Malam yang dingin kali ini lebih
memilih setia menemaniku. Hujan yang biasa memberikan ketenangan juga turut
hadir. Mengisi keheningan ketika sang surya telah terbenam. Aku membuka jendela kamarku, yang berada di
lantai dua. Sejenak hawa sejuk menyeruak masuk ke sanubariku. Aku menarik napas
dalam-dalam, aroma hujan yang khas itu sangat tercium sekarang.
Aku menarik dua sudut bibirku dan
membentuk sebuah lengkungan tipis. Aku sengaja membiarkan jendela itu terbuka
dan beranjak mengambil ponselku yang tergeletak di ranjang. Detik kemudian, aku
menghela napas kecewa karena sesuatu yang aku harapkan nyatanya belum sesuai.
Ya, aku mengharapkan ada nama seseorang tertera jelas di layar ponsel itu.
Seperti beberapa menit yang lalu. Tapi, itu hanya harapan dan mungkin tidak
terlalu penting.
Aku duduk di pinggir ranjangku
sambil menghadap jendela yang sengaja kubiarkan terbuka. Menatap tetesan hujan
di luar sana. Menghirup aroma hujan dalam-dalam –lagi dan berharap aku bisa
tenang setelahnya. Ada sesuatu yang terasa mengganjal hati. Apa ada yang salah
dari perasaanku?
Drttt…drttt…
Getaran dari ponselku berhasil
menyita perhatianku sejenak. Kali ini, sebuah senyum terlukis begitu saja di
bibirku. Ardika –nama yang sedari tadi aku harapkan akhirnya muncul juga.
Seketika perasaan mengganjal yang tadi bersemayam di hatiku sirna.
From:
Ardika
“Ah, iya. Gue lupa. Maaf, ya. Yaudah besok aja, nanti gue bawa, Kal. Tenang aja..”
“Ah, iya. Gue lupa. Maaf, ya. Yaudah besok aja, nanti gue bawa, Kal. Tenang aja..”
Aneh, tapi balasan pesan singkat
dari Ardika ini sangat ampuh mengobati keresahanku malam ini. Aku hanya takut
salah berbicara sehingga menyinggungnya tentang bukuku yang masih berada
padanya. Karena aku merasa tidak biasanya dia telat memberi balasan. Tapi aku
pikir semuanya masih baik-baik saja. Mungkin hanya aku saja yang berlebihan.
Semoga kekhawatiran kali ini tidak berarti apa-apa pada perasaanku.
To:
Ardika
“Iya, pantesan gue cari nggak ada, Dik. Yaudah, nggak papa, kok.”
“Iya, pantesan gue cari nggak ada, Dik. Yaudah, nggak papa, kok.”
Setelah menekan tombol send, aku
menghempaskan tubuhku ke ranjang. Ardika, laki-laki itu telah berhasil menyita
perhatianku dua tahun terakhir ini. Entah, aku juga tidak tau apa yang spesial
dari dirinya sehingga membuatnya berbeda dari yang lain –dari kacamataku. Yang jelas,
dia teman baikku. Aku mengenalnya semenjak pertama menginjak SMA. Aku sempat
sedikit takut ketika berbicara dengannya, dia dingin dan serius. Tapi ternyata
Dika yang aku kenal sekarang sangat jauh dari sifat itu.
Aku sekarang tidak mengerti dengan
perasaanku sendiri. Apa mungkin aku mengaguminya lebih dari sekedar teman baik?
Entahlah, yang jelas aku merasakan sesuatu yang asing. Aku merasa kehilangan
ketika dia tidak masuk sekolah beberapa hari di bulan lalu. Aku merasa tidak
ada laki-laki yang bisa mengerti perasaanku sebaik dia. Sepertinya, hanya dia
yang mampu membuatku memiliki semangat lagi ketika aku hampir menyerah pada
keadaan. Dan dia selalu berhasil membuatku tersenyum meskipun dalam keadaan
yang sulit. Dia berbeda –itu yang aku rasakan sejauh ini.
Dika, selalu mempunyai suplemen
semangat yang tidak pernah habis setiap harinya. Aku hampir tidak pernah
melihatnya murung. Entah, aku juga tidak tau darimana suplemen semangatnya
berasal. Tapi, dia telah berhasil menjadi suplemen semangatku selama aku
mengenalnya.
‘Hidup itu
nggak pernah tersenyum sama orang yang suka murung. Nikmati aja.’ –salah
satu kata andalannya yang paling kuingat. Dia benar, dan aku rasa semua
kata-kata sederhananya itu semua benar. Aku perlu belajar banyak darinya dalam
menikmati setiap lika-liku hidup yang merupakan anugrah ini. Aku begitu
mengaguminya. Dan aku berharap semua perasaanku ini akan sama sampai di akhir
waktu persahabatan kami nanti. Aku harap tidak ada yang berubah dari perasaan
ini, selamanya kami akan menjadi sahabat agar tidak ada hati yang tersakiti
nantinya. Aku berharap begitu…
*-*-*
“Buku lo, nih. Makasih, yaa..” katanya
sambil menyodorkannya di atas buku yang sedang aku baca. Aku hanya menoleh ke
arahnya yang sedang berdiri di samping mejaku sambil mengangguk.
Dia masih mematung di sampingku, “Oh,
iya. Gue buat rangkuman materi, nih. Gue tau gara-gara buku lo di gue pasti lo
nggak bisa belajar, ya? Sorry banget nih, ya, Kal..” lanjutnya kemudian sambil
mengambil tempat duduk di bangku depanku yang kebetulan kosong.
“Duh, repot-repot benget, sih, Dik?
Nggak masalah, kok. Lagian gara-gara gue lupa juga jadi kebawa terus sama lo,
kan?” jawabku sambil tersenyum simpul melihat ekspresi bersalah di wajahnya.
Dia menghela napas lega. Laki-laki
bertubuh tinggi tegap itu hanya mengangguk. Sejurus kemudian, dia beranjak
meninggalkanku yang kembali focus pada buku yang semula aku baca. Dia kembali
berkumpul dengan teman-temanku yang lain.
Aku tau, Dika mudah berteman dengan
siapa saja. Dia terlihat bersahabat dengan semua orang. Tapi sebuah rasa konyol
muncul ketika Dika terlihat dekat dengan Felly –yang juga temanku. Gadis cantik
yang berkulit kuning langsat itu mampu meluluhkan hati laki-laki hanya dengan
senyumannya. Terbukti, banyak yang mengantri menjadi kekasihnya tapi sengaja
dia abaikan. Dika, bisa menjadi teman dekatnya dalam waktu yang singkat dimana
banyak yang mengidamkan posisinya itu. Ah, apa mungkin mereka saling tertarik?
Lalu kenapa aku khawatir jika memang itu terjadi? Ini aneh dan aku sungguh
tidak mengerti sejak kapan aku berhak menjadi egois atas Dika. Aku hanya takut…
“Hey, Kalsa? Lo kenapa, sih?” Seruan
seseorang itu berhasil menarikku dari lamunan panjang. Gadis ini
melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Dia terlihat bingung melihatku.
“Ah, ya, Din?” Responku sekenanya.
Dina −gadis bermata sipit ini
berdecak, “Melamun, ya? Kalo lagi ada yang dipikirin cerita dong sama gue..”
katanya mencoba menawarkan diri.
“Nggak papa, gue cuma lagi menghayal
nggak jelas aja, kok. Mm, lo mau kemana?” ujarku setelah melihat Dina bersiap
beranjak dari tempatnya sekarang.
“Ke kantin. Ikut, yuk..” ajaknya
kemudian sambil menggenggam pergelangan tanganku. Belum sempat aku menyetujui
ajakannya, dia telah berhasil menarikku untuk mengikuti langkahnya. Sebelum aku
benar-benar keluar dari ruang kelas, aku sempat mengedarkan pandangan ke
sekeliling kelas. Sudah kuduga, aku tidak menemui sosok yang aku harapkan. Hmm,
mungkin dia terlalu memiliki banyak teman sehingga sibuk membagi waktu dengan
mereka.
*-*-*
Suasana yang ramai merupakan alasan
pertamaku untuk enggan pergi ke kantin di jam istirahat. Ah, aku harus menunggu
lebih lama untuk mendapatkan makanan yang kupesan. Makan juga menjadi tidak
leluasa ketika semua bangku telah terisi penuh. Aku dan Dina masih terpaku
ditengah keramaian ini. Aku hanya menghela napas panjang saat melihat Dina
sibuk menggaruk-garuk kepalanya bingung.
“Mau duduk dimana?” ujarku dan Dina
berbarengan dalam waktu yang nyaris sama persis juga. Kami hanya
bertatap-tatapan konyol dan selanjutnya tergelak bersama. Bagaimana bisa
pikiran kita sedang sama persis.
“Kok bisa bareng?” Katanya sambil masih
memamerkan deretan giginya yang berpagar.
“Lo selalu ngikutin style gue,
sih..” Jawabku santai.
Aku melihat seseorang yang sedang
makan dengan lahap di pojok kantin. Dia duduk sendirian dan kurasa sisa
bangkunya cukup untuk kami berdua. Cukup lama seseorang itu menunduk, setelah
dia mendongakkan kepalanya aku baru menyadari, dia Dika.
“Trus gimana, nih? Gue udah laper
banget, Kal..” Rengek Dina sambil masih memegang lenganku dan menoleh ke
sekitar.
“Itu Dika duduk sendirian, Din.
Kesana, yuk..” kataku kemudian. Dina hanya menurut padaku, dia seperti sudah
pasrah dengan perutnya yang meronta itu.
Seperti biasa, aku dan Dina
berjalan beriringan ke meja yang ditempati Dika sekarang. Dan ketika laki-laki
berkulit kuning langsat menyadari keberadaan kami, dia tersenyum ke arahku
sambil melambaikan tangannya.
“Gue bingung cari tempat duduk
nih..” kataku mencoba memancing agar otomatis Dika mengijinkan kami duduk satu
meja dengannya. Dina yang sudah terlihat pasrah justru langsung duduk di depan
Dika tanpa basa-basi lagi.
Dika menghentikan aktivitas
makannya sejenak, “Yaudah duduk disini aja, Kal. Kalo mau pesen makanan
mendingan sekarang, deh. Nanti keburu bel..” katanya menyarankan.
“Ah, ide bagus!” kata Dina sambil
tersenyum dan melirikku dengan tatapan aneh. Dan aku sudah mengerti apa maksudnya.
“Yaudah gue aja yang pesen
makanannya, ya..” ujarku mengalah. Dina tersenyum bangga. Ah, ya, aku selalu
tau maksudnya. Dina paling malas untuk mengantri. Dan dari wajahnya, dia juga
sudah terlihat sangat lapar dan seperti tidak memiliki energy yang cukup lagi
untuk mengantri. Dika hanya tersenyum tipis menyadari senyum Dina yang
sumringah.
Setelah aku mengantri dengan sabar,
aku kembali dengan sebuah nampan yang berisi dua porsi mie ayam dan dua gelas
es teh. Menu ini memang menjadi favoritku dengan Dina. Dari kejauhan aku
melihat posisi Dina masih dengan Dika yang ada di depannya. Tapi ada yang
berbeda dari sebelumnya, di sebelah Dika duduk seseorang lagi. Setelah aku
perhatikan dengan jelas, ah itu Felly.
Dina terlihat diam mendengar
percakapan Dika dan Felly yang terlihat seru. Aku lalu mengambil posisi di
samping Dina. Gadis yang sudah terlihat lemas kelaparan itu langsung terlihat
antusias menyambutku karena makanannya telah datang. Tanpa menunda lagi dia sudah
mengangkat mangkuknya dari nampan yang kubawa.
“Ah, akhirnya lo dateng juga,
Kal..” ujarnya dengan mata yang masih tertuju pada semangkuk mie ayam itu.
Menyadari kedatanganku, Felly
menghentikan ceritanya sejenak, “Hai, Kal. Lo baru makan?” sapanya ramah sambil
menampakkan kedua lesung pipi miliknya.
“Iya, nih. Tadi nggak kebagian
bangku,” jawabku jujur dan tersenyum membalas keramahannya.
“Tolong minta perhatiannya
sebentar, ya!” Seseorang berteriak dengan pengeras suara di tengah keramaian
ini. Otomatis, semua menjadi diam seketika dan langsung tertuju pada sumber
suara.
Suasana kantin berubah drastis.
Mendadak semuanya seperti menjadi beku saat Kevin −pemilik suara itu berada di
tengah kantin. Siswa paling kaya dan popular seantero sekolah itu memang biasa
membuat sensasi. Dia menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kantin sampai
matanya berhenti ketika mendapati sosok Felly. Dia menyeringai lalu kakinya
melangkah mendekati posisi Felly sekarang. Tanpa berkata-kata, Kevin langsung
menggenggam tangan Felly dan menariknya halus ke tengah kantin.
“Ish, lo mau ngapain, sih, Vin?”
protes Felly sambil berusaha melepaskan genggaman Kevin yang kuat. Gadis itu
terlihat bingung dan sedikit takut.
“Oke, guys! Jadi gue mau kasi tau
kalian semua, ya. Mulai kemarin Felly ini milik gue dan gue harap nggak ada orang
lain yang deketin dia lagi selain gue. Atau silahkan kalo mau berurusan sama
Kevin Hardiwijaya!” Ujarnya lantang. Semua siswa yang mendengarnya terlihat
mencerna kata-katanya dengan baik. Tidak ada yang berani memprotesnya secara
terang-terangan. Hanya berbisik satu sama lain yang banyak mereka lakukan.
Felly terlihat terkejut dan tidak
menyangka. Dari sorot matanya, dia sangat memprotes aksi Kevin tapi sorak-sorai
dari para siswa lain seakan menutupi ekspresinya. Mereka lalu larut dalam
euforia dan seketika menerima banyak ucapan selamat dari siswa lain seolah
menjadi pengantin baru.
Aku menyadari kepergian Dika yang
tiba-tiba. Dia menghilang dari posisinya tadi. Mataku menangkap bayangannya
yang berjalan cepat menjauhi kantin. Dia terlihat tidak berminat sama sekali
dengan tontonan sensasi yang sedang terjadi di kantin ini. Terbesit niat ingin
mengejarnya dan mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi padanya.
“Eh, Dik! Mau kemana?” ujarku dan
spontan ingin beranjak mengejarnya.
Seketika Dina menahan lenganku. Dia
masih diam dan menatapku lalu kemudian menggeleng. Alisku sukses berkerut
karena heran dengan sikap Dina kali ini. Dia berharap aku mengerti dengan
sikapnya yang mencegahku.
“Kenapa?” tanyaku heran.
*-*-*
Hatiku kembali diliputi keraguan.
Aku tau sekarang, Dika tertarik pada Felly. Kejadian tadi siang itu sudah cukup
jelas membuktikan semuanya. Dan hal itu juga yang mungkin membuat hatinya
sakit. Haruskah aku bahagia jika Felly memang bersama Kevin? Tapi aku juga
merasakan sesuatu yang menyesakkan dada saat menyadari kenyataan Dika memang
mencintai Felly. Hey, what’s wrong with you, Kalsa? Semua ini menjadi semakin
aneh dan aku juga semakin tidak mengerti. Apa mungkin aku mengagumi Dika lebih
dari sahabat? Ini seharusnya tidak boleh terjadi!
“Kal, lo belum pulang?” seseorang
mengejutkanku dengan suaranya yang sangat aku kenal.
Aku menoleh, “Lagi nunggu dijemput,
nih. Lo sendiri nggak pulang?” balasku. Aku sudah menduga, pasti Dika-lah pemilik
suara khas itu. Aku tidak mungkin salah sejauh ini.
Dia duduk tepat di sebelahku,
“Nanti aja, deh,” jawabnya sedikit ragu.
“Memang mau ngapain lagi?”
“Nungguin lo dijemput. Boleh, kan?”
Ujarnya lagi sambil tersenyum hambar. Aku tau suasana hatinya mungkin sedang
tidak ceria saat ini.
Aku terkekeh pelan, “Tumben, sih.
Mau curhat, ya?” Tebakku enteng.
Laki-laki bermata coklat ini
sedikit terbelalak, “Kok lo bisa bilang gitu?” tanyanya heran.
Aku hanya tersenyum. Aku tau ketika
sedang ada yang tidak beres dengan Dika, dia pasti akan melakukan hal yang
tidak biasa dilakukan. Biasanya dia hanya melambaikan tangan dan berlalu begitu
saja dengan kendaraannya saat melihatku duduk di depan bangku ini. Sangat
jarang jika Dika memang ingin menungguiku sampai dijemput. Tapi kali ini
sedikit berbeda.
Dia menghela napas sejenak, “Ya, lo
pasti udah tau tentang kejadian di kantin tadi..” ujarnya kemudian, matanya
menatap lurus ke depan, “Ada yang aneh sama perasaan gue, Kal,” lanjutnya.
“Lo suka sama Felly, ya?” Tanyaku
langsung menjurus dan Dika hanya menoleh menatapku sejenak.
Dia mengeleng pelan, “Gue juga
nggak ngerti, Kal. Gue tau, dia itu temen gue. Dan gue juga udah berusaha
membunuh semua perasaan aneh ini, tapi nyatanya susah, Kal. Semuanya nggak
se-simple yang gue bayangin sebelumnya,” ujarnya sedikit lirih.
“Coba tanya sama hati lo sendiri,
Dik. Apakah lo harus memperjuangkan dia atau enggak,” Balasku kemudian. Entah
kenapa kata-kata itu bisa meluncur begitu saja dari mulutku.
Ah, andai Dika tau kalau aku juga
sedang mempunyai masalah perasaan yang sama dengannya. Perasaan yang dirasakan
dan keadaannya juga nyaris sama, hanya saja untuk orang yang berbeda. Aku juga
belum bisa menemukan jawaban untuk masalahku sendiri. Tapi ajaibnya aku bisa
mengesampingkan sementara semua perasaanku demi mendengarkan apa yang menjadi
masalah Dika. Aku hanya merasa kebahagiaannya lebih penting dari kebahagiaanku
sendiri…
“Tapi, gimana mungkin gue bisa
memperjuangkan dia kalo tandingan gue itu Kevin?” tanyanya putus asa. Dia mengusap
wajahnya, “Semuanya memang salah gue, Kal. Seharusnya gue memang nggak
membiarkan perasaan ini menjadi-jadi dan akhirnya akan menyakiti gue sendiri..”
lanjutnya sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia hampir
putus asa.
Aku mencoba menarik napas tenang,
“Nggak ada yang nggak mungkin kalo kita usaha, Dik, lo masih inget itu, kan?”
Aku menarik dua sudut bibirku membentuk sebuah lengkungan, “Kalo udah terjadi,
nggak perlu disesali. Kewajiban kita bukan menyesali masa lalu, tapi menata
masa depan. Lo sendiri yang sering bilang gitu ke gue, kan?” lanjutku.
*-*-*
“Gue boleh gabung sama kalian?”
Felly dengan senyum manisnya, berharap mendapat jawaban setuju dari aku dan
Dika yang sedang sibuk membaca buku referensi di perpustakaan.
“Oh, silahkan, Fel..” jawabku ramah
menyambutnya.
Dika hanya diam dan masih berkutat
dengan buku tebal yang ada di depannya. Dia seperti pura-pura tidak peduli
dengan kehadiran Felly. Felly merasa aneh dengan sikap Dika yang mendadak
dingin.
“Mm…” gumam Felly ragu sambil
melirik Dika yang masih belum beralih perhatian.
Aku mencoba mencairkan suasana,
“Gabung aja, Fel. Gue yakin Dika juga nggak keberatan. Iya, kan, Dik?” Ujarku
sambil menyenggol lengan Dika pelan. Dia hanya beralih menatapku sekilas sambil
mengangguk pelan dan kembali focus pada bukunya.
Keheningan memeluk kami. Entah
kenapa, suasana diantara kami bertiga menjadi sekaku ini. Dika masih diam dan
mungkin sedang menyimpan semua gurauannya yang biasanya dapat membuat kami
tertawa. Felly masih terlihat bingung dan tidak mengerti dengan perubahan sikap
Dika yang dilihatnya sekarang. Dan aku tidak bisa fokus karena suasananya
menjadi tidak nyaman seperti ini.
“Gue mau ke toilet dulu, ya, guys,”
ujarku memecah keheningan dan tersenyum hambar pada mereka yang mengalihkan
perhatiaannya padaku sejenak. Aku hanya tidak tahan dengan suasana kaku itu,
terasa sangat aneh.
Dengan segera aku beranjak
meninggalkan mereka. Mungkin ada percakapan yang tercipta setelah aku pergi.
Aku harus memberi waktu untuk Dika memperbaiki semuanya. Aku menatap kaca besar
yang tertempel diatas westafel toilet sekolahku dan menangkap sebuah bayangan
diriku disana.
Aku terseyum. Setidaknya, aku harus
merasa bahagia ketika sahabat baikku bahagia meskipun bukan bersamaku. Tapi sekarang
aku justru tidak mengerti harus merasakan apa. Dika mencintai Felly. Sudah
jelas Dika bisa bahagia jika Felly juga mencintai Dika. Dan ada apa dengan
perasaanku yang seperti tidak terima ini? Lebih anehnya lagi, aku juga merasa
sakit saat merasakan kesedihan Dika karena kejadian di kantin waktu itu.
Padahal itu menunjukkan Felly telah dimiliki orang lain. Ini semua semakin
aneh! Aku semakin bingung dan merasa serba salah.
“Tadi sengaja ninggalin gue, ya?”
Tanya Dika yang sedikit mengejutkan ketika aku berjalan menelusuri lorong
sekolah yang cukup ramai.
“Lo daritadi disini?” Tanyaku
balik. Aku hanya sedikit bingung karena Dika justru ikut menghindar dari
suasana kaku itu juga. Seharusnya dia masih di perpustakaan. Memperbaiki
hubungannya dengan Felly yang semakin memburuk setiap harinya.
“Jangan mengalihkan perhatian, Kal.
Pertanyaan gue belum dijawab, kan?”
Aku menarik napas, “Iya, Dik. Gue
cuma mau ngasi waktu buat kalian berdua,” jawabku sambil berusaha mengimbangi
langkah Dika yang cukup cepat, “Gue tau lo harus jelasin semuanya, dia pasti
bingung sama perubahan sikap lo akhir-akhir ini yang cukup drastis ke dia,
Dik,” lanjutku.
Dika menghentikan langkahnya
tiba-tiba, “Gue nggak bisa jelasin ke dia sekarang, Kal…” Jawabnya sedikit
menggantung. Seketika matanya terpaku pada sesuatu di belakangku.
Karena penasaran, aku juga berbalik
untuk melihat apa yang sedang diperhatikan Dika. Tidak jauh dari posisi kami
sekarang, Felly terlihat sedang duduk di kursi panjang di samping lorong
sekolah dengan Kevin yang terlihat menegang. Gadis berambut panjang dengan
sedikit pirang itu menunduk lemas. Dia terlihat pasrah. Kevin yang sedang
berdiri di depannya terlihat sangat emosi. Sesekali dia memegang tangan Felly
lalu menghempasnya secara kasar.
Puncaknya ketika Kevin mengangkat
dagu Felly secara paksa lalu menempatkan telunjuknya sambil menunjuk-nunjuk di
depan wajah Felly. Dika terlihat geram. Badannya yang kekar bergerak menuruti
kakinya ke tempat Kevin dan Felly. Kevin memang sudah keterlaluan. Menurutku
itu cukup kasar jika dilakukan oleh laki-laki kepada gadis sebaik Felly.
“Nggak usah kasar gitu, dong, Vin!”
Protes Dika geram.
Kevin menyeringai, “Nggak usah ikut
campur!” jawabnya santai dan masih melanjutkan dengan menarik lengan Felly
untuk beranjak.
“Dia perempuan! Lo nggak boleh
kasar sama dia!”
“Oh, jadi lo mau berurusan sama
gue?” Ujar Kevin sinis. Dia lalu melepaskan Felly yang merintih kesakitan.
Suasana menjadi semakin menegang diantara Dika dan Kevin. Aku hanya berharap
mereka tidak bertengkar di sekolah atau memang sudah siap dengan
konsekuensinya.
Aku mencoba menenangkan Felly. Dia
menangis. Aku sangat iba melihat keadaannya. Aku menuntunnya ke bangku yang
tidak jauh dari posisi semula kami. Dia masih terdiam dan menangis. Kebetulan
aku melihat seorang guru yang juga terkenal ‘killer’ hendak lewat. Ah, Kevin
memang harus diberi pelajaran!
Jam pulang sekolah, para siswa
terlihat mengumpul di lapangan utama. Entah mengapa seperti ada pertunjukan
menarik disana. Karena penasaran, aku menoleh ke lapangan dari lantai dua
sekolahku. Si pembuat sensasi sedang mendapat batunya! Kevin yang sedang di
hukum sedang ada di tengah-tengah lapangan cukup menarik banyak perhatian siswa
lain. Aku hanya tersenyum, semoga dia mendapat pelajaran berharga setelah ini.
*-*-*
“Tak mengapa, jika aku baru bisa
Bersamamu disaat hatimu terluka
Bersamamu disaat hatimu terluka
Tak mengapa, jika aku baru bisa
Bersamamu disaat ragamu tak berdaya
Bersamamu disaat ragamu tak berdaya
Jalanilah kisahmu, meski tak
denganku
Usah kau perdulikan aku
Ku hanya sebagai pelabuhan rapuhmu
Usah kau perdulikan aku
Ku hanya sebagai pelabuhan rapuhmu
Dan bila esok kau terluka lagi, kembali
padaku
Ku akan tetap menjagamu
Meski hatimu tak kan pernah untukku
Ku akan tetap menjagamu
Meski hatimu tak kan pernah untukku
Kelak kau mampu tuk berdiri
Berlari ke dalam pelukannya, tinggalkan aku…”
Berlari ke dalam pelukannya, tinggalkan aku…”
(Cappucino – Pelabuhan Rapuh)
Malam yang sunyi telah aku lewati
tanpa kabar sedikitpun dari Dika. Keadaan yang sangat berbeda dari yang aku
alami beberapa hari terakhir ini. Aku hanya merasa telah mempunyai seseorang
yang sangat dekat. Aku bisa membagi apapun dengannya, dan sebaliknya. Tapi
ketika semuanya terasa lenyap seperti ini, muncul rasa yang membuatku cukup
tersiksa. Ketika sebuah harapan nyatanya tidak jadi kenyataan.
“Kal? Lo sakit?” Tanya Dina setelah
selesai mengamati wajahku yang sedikit lebih lesu dari biasanya. Tangannya
masih aktif bergerak menyuapkan camilan ke mulutnya.
Aku menggeleng pelan, “Nggak, kok.”
Jawabku sambil menarik dua sudut bibirku, lagi-lagi hanya bisa membentuk sebuah
senyuman sederhana. Secara fisik aku memang sehat. Hatiku? Entahlah..
Melihat Dika dan Felly yang sedang
asik mengobrol berdua di bangku yang tak jauh dari posisiku, membuat aku merasa
kehilangan sosok Dika. Semenjak Felly memutuskan Kevin, dia dan Dika terlihat semakin akrab setiap hari.
Bahkan mereka seperti melakukan semua hal berdua. Ya, aku juga sudah jarang
berkumpul bersama mereka lagi. Dika hanya ingin bersama Felly. Mereka sudah
berbeda.
Aku merasa konyol. Sedikit bodoh
karena justru sekarang aku ditertawai oleh harapan yang telah berubah menjadi
kekecewaan. Seharusnya, aku memang tidak membiarkan semuanya tumbuh sehingga
menjadi perasaan yang mendalam, jika akhirnya dapat membunuhku sendiri. Tapi,
apapun yang terjadi inilah pilihanku. Melihat Dika dan Felly bersama dan tentunya
juga dengan berbalut senyuman merupakan salah satu kebahagiaanku sekarang.
‘Kalo
udah terjadi, nggak perlu disesali. Kewajiban kita bukan menyesali masa lalu,
tapi menata masa depan.’ −Kata-kata itu masih terngiang jelas di
kepalaku. Setidaknya, ada semangat baru setelah aku benar-benar meyakini makna
dari sederet kalimat itu.
Melupakan segala keperihan ketika
seseorang yang diharapkan justru mencintai orang lain itu memang tidak pernah
sederhana. Tapi, tidak sederhana bukan berarti tidak akan pernah bisa. Aku akan
menjadikan ini semua sebagai pengalaman penting dalam hidupku; mencintai
sahabatku sendiri. Dan untuk rasa sakit yang aku rasa, mungkin inilah alasan
mengapa aku merasa aneh dengan semuanya. Dan kini tersisa air mata yang
menemaniku merasakan semuanya.
Aku terlalu takut mengakui perasaan
ini karena tidak ingin tersakiti. Dari awal aku mungkin sudah tau jika nanti
mugkin ada hati yang tesakiti. Dan sekarang aku.. Ya, aku-lah hati yang
tersakiti itu. Ironis memang, tapi seperti yang dirasakan Dika waktu itu.
Rasanya tidak seperti yang aku bayangankan sebelumnya. Ini semua diluar
dugaanku. Entahlah, mengapa aku bisa merasa sesakit ini. Tapi biarlah semuanya
akan kupendam sendiri. Akan kubiarkan rasa ini mengendap dan hilang dengan
sendirinya. Karena sampai sekarang aku masih yakin hanya waktu-lah yang dapat
menyembuhkan luka, secara perlahan tapi pasti…
*-*-*
Aku bersiap masuk ke sebuah gedung mewah yang
sudah dihiasi dengan dekorasi menawan. Dengan gaun putih dan mahkota kecil di
kepalaku, aku menarik napas panjang sebelum mulai melanjutkan langkahku. Jujur
saja, aku cukup gugup untuk acara hari ini. Tapi sebesit kebahagiaan yang aku
rasa telah membuat seberkas senyum di bibirku.
Semua orang nampak bahagia di
ruangan itu. Mataku langsung tertuju pada pelaminan yang sudah berdiri di ujung
dalam ruangan ini. Pelaminan yang cukup sederhana tapi tetap terlihat klasik
dan modern, sangat cocok dengan dekorasi mengagumkan di ruangan luas ini.
Kakiku tergerak menuju ke arah
tempat itu. Seseorang dengan tegap telah menantiku disana, masih dengan senyum
menawannya. Laki-laki yang mengenakan setelan jas putih lengkap dengan bunga di
sakunya itu masih belum banyak berubah. Aku tersenyum bahagia saat mataku
menangkap sosoknya sekarang. Tidak ada lagi air mata seperti waktu itu.
“Selamat atas pernikahan kalian,
gue turut bahagia. Semoga bahagia selamanya sampai akhir hayat, ya..” Ujarku
ketika berhadapan dengan Dika yang telah berdampingan dengan Felly di pelaminan
ini. Senyumnya merekah lebar. Dika dan Felly terlihat sangat bahagia hari ini.
Tidak salah lagi mereka memang pasangan yang cocok.
“Terima
kasih, Kal. Ini semua juga berkat doa lo..” Balas Felly ramah dan langsung
memelukku sejenak. Aku membalas pelukannya. Seperti ada kelegaan yang menyeruak
ketika aku melihat senyum manisnya itu.
“Udah
sewajarnya gue sebagai sahabat pasti doain yang terbaik buat kalian,” tambahku.
Aku masih tersenyum dan secara bergantian menatap mereka berdua.
“Cepet
nyusul, dong,” Timpal Dika iseng. Aku hanya mengangguk pelan dan ikut tertawa
ketika Felly mendukung penuh ucapan suaminya barusan.
Aku
segera membaur dengan tamu yang lain setelah menyapa dua sahabatku itu. Aku
merasa ada beban yang terlepas saat melihat mereka terseyum bersama dan akan
mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Aku rasa, keputusanku untuk memendam segala
kepahitan yang terasa waktu itu sudah benar. Dika dan Felly, mereka telah
bersatu sekarang. Semua perasaan waktu itu benar-benar telah memudar seutuhnya.
Waktu telah menepati janjinya, dia
telah menyembuhkan lukaku dan otomatis mengajariku menjadi sosok yang kuat.
Karena aku pelabuhan rapuh, dan akan ada hati yang rapuh lagi mungkin akan
bersandar setelah ini. Aku tidak boleh rapuh meskipun hanya menjadi sandaranmu
ketika rapuh dan terlupakan setelah kau kuat…
FIN.
Ah, finally bisa juga menulis ending cerpen ini:3 hehe.
Tadinya mau diikutin lomba cuma grgr mudik jadi kelewat deh deadlinenya-__- kebiasaan lama banget kan.
Tapi yaudahlah ya, yang penting masih ada yang mendorong untuk keep writing walaupun entah itu apa:D
Terima kasih sudah membaca!;)
Eh jangan salah sangka yaa cerpen ini pure fiction loh=) Kalo ada kesamaan segala macam itu mungkin faktor ketidaksengajaan aja kok;)
Terima kasih juga buat lagunya Cappucino yang telah menginspirasi saya~
Eh jangan salah sangka yaa cerpen ini pure fiction loh=) Kalo ada kesamaan segala macam itu mungkin faktor ketidaksengajaan aja kok;)
Terima kasih juga buat lagunya Cappucino yang telah menginspirasi saya~
Kritik dan saran selalu ditunggu karena saya sadar cerpen ini masih jauh dari kata bagus hehe, semoga kedepannya bisa lebih baik~
Ketcha!!!!!
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar