pagi tadi selalu mengembang di bibir tipisnya seakan tak berbekas di raut wajahnya sekarang. Perlahan, dia merasa matanya telah dipenuhi air yang siap jatuh jika tidak terbendung lagi.
Zia tau, Kak Reyn tidak membaca suratnya. Dia hanya membuka amplopnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Setidaknya, hal itulah yang ada di pikirannya sekarang. Tetes air mata itu sudah mengalir di pipi Zia, dia marah. Dia sangat kecewa. ‘Kak Reyn jahat.’
***
“Aku masih ingat, Reyn, saat kamu membuang surat pertamaku buat kamu. Mungkin aku nggak akan mungkin bisa lupa hal itu.” Zia mengusap air matanya dan mencoba tersenyum tegar.
“Kamu nggak tau, kan, surat itu aku buat semalaman dan telah direvisi sampai ganti kertas berkali-kali demi sempurnanya setiap kata yang terpampang di kertas sederhana itu. Tapi kamu malah membuangnya, Reyn. Aku sangat kecewa saat itu. Lucu, ya, bocah SD bisa patah hati.” Zia berusaha menertawai kekecewaannya saat itu, walaupun sangat terlihat; senyum itu senyum yang hambar.
Zia mengelus batu nisan itu, “Mungkin memang aku yang salah, Reyn. Dari awal aku udah dapat pertanda kalo kamu bukan buat aku. Tapi kenapa susah, Reyn, susah buat lupain kamu.”
***
Gadis manis itu, tak henti-hentinya mengulum senyum. Hari ini hari yang sangat istimewa baginya. Berkat kerja kerasnya minggu lalu, dia berhasil menjuarai Lomba Biologi tingkat Provinsi. Dan hari ini, di depan semua murid, guru pembimbingnya akan menyerahkan sebuah piala penghargaan padanya. Dia sangat antusias, sangat jelas terlihat dari wajah mulusnya yang sumringah dan sangat bersemangat.
Zia mematut dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada noda mengganggu di seragam putih-birunya. Dia masih mengurus rambutnya yang pendek sebahu itu. Setelah menyematkan sebuah jepit berwarna biru di sebelah poninya, dia segera menyambar tas coklatnya dan beranjak keluar kamar.
Dia merasa gugup. Sepertinya, dia merasa kurang percaya diri mengingat hal yang akan dialaminya. Menerima piala di depan semua murid dan otomatis dijadikan teladan bagi siswa lain. Tapi hal yang paling mengganggunya adalah Reyn. Apakah Reyn akan melihatnya? Apakah Reyn akan terkagum dengan prestasinya itu? Dia cuma takut, suatu hal terjadi di luar bayangannya.
Salah satu motivasi belajarnya, adalah Reyn. Zia cuma ingin Reyn tau kalau Zia ada. Zia cuma ingin menunjukkan kalau Zia bisa. Zia bisa untuk Reyn. Walaupun sampai detik ini Zia hanya bisa melihat Reyn dari kejauhan, gadis manis ini hanya berharap bisa dekat dengan Reyn karena usahanya sendiri.
Detik-detik itu akan segera tiba. Zia akan ada di hadapan semua murid di sekolahnya, termasuk Reyn. Apel pagi telah di mulai. Dia berada di barisan perempuan seperti murid lain. Posisinya sekarang tidak jauh dari barisan murid laki-laki; tempat Reyn biasa berdiri.
Zia cukup penasaran, dari sudut mana laki-laki keturunan Arab yang dikaguminya itu akan melihatnya di depan nanti. Berdirinya dia kini hanya bertumpu pada ujung jari-jari kakinya. Zia memang tidak terlalu pendek, tetapi tidak terlalu tinggi juga. Dari tempatnya sekarang, tidak semudah biasanya menemukan kepala Reyn yang lebih menjulang daripada teman-temannya. Ini aneh.
“Untuk ananda Natasha Ferozia dipersilahkan ke depan.” Suara MC yang mengalun itu membuat gadis berkulit kuning langsat itu tercengang sejenak. Dia nampak sedikit tidak menyangka akan secepat ini moment istimewanya itu terjadi.
“Zia ke depan, tuh..”
“Selamat, ya, Zia..”
“Kamu hebat! Cepat bawa piala itu..”
Suasana Apel berubah seketika. Teman-teman sekitar barisan Zia bersahutan memberikan pujian untuk kesuksesannya. Dia hanya bisa mengumbar senyum bahagianya. Perlahan, kakinya melangkah membawa Zia ke samping Pembina Apel yang tersenyum ramah menyambutnya. Dia merasakan darahnya berdesir kencang. Jantungnya bergemuruh kencang. Keringat dingin mulai menyelimuti telapak tangan mungilnya. Zia tidak terbiasa berdiri di hadapan orang banyak. Ditambah, semua pasang mata sedang tertuju padanya sekarang; sebagai pemeran utama. ‘Kak Reyn, semua ini untukmu. Semoga kamu melihat ini semua, Kak..’
Piala nan tinggi itu berkilau diterpa sinar matahari. Zia menerimanya dengan kedua tangannya yang terbuka. Riuh tepuk tangan menyusul setelah piala itu berpindah tangan. Dia masih memancarkan raut bahagianya itu –juga senyum terbaiknya.
Manik cokelatnya tampak berkeliaran. Menyapu setiap orang di barisan laki-laki yang tepat ada di depannya sekarang. Tidak salah lagi, dia hanya mau melihat bagaimana binar mata Reyn saat melihatnya sekarang. Dia ingin tau, apakah Reyn terkesan akan prestasinya sekarang. Dia cuma ingin memastikan, Reyn melihatnya.. sekarang.
Bisa dipastikan, Zia tidak mendengarkan apa saja yang disampaikan Pembina Apel terkait dengan dirinya untuk memotivasi yang lain, agar terus berprestasi. Dia hanya focus mencari laki-laki bermata hazel itu ditengah banyaknya murid laki-laki di depannya. Senyuman yang dari tadi merekah di bibirnya perlahan menghilang setelah kedua matanya tak berhasil menemukan Reyn. Satu pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya kini; dimanakah Reyn?
Zia kembali ke kelasnya dengan piala kuning keemasan itu di tangannya. Teman-teman Zia menyambutnya dengan suka cita. Pujian belum berhenti mengalir dari mulut mereka. Dia hanya menarik dua sudut bibirnya dan membentuk sebuah lengkungan; lagi dan lagi. Tidak ada kata lain yang keluar dari mulutnya selain ‘Terima Kasih’.
Mata Zia terlihat berkaca-kaca. Semua temannya mengira, itu salah satu respon Zia semacam ‘Air mata Kebahagiaan’ atas prestasinya. Diluar itu semua, tidak ada yang tau Zia tidak bahagia atas piala tinggi menjulang itu. Dia merasa hampa dan seperti kehilangan. Dia merasa bodoh karena telah membayangkan hari ini akan jadi hari bahagianya. Dia merasa bodoh berharap Reyn melihatnya dengan binar kekaguman. Dia salah. Semua ini terjadi diluar perkiraannya. Sontak Zia menyadari, hal yang ditakutinya dari awal justru terjadi.
Gadis berambut cokelat itu meletakkan pialanya di meja. Matanya memancarkan raut kesedihan. Aneh, karena disaat seperti ini dia masih bisa merasakan kekecewaan. Kakinya perlahan melangkah keluar kelas. Meninggalkan kerimunan teman-temannya yang entah sedang membicarakannya atau acara music K-Pop di televisi semalam. Dia nampak tidak peduli sekarang. Zia duduk di bangku panjang yang ada di depan kelasnya. Biasanya Reyn sering tidak sengaja lewat di depan kelasnya seusai apel pagi dan pastinya memberikan kesan tersendiri untuk Zia. Hari ini aneh. Dia tidak mengerti kenapa semuanya menjadi tidak biasanya seperti ini.
“Ikut ke kantin, yuk. Penting!” Seseorang menarik tangan mungilnya tiba-tiba.
“Mau apa?” Zia mengernyitkan dahinya.
          Belum sempat orang itu menjawab, Zia sudah berjalan membuntuti orang yang menariknya tadi. Dia tidak sempat menolak, sudah terlanjur dan kantin sudah dekat.
          “Ada apa ini, Fay? Apa yang penting? Aku nggak lapar.” Tanyanya setelah temannya ini memilih duduk di salah satu bangku kantin yang kosong.
          “Nggak ada apa-apa. Hal pentingnya adalah aku lapar, Zi. Aku hanya bisa menarikmu tadi, untuk menemaniku,” Faya menjawabnya dengan cengiran tanpa dosanya itu, “Tunggu, ya..” gadis berambut ikal itu berdiri dari tempatnya dan sekarang meninggalkan Zia sendiri. Zia hanya bisa menyangga dagunya sambil menatap Faya malas.
          Di depan penjual makanan, Faya yang sedang mengantri menoleh ke arah Zia sambil mengedipkan matanya dan tersenyum ceria. Faya tidak biasa melihat Zia murung. Dia hanya berusaha membuat Zia tersenyum. Zia yang melihat tingkah temannya yang satu ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
          “Eh, Reyn jadi pindah hari ini, ya?” Suara itu berasal dari meja sebelah. Ada empat orang siswa perempuan sedang asyik melahap bakso pedas mereka sambil mengobrol santai.
          Zia terperangah mendengar nama Reyn disebut dengan jelas. Spontan dia menoleh ke arah sumber suara. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Akhirnya Zia memutuskan untuk menyimak baik-baik pembicaraan mereka.
          “Lho, jadi pindah, ya? Pantas aja hari ini dia absen.”
          “Iya, katanya dia pindah ke luar kota karena ayahnya pindah kantor.”
          “Berarti hari kemarin itu hari terakhir kita sama-sama dia, ya?”
          “Iya mungkin, katanya juga dia nggak akan pulang lagi ke sini.”
          Seketika, darah Zia terasa berhenti mengalir sejenak. Dia tidak tau lagi harus merasakan apa. Dia kecewa? Sudah pasti. Marah? Untuk apa. Menangis? Haruskah sekarang −di tempat umum seperti orang gila?
          Zia merasa semuanya sia-sia. Kenapa harus hari ini Reyn pindah? Disaat dia mendapatkan kesempatan tampil di hadapan umum dan menjadi pusat perhatian. Dan pertanyaan yang makin membuat dadanya sesak adalah ‘Kenapa semua keinginannya yang menyangkut Reyn selalu tidak seperti harapannya?’
***
          “Waktu itu, aku ingin kamu melihatku memegang piala Lomba Biologi di depan semua murid. Tapi hari itu, takdir membawamu pergi. Semakin jauh dari aku.” Zia masih duduk di samping makam itu. Bahkan air mata di pipinya pun belum mengering.
          “Aku bisa, karena kamu, Reyn. Aku semangat karena kamu. Aku hanya ingin kamu melihatku waktu itu. Dan piala waktu itu juga aku dapatkan karena semangatku untuk kamu. Semuanya hanya karena kamu dan untuk kamu, Reyn. Hanya kamu. Tapi aku harus menelan kecewa lagi, Reyn.” Zia semakin erat menapakkan tangannya di batu nisan bernama itu.
          Semilir angin memainkan rambut Zia lagi, “Entah kenapa, semuanya hal yang menyangkut denganmu selalu terjadi di luar bayanganku, Reyn.”
***
          Lepas dari seragam sekolah, Zia sekarang mengenyam pendidikan Universitas. Tapi, Reyn belum menghilang dari pikirannya dan juga hatinya. Justru Reyn makin leluasa menduduki hati Zia semakin dalam seiring bertambahnya waktu. Zia hanya belum bisa... melupakan Reyn sampai sekarang.
          Masa putih abu-abu yang telah dilaluinya belum cukup untuk bisa benar-benar melupakan cinta pertamanya itu. Bahkan, sampai sekarang dia belum bisa mendapatkan pengganti Reyn. Zia tidak tau kenapa Reyn begitu kuat melekat di hatinya. Padahal sudah lama dia tak melihat batang hidung mancung Reyn. Tapi, semuanya masih sama… Zia masih tetap menanti Reyn entah sampai kapan.
          “Zia!!!” sebuah teriakan yang menyebut jelas memanggil membuat Zia langsung menoleh mencari sumber suara. Gadis berkulit sawo matang tampak terengah-engah menghampiri Zia. Dia terlihat sangat terburu-buru. Zia hanya bisa menatapnya heran sambil menunggunya sampai dihadapannya.
          “Ada apa, Fay?” Tanya Zia santai. Sedangkan Faya tampak sedang berusaha keras mengatur napasnya kembali sebelum mulai bercerita.
          Zia mengeleng pelan, heran dengan teman lamanya yang satu ini, “Fay? Kenapa harus lari-lari? Tenang aja, aku bakal nunggu kamu walaupun kamu sambil jalan santai,” Zia tidak pernah mengerti kenapa temannya ini suka sedikit heboh ketika mempunyai cerita baru.
          Faya menarik napas, “Ada film bagus baru tayang hari ini,” katanya kemudian. Gadis ini kemudian tersenyum bangga ketika mendapati wajah Zia yang sumringah seketika.
          “Hah? Film apa, Fay?” Zia menatap Faya tidak sabar. Senyumnya mengembang lebar di bibir tipisnya.
          “Udah langsung berangkat ke bioskop aja, yuk!” Faya beranjak sambil menarik tangan Zia. Mereka berjalan berdampingan seperti biasa.
          Zia mengenal Faya sejak mereka berseragam putih biru. Selanjutnya, mereka cocok karena mereka mempunyai banyak kesamaan dan kesukaan. Salah satunya, mereka memang hobby menonton film di bioskop. Entah mengapa, mereka menjadi lupa segalanya ketika mendengar ada film bagus di bioskop.
          Mereka tiba di lapangan parkir Universitas yang tampak sangat padat. Tanpa sengaja, Zia melihat seorang laki-laki yang seperti dikenalnya tapi tidak biasa dia lihat di kampus. Laki-laki bermata hazel itu tengah duduk diatas motor sport mewahnya sambil masih memandangi gerbang keluar kampus. Bisa disimpulkan dia sedang menunggu seseorang. Zia masih mengamati laki-laki itu sampai sesuatu menyadarkannya.
          Kaki Zia mendadak terpaku sejenak, langkahnya terhenti. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Ini cukup aneh karena sudah lama dia tidak merasakan ini. Otaknya masih terus berpikir keras, apakah benar laki-laki itu.. ‘Reyn?’
          Faya merasa aneh melihat Zia yang tiba-tiba berhenti ditengah kerumunan lapangan parkir kampus. Seketika telapak mungil Zia menggenggam tangan Faya kuat. Hal yang lebih membuatnya bingung, kenapa pandangan Zia mendadak hanya terfokus pada seorang laki-laki di atas motor itu? Tanpa sadar, Faya juga ikut terhanyut mengingat wajah siapa yang terpampang disana, sepertinya dulu dia mengenal laki-laki itu.
          “Zi, itu kak Reyn?”
          Zia tampak tidak percaya. Laki-laki yang selama ini pergi tapi masih melekat di hatinya ada di depannya sekarang. Ini seperti mimpi di siang bolong baginya. Zia tidak tau harus merasakan apa sekarang. Bahagia? Terharu? Tidak percaya? Semuanya melebur jadi satu di dalam darahnya yang mengalir sekarang. Reyn ada di hadapannya sekarang. Hey, inilah kenyataanya.
          Gadis bermata cokelat itu spontan melangkahkan kakinya ke arah Reyn. Di wajahnya sekarang terpancar raut kebahagiaan yang sangat kuat. Belum pasti apa yang akan dilakukannya jika sudah ada di depan Reyn nanti. Yang pasti, langkahnya masih terayun yakin menuju posisi laki-laki itu.
          Lima langkah lagi. Sampai akhirnya, ada seorang gadis yang telah menghampiri Reyn lebih dulu. Reyn tampak tersenyum lega saat gadis itu muncul di hadapannya. Kemudian sebuah kecupan manis dilayangkan Reyn di dahi gadis itu. Tidak salah lagi itu pasti orang yang sedang ditunggunya. Tanpa ragu gadis itu langsung naik ke motor Reyn dan segera berlalu dari kampus itu.
          Hati yang semula telah tertata mendadak hancur berantakan. Perasaan itu begitu menyakitkan. Zia merasa kakinya lemas. Tangannya yang mengeluarkan keringat dingin juga terasa lemas. Dia merasa dipermainkan... oleh perasaanya sendiri! Matanya memanas. Pipinya merah dan dadanya sesak karena terlalu kecewa. Dia hampir kehilangan kendali dirinya sendiri.
          “Zia? Kamu-nggak-apa-apa?” Faya bertanya dengan sangat hati-hati. Sejurus kemudian, Faya menuntun Zia ke sebuah bangku kosong di taman kampus yang tidak jauh dari posisinya semula. Zia masih menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Tubuhnya masih lemas sehingga Faya juga membutuhkan tenaga untuk menopang tubuh Zia.
          “Ini mimpi, ya, Fay? Kapan aku bangun?”
          “Enggak, Zi tapi−“ Faya sengaja tidak melanjutkan jawabannya setelah melihat Zia meneteskan air mata yang daritadi berusaha dibendungnya.
          Air itu meleleh juga dari pelupuk mata cokelat Zia. Pelampiasan yang sudah tidak bisa lagi dia tahan. Dadanya semakin sesak ketika dia berusaha menahan semuanya. Dia benar-benar merasa dilambungkan setinggi langit sebelum akhirnya terhempas juga ke tanah lalu hancur. Semua ini begitu menyakitkan baginya. Dia masih berharap ini semua mimpi dan ketika dia terbangun semuanya masih baik-baik saja.
          “Nangis aja, Zi. Aku tau perasaan kamu sekarang, biar semuanya tumpah. Jangan ditahan lagi…” Faya memeluk Zia erat. Dia seperti ikut merasakan kehancuran seperti yang dialami Zia. Air matanya ikut menetes.
          Faya tau benar bagaimana Zia menyukai Reyn. Zia telah melakukan segalanya hanya untuk Reyn. Tapi, dia juga masih merasa heran sampai sekarang –kenapa takdir tidak pernah membiarkan Zia bahagia karena Reyn?
          “Mulai sekarang, mulai detik ini, ya, kamu mau melupakan Reyn, Zi? Dia terlalu banyak menyakiti kamu. Aku nggak bisa melihat kamu seperti ini terus. Kamu juga berhak bahagia, Zi. Kamu harus buktikan kamu juga bisa tanpa dia.” Faya menatap mata Zia yang berkaca-kaca. Zia masih menunduk. Entah apa yang kira-kira ada di pikirannya sekarang, dia hanya bisa terdiam seribu kata.
          Angin bertiup semilir, udara segar sangat terasa mengalir ke paru-paru. Cuaca siang hari yang panas dan terang mendadak berganti. Sang mega mendung yang gagah sudah bertengger di angkasa. Mungkin tinggal menunggu hitungan menit hujan akan turun membasahi bumi. Faya mengajak Zia yang masih membisu ke sebuah café coffee di sekitar kampus. Café ini merupakan café favorit mereka berdua menghabiskan waktu.
          “Udah, Zi. Lupakan aja kejadian yang tadi. Anggap nggak pernah terjadi. Lupakan Reyn, itu saranku yang terbaik buat kamu.” Kata Faya memecah keheningan yang membelenggu mereka. Sambil menyeruput mochacinno hangatnya, dia memperhatikan tetesan air yang terjun bebas dari langit itu dari kaca besar di sampingnya.
          “Mulai sekarang aku akan mencoba melupakan Reyn. Aku akan usaha, Fay. Aku nggak mau terus merasa hancur hanya karena mengharapkan Reyn. Aku bodoh karena hanya bisa terus berkhayal tinggi tentang dia tanpa bisa mewujudkan semuanya jadi kenyataan. Mungkin memang bukan dia orangnya…” ujar Zia sambil menutup matanya mantab. Dia sengaja tidak membiarkan apapun mengganggunya ketika meneguhkan keputusannya ini. Lengkungan senyum di bibirnya menyusul kemudian setelah semuanya telah selesai sampai disini baginya.
          “Jodohmu sudah menanti di luar sana, Zi. Jangan buang waktumu untuk hal yang nggak pasti seperti Reyn. Jangan tutup hatimu hanya untuk memelihara hal menyakitkan seperti harapanmu kepada Reyn. Coba buka hatimu, Zi…”
          “Makasih, Fay. Entah malaikat macam apa kamu ini, terima kasih..”
***
          Tiga tahun kemudian. Zia telah menginjakkan kakinya di kota impiannya; Melbourne. Dia memutuskan mengambil beasiswa kuliah S2-nya di sana. Mengenai hatinya, sepertinya dia sudah berhasil mengosongkan hatinya. Dan jejak Reyn di hatinya pun perlahan menghilang ditelan waktu. Dia menjadi sesosok gadis yang kuat. Sakit dan patah hati yang dialaminya telah menjadi guru hidupnya yang sangat berarti.
          Sampai sekarang, Zia masih belum membuka hatinya. Entah karena Reyn masih membayangi atau memang belum ada yang bisa masuk ke hatinya selain Reyn. Tapi yang jelas, dia tampak sangat menikmati hidup barunya itu. Dan sepertinya dia juga sudah bahagia.
          “Hey, Fay! Gimana kabar di Indonesia?” Ujar Zia membuka topic pembicaraan baru melalui Skype. Faya yang ada di layar laptopnya itu tampak jauh lebih dewasa setelah menjadi pengusaha butik yang sukses pasca sarjana.
          “Hmm, ya, biasa seperti yang kamu tau…” Jawab Faya santai sambil tersenyum.
          Jawaban itu belum cukup memuaskan Zia sepertinya, “Nggak ada kabar yang ‘luar biasa’ gitu?”
          “Kabar luar biasa?” Faya mengulang kata yang membuatnya tampak berpikir dan mengingat sesuatu yang memang rencananya akan dia sampaikan pada Zia. Dia masih berusaha sekarang.
          “Nggak ada? Yah…” Zia mendesah kecewa. Dia masih menatap wajah sahabatnya itu di layar sambil masih berharap.
          “Eh, aku baru ingat, Zi! Ada,” Ujar Faya kemudian.
          “Apa? Apa Fay?” Zia nampak antusias dan tidak sabar ingin cepat mendengarnya.
          Tidak seperti Zia yang tampak bersemangat ingin segera mendengar kabar luar biasa macam apa yang akan diceritakan sahabatnya itu, Faya malah terlihat tidak berniat mengatakannya. Seketika gurat kesedihan terlukis di wajahnya. Gadis bermata hitam legam itu masih berpikir untuk mengatakan kabar itu atau tidak.
          “Sebelumnya, gimana perasaanmu untuk Reyn sekarang, Zi?” Sebuah pertanyaan yang tidak disangka Zia akan ditujukan padanya. Zia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Faya bertanya hal ini padanya.
          Zia masih diam. Berbagai pemikiran muncul di kepalanya. Apakah Reyn sudah menikah? Apakah Zia akan hancur lagi karena kabar itu? Banyak hal yang sempat terlintas tapi satu hal yang pasti, Zia sudah mengira kabar yang akan disampaikan Faya pasti menyangkut Reyn.
          “Zia?” Faya berusaha menyadarkan Zia dari lamunannya.
          Zia menatap Faya, “Mm, kurasa aku sudah berhasil mengosongkan hatiku dari dia, Fay.” Sebuah senyum kemenangan kemudian mengembang di bibir Zia.
          “Hebat!” Faya mengacungkan kedua jempolnya.
          “Jadi? Kabar luar biasanya apa?” Zia mengernyit penasaran.
          Faya nampak berat mengatakannya tapi keharusan memaksanya sekarang, “Reyn kecelakaan, Zi. Dia sudah meninggal lima hari lalu.”
          Darah Zia terasa berdesir seketika. Entah apa lagi yang bisa dirasakan oleh Zia sekarang. Cinta pertamanya kini telah pergi meninggalkan dunia. Kehilangan? Sudah pasti. Bagaimanapun Reyn juga merupakan orang penting di hidup Zia. Orang yang pernah mengisi hatinya. Orang yang paling banyak mengecewakan dia selama ini. Orang yang selalu menghancurkan hati Zia. Dan merupakan orang yang paling aneh karena bisa membuat Zia masih tetap mencintainya meski sampai mati pun Reyn tidak pernah tau perasaan Zia tapi inilah jalan cinta Zia, mungkin...
          “Kamu nggak bercanda, Fay?” Ujar Zia kemudian dengan suara bergetar.
          Faya menggeleng yakin, “Enggak, Zi. Aku serius. Lima hari lalu aku juga menghadiri pemakamannya.”
          Zia terdiam. Dia nampak menahan air mata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya. Dia masih tidak percaya ini semua kenyataan. Reyn. Cinta pertamanya sudah meninggal? Bayangan wajah menawan keturunan Arab milik Reyn melintas seperti foto-foto lama di kepalanya. Zia menutup wajahnya yang tertunduk dengan telapak tangannya.
          “Zi, kamu-nggak-apa-apa?”
***
          Lembayung senja terlihat menggantung di langit. Sepertinya matahari sudah bersiap melewati malam di balik gunung itu. Entah sudah berapa jam Zia duduk di samping makam Reyn. Sampai dia tidak sadar senja telah menjemput.
          Air matanya sudah mengering. Tak berbekas lagi sebuah tangisan di wajahnya. Dia mengulum senyum lega sambil meletakkan bucket bunga mawar yang dibawanya tadi di atas pusara Reyn. Tangannya masih mengusap nisan yang terbuat dari marmer itu.
          Zia berdiri, tapi pandangannya masih belum teralih, “Tenang saja disana, Reyn. Aku telah berhasil menyembukan luka di hatiku dan aku juga telah memaafkanmu.”
          “Zi? Kamu sudah selesai?” Seorang laki-laki dengan suara beratnya itu berdiri disamping Zia.  Zia menoleh lalu melemparkan senyum kelegaannya.
          “Ayo kita pulang, Al.” ujar Zia kemudian. Laki-laki ini kemudian melingkarkan lengannya di bahu Zia. Dia hanya mengangguk setuju.
          Aldi, pelabuhan terakhir hati Zia sekarang menggenggam erat telapak tangan Zia. Mereka seperti tidak bisa dipisahkan lagi. Dialah orang yang selama ini dinanti Zia setelah Reyn pergi dari hatinya. Satu hal yang menjadi cita-cita Aldi sekarang; melindungi dan membuat Zia bahagia selalu. Mereka berjalan beriringan sambil menikmati senja. Satu hal yang pasti dari semua ini hanya; Reyn memang menjadi yang pertama di hati Zia, tetapi cuma Aldi yang bisa menjadi yang terakhir selama hidupnya…
*****
Finally, setelah sekian lama ada di draft akhirnya aku post juga:3 huehe
Agak gimana gitu sama cerita yang satu ini, hmm padahal belum tentu juga ada yang baca yak ckck
Kritik dan saran selalu diterima kok:D
Kalo masih ada kesalahan atau kekurangan di cerita ini mohon koreksinya yaa;)
Terima kasih,

-Mia

0 komentar:

Posting Komentar