Jumat, 26 Desember 2014

#Part2 The Different between Us




Oke ini lanjutannya!
Check this out!
>
>
>

“Kenapa? Kamu merasa nggak nyaman, ya?” Itulah pertanyaan yang muncul secara alamiah ketika aku menyerahkan surat pengunduran diri ke Kak Fian, ketua organisasi. Dia cukup terkejut dengan keputusanku ini. Aku memang tidak mungkin berterus terang tentang alasanku. Tapi semuanya sudah dipikirkan secara matang.

“Aku harus banyak istirahat dan mengurangi aktivitas organisasi, Kak. Maaf dan terima kasih buat semuanya..” Ujarku sambil tersenyum hambar. Aku suka pekerjaanku di organisasi ini. Semuanya terasa berat ketika harus melepasnya. Air mataku hampir menetes.

Aku telah memutuskan semuanya. Menjauh mungkin merupakan jalan terbaik. Aku tidak ingin terjebak perasaan kagum –yang lebih dalam lagi− kepada laki-laki bermata hitam itu. Dan aku kira, Kak Al juga pasti tidak akan menyadari sosokku yang menghilang. Posisiku sebagai partnernya akan segera digantikan. Semuanya akan kembali baik-baik saja.

*-*-*

“Hei, Ifa!” Sapa seseorang yang tidak sengaja lewat di depanku. Wajahnya masih ceria dan ramah seperti biasa. Laki-laki bertubuh tegap itu, Kak Al.

Aku menarik dua sudut bibirku membentuk senyuman tipis, “Hei..” balasku pelan kemudian kembali melanjutkan langkahku melewatinya.

Dira yang berjalan di belakangku segera menyamai posisiku, “Kamu kenapa, sih, Fa?” tanyanya heran melihat responku terhadap sapaan Kak Al.

“Kenapa apanya?”

“Aneh aja.” Jawab Dira masih menerka. Itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya sekarang, “Kamu sengaja mau jauhin Kak Al, ya?” lanjutnya lagi, masih penasaran.

Aku sedikit terkekeh pelan melihat wajah polos Dira yang ingin tau itu, “Kenapa menjauh? Kan aku nggak pernah deket sama Kak Al. Udahlah, bahas yang lain aja, ya..”

Semakin aku berusaha menjauh, kenapa takdir selalu mendekatkan? Kadang apa yang kita harapkan tidak selalu terjadi, justru yang terjadi adalah yang sebaliknya. Aku bertemu Kak Al hampir setiap hari dan lebih dari satu waktu. Kemanapun aku pergi di sekolah ini, kenapa aku selalu melihat sosoknya? Tapi dia memang tidak pernah absen untuk menyapaku disetiap dia melihatku. Walaupun terkadang aku pura-pura tidak mendengarnya.

Aku hanya berusaha agar perasaanku tidak lebih dalam dari sebelumnya. Targetku adalah menghapus semua perasaanku untuknya, apapun itu. Tapi sejauh ini, aku tidak tau sampai dimana. Apa aku hanya jalan di tempat? Mengeluarkan seseorang dari singgasana hatiku ternyata lebih sulit daripada mempersilahkannya menempatinya. Ah, aku harus berusaha lebih keras!

*-*-*

“Nanti pulang sekolah temani aku, ya?” Pinta Dira setelah selesai berkutat dengan ponselnya.

Aku mengerngit, “Mau kemana? Jangan bilang ke taman kompleks rumahku, ya. Aku nggak percaya kamu mau beli siomay.” Sahutku mencoba mengantisipasi. Aku hanya curiga Dira punya rencana lain seperti waktu itu.

Dia terkekeh mendengar perkataanku, “Bukan. Pokoknya ke suatu tempat selain taman kompleks rumahmu. Mau, ya?” Dia kembali meminta dan terlihat sangat mengharapkan aku tidak menolak untuk ini. Dan aku memang tidak bisa menolaknya.

Bel pulang tanda jam pelajaran berakhir berdering dengan nyaring. Dira langsung menarik tanganku ke suatu tempat yang masih dia rahasiakan. Aku sendiri tidak mencoba menerka apa yang ada di pikiran gadis berambut kecoklatan ini. Aku harap ini tidak ada hubungannya dengan Kak Al.

Dia membawaku ke lapangan basket indoor. Disana sedang ada semacam pertandingan antar sekolah dan sekolahku menjadi tuan rumahnya. Aku sendiri baru mengetahuinya. Aku masih tidak tau apa maksud Dira membawaku kesini dan parahnya aku masih memilih untuk diam.

“Aku mau liat sepupuku main disini. Kamu nggak keberatan buat temenin aku, kan?” Tanyanya cemas. Dia hanya mencoba menghiburku sekarang. Mungkin ini bukan ide yang terlalu buruk.

Aku masih membuat lengkungan di bibirku sambil mengangguk yakin. Mungkin ini juga salah satu cara aku menghindar dari Kak Al. Aku ingin kami benar-benar jauh. Aku ingin dia tidak ramah lagi padaku. Aku ingin mengembalikan lagi rasa kesal yang sempat kurasa di awal pertemuan. Aku ingin..

“Ifa, boleh aku minta waktumu sebentar?” Suara yang sangat khas menyeruak begitu saja, menghancurkan imajinasi yang sedang berusaha aku ciptakan lebih dalam. Aku sangat mengenal suara itu. Pemiliknya; Alvaro Refandra.

Aku masih diam dan tidak tau harus menjawab apa. Dia muncul di depanku begitu saja. Laki-laki beralis tebal ini masih menatapku dan menantikan jawaban yang seharusnya sudah dia terima. Dira yang menjadi saksi di sebelahku hanya heran menatapku lalu menyenggol lenganku pelan, berusaha menyadarkan aku barangkali sedang melamun.

Kak Al menghela napas, “Boleh, kan, Fa? Aku mau bicara sama kamu. Diluar, ya?” Dia bertanya untuk yang kedua kalinya. Berharap aku mau menurutinya. Dan kali ini sepertinya aku memang tidak bisa menolaknya.

Dia mengawali langkahnya di depanku. Menembus kerumunan orang yang memadati sekitar lapangan. Aku sengaja menarik tangan Dira untuk menemaniku. Meski awalnya keberatan, tapi gadis berpipi chubby itu akhirnya hanya bisa menurut.

“Kak Al kan cuma bicara sama kamu, Fa.. Kenapa sama aku juga?” Tanya Dira bingung.

Aku meliriknya curiga, “Pasti kamu juga terlibat, aku tau, Dir..” tebakku.

Aku masih berjalan mengikuti langkah kaki Kak Al. Dan akhirnya langkahnya berhenti di salah satu taman dekat kolam ikan. Aku baru menyadari tempat ini cukup asyik dijadikan tempat melamun. Cukup sepi dan tenang. Hanya ada gemericik kecil dari pancuran air.

“Ifa, maaf untuk semuanya.” Ujarnya memulai pembicaraan.

Aku mengerngit, “Kenapa? Kakak nggak salah, kok.” Kataku mencoba sebiasa mungkin. Jujur aku cukup gugup sekarang.

“Oke, lebih baik aku beli softdrink dulu, ya..” Dira dengan cepat melenggang meninggalkan aku dan Kak Al. Aku tau dia sengaja pergi. Dan itu sedikit membuatku kesal.

“Eh, Dir.. Nanti aja bareng aku belinya!” Ujarku mencoba mencegahnya, tapi terlambat. Sosoknya sudah menghilang dari pandanganku. Aku hanya menghela napas. Mencoba menstabilkan gemuruh jantungku ini.

Kak Al masih terfokus ke arahku, “Hifasya Azzahra, maaf karena aku mencintaimu!” Ujarnya singkat. Dan ah, mataku sukses membulat seketika. Aku tidak percaya apa yang aku dengar barusan itu nyata?

Darahku sangat terasa berdesir. Jantungku berdetak semakin kencang. Tangan dan kakiku seketika terasa lemas tidak bertenaga. Aku tidak tau ekspresi macam apa yang harus ditampilkan. Aku hanya takut pipiku telah memerah. Dan mungkin sekarang memerah. Aku tidak tau. Tapi ada air mata yang mendesak ingin keluar. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya menutup wajahku.

“Aku tau, mungkin aku seharusnya bisa menjaga perasaan ini. Aku terkesan sama kamu sejak awal kita bertemu. Awalnya semuanya bisa aku kendalikan. Aku hanya kagum. Tapi aku merasa kamu menjauh sekarang..” Dia menarik napasnya perlahan, “Dan rasanya menyakitkan ketika sadar kamu menjauh, Fa.” Lanjutnya sambil masih menatapku.

Aku tidak berani menemukan manik hitamnya, menunduk mungkin cara terbaik, “Semuanya diluar kendali, Kak. Ifa juga minta maaf..” Ujarku. Aku tidak tau apa yang harus dikatakan.

“Kamu keluar dari organisasi karena aku, kan? Kamu memang pengen menjauh, ya? Itu berhasil, Fa. Tapi aku juga nggak tau kenapa rasanya itu menyiksa aku.” Katanya yang makin membuat air mataku menetes. Aku tidak menyangka dia merasakan itu.

Semula aku berpikir hanya aku yang menyiksa diri dengan mengingkari semua perasaan yang tumbuh begitu saja. Secara tidak sadar, aku juga menyakiti Kak Al. Aku benar-benar tidak tau lagi harus melakukan apa. Semuanya berjalan seperti kejutan yang tidak ada habisnya.

“Bagaimana denganmu? Apa kamu juga…”

“Maaf, Kak. Aku memang mengagumi seorang Alvaro Refandra. Bahkan aku juga nggak tau perasaan kagum itu bisa mendalam. Semuanya nggak bisa aku rencanakan. Tapi, ada perbedaan diantara kita, Kak. Aku memilih untuk berhenti disini..” Ujarku jujur. Semuanya harus tercurah sekarang juga. Aku tidak yakin akan ada waktu lain lagi.

Dia berusaha menemukan pandanganku, “Agama?” Tebak Kak Al tepat sasaran. Aku tidak perlu memperjelas lagi karena aku rasa semuanya sudah jelas. “Jadi, kita nggak bisa bersatu meskipun kita sama-sama mau itu?” tanyanya lagi yang tepat dan terasa menusuk lebih dalam lagi. Aku tidak tau harus menjawab apa. Memang terkadang ada saatnya, ‘iya’ lebih menyakitkan daripada ‘tidak’.

“Lebih baik sekarang kita jalani takdir masing-masing, Kak. Kalau suatu saat bertemu lagi di persimpangan, aku harap semuanya telah memudar..” Ujarku mencoba sebijak mungkin. Dia mengangguk setuju.

Aku menghapus air mata yang sempat menetes. Aku masih tidak tau apakah ini air mata kebahagiaan atau kesedihan. Semuanya tidak tertahan lagi. Dia terlihat tersenyum lega. Dan aku mengikutinya. Aku melihat jalan kami masing-masing sudah terbuka sejak saat ini.

Setelah Kak Al lulus, kabar terakhir yang aku tau dia melanjutkan kuliah di luar kota. Aku tidak tau dimana. Aku harap dia bisa sukses setelahnya. Aku sendiri tidak tau bagaimana cara menghapusnya dari hatiku. Semuanya terlalu rumit. Melupakan adalah hal yang tidak pernah sederhana seperti sekedar mengatakannya. Semuanya butuh waktu dan proses, meskipun belum tentu berhasil juga..

Aku akan membiarkan semuanya. Aku tidak tau apakah ada yang mampu menggantikannya setelah ini. Waktu mungkin akan menjadikannya masa lalu yang hanya bisa dikenang, tapi tidak untuk diratapi. Semuanya dibutuhkan untuk merancang masa depan yang lebih baik. Aku yakin itu.

*-*-*

“Nak? Kamu jadi mau datang ke reuni SMA, kan?” Ujar ibu menyadarkan aku dari lamunan ketika menatap undangan itu lagi. Wanita yang paling bijaksana di dunia−bagiku− itu berjalan memasuki kamarku dan berdiri dibelakangku yang sedang menghadap meja rias.

Aku tersenyum, dia mengusap kepalaku pelan, “InsyaAllah. Ifa berangkat sekarang, ya..” Ujarku sambil berpamitan sekaligus mencium tangannya.

Dia tersenyum sambil mengangguk, “Hati-hati, Nak..”

Kendaraan yang mengantarku berhenti di sebuah gedung yang cukup mewah. Nuansa kedaerahan sangat terasa kental ketika baru sampai di pintu utamanya. Aku melangkahkan kakiku perlahan, melewati karpet merah yang sengaja digelar untuk menyambut tamu.

Angin sejuk seketika terasa menerpa tubuhku. Aku cukup gugup untuk acara ini. Jantungku masih berdetak wajar. Aku tersenyum. Mungkin ini suatu pertanda aku telah berhasil mengendalikan semua perasaan aneh yang biasanya muncul.

“Hei, Ifa!” Sapa seseorang yang terlihat anggun dengan kebaya modern yang membalut tubuh mungilnya. Aku terseyum tidak menyangka.

“Dira!” Tebakku tepat. Perempuan itu memelukku erat. Dia tertawa riang.

“Setelah sekian lama, kita cuma saling berhubungan lewat email. Kamu udah pulang dari Kairo?”

Aku mengangguk, “Pas banget aku lagi liburan..” Jawabku sambil masih tersenyum bahagia.

“Ayo gabung sama kita, disana..” Dia menggandengku menuju bagian yang lebih dalam lagi dari gedung ini. Disana berkumpul banyak teman sekelasku waktu SMA dulu. Mereka semua memelukku sekilas ketika menyadari kedatanganku.

Kami hanya larut dalam cerita-cerita konyol masa SMA dulu. Sekarang semuanya tinggal dikenang. Dan mungkin tidak akan bisa terlupakan karena semuanya tidak akan pernah terulang kembali. Sekarang, kami mungkin hanya bisa tertawa mengingat kejadian di masa SMA. Aku berkeliling setelahnya. Mencoba menemui temanku yang lain. Sekedar ingin berbagi tawa bersama.

“Kamu udah menikah, Fa?” Tanya Kak Fian melihatku datang sendirian.

Aku menggeleng, “Belum, Kak. InsyaAllah secepatnya..” Jawabku apa adanya.

“Berarti kamu udah punya calon, ya?” Dira menambahi. Dia semakin memperjelas rencanaku. Meskipun aku belum yakin sepenuhnya.

Aku mengangguk, “Alhamdulillah. Kamu sendiri sudah punya calon, Dir?” Balasku. Dia terdiam sambil tersenyum. Aku tertawa melihat ekspresi polosnya itu. Sahabatku itu masih seperti dulu.

Aku merasakan getaran dari dalam tasku. Aku menyadarinya, itu getaran dari ponselku. Ada sebuah panggilan masuk. Aku terpaksa keluar ruangan untuk menghindari suara berisik dan sinyal lemah. Aku kembali memasuki ruangan setelahnya.

“Ifa? Apa kabar?” Sapa seseorang yang otomatis menghentikan langkahku. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan setelan jas abu-abu.

Aku mengerutkan alisku, “Kak Al?” Aku memastikan.

“Oh, ternyata kamu masih ingat aku. Apa kabar?” Katanya mencoba seramah mungkin.

Aku menarik kedua sudut bibirku sehingga membentuk sebuah lengkungan, “Alhamdulillah, baik, Kak. Seperti yang dilihat. Kakak gimana?”

“Sama. Aku juga baik seperti kamu.” Jawabnya.

Jantungku masih berdebar ketika berada di sebelahnya sekarang. Aku merasa, mungkin itu semua hanya efek bertemu orang yang sudah lama tidak dilihat. Semuanya biasa saja. Aku harus terlihat senatural mungkin meskipun aku tau senyuman Dira dari kejauhan yang mengarah kepadaku dan Kak Al memiliki makna tersendiri. Perempuan, sahabat karibku itu masih ikut terlibat.

Secara tidak sadar kami berjalan berdampingan menuju tempat berkumpul alumni organisasi jurnalis yang masih ramai dan terlihat semakin seru. Seketika perhatian mereka teralih ketika Kak Al bergabung di dalamnya.

“Ifa, jangan-jangan calon kamu itu Al, ya? Kalian serasi, sih..” Kak Fian berceloteh asal. Mereka semakin mengamatiku. Aku dan Kak Al hanya saling pandang dan kemudian terkekeh pelan. Banyak yang membenarkan pernyataan Kak Fian itu. Aku masih mencoba setenang mungkin.

“Kak Fian bisa aja. Kak Al pasti udah punya calon, takutnya nanti jadi salah sangka..” Aku masih mencoba tersenyum dan bersikap biasa saja. Semuanya terkekeh. Aku membaca ekspresi Kak Al seperti tidak keberatan dengan jawabanku.

Kak Fian itu masih sama, suka melontarkan kata-kata candaan ringan. Aku harap semuanya masih belum lupa. Kak Fian memang suka bercanda. Aku tidak tau apakah Kak Al pernah cerita tentangku pada Kak Fian. Jika memang pernah, aku harap itu sudah dia lupakan.

“Punya calon? Alvaro itu cuma nungguin kamu, Fa.” Balas Kak Fian. Ah, aku tidak bisa berkata-kata sekarang. Seketika jadi speechless. Aku hanya tersenyum dan lagi-lagi tersenyum untuk menyikapinya. Menurutku, hanya dengan senyuman-lah cara efektif untuk menutupi kegugupanku.

Kak Al yang sedari tadi diam langsung bereaksi, “Eeh! Jangan di dengerin, ya. Fian suka asal. Ketua kita ini memang sedikit aneh. Kamu masih suka bercanda, ya..” Ujarnya sambil masih larut dalam aktifitas tertawa bersama.

“Tapi nggak tau kenapa, kalian ini beneran keliatan cocok..”

Aku menghela napas lega. Setidaknya sekarang aku telah berhasil melewati reuni SMA yang berubah menjadi menyebalkan. Kenapa semua orang yang aku temui mengira aku berpasangan dengan Kak Al? Aku rasa mereka semua ingin meledekku. Aku sampai kehabisan akal untuk menjawab semua pernyataan itu. Untunglah, Kak Al juga tidak tinggal diam.

Setelah sekian lama, aku bertemu lagi dengan sosok yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang itu. Aku merasa kami memang telah memilih jalan masing-masing dan sedang bertemu di persimpangan−sekarang. Dia terlihat dewasa dan masih ramah seperti dulu. Sampai sekarang aku juga tidak tau apakah aku sudah menghapusnya dari hatiku atau justru −bertambah dalam− seperti yang tidak aku harapkan.

Aku tidak ingin gagal melupakan perasaanku. Sebuah nama seketika muncul dan terlintas di dalam pikiranku; Aufar. Aku sedikit merasa bersalah ketika mengingat nama itu. Karena sampai detik ini aku belum sepenuhnya yakin dia bisa menggantikan Alvaro.

Tapi aku tau, Aufar pasti bisa membuatku melupakan dan otomatis menggantikan posisi Alvaro.

*-*-*

“Ifa? Boleh Ibu masuk?” Tanya Ibu lembut dari balik pintu kamarku. Aku mengiyakannya sambil masih berkutat dengan laptopku, menyelesaikan tugas kuliah hari ini.

“Ada apa, Ibu?” Aku menatapnya setelah tubuh paruh bayanya mengambil tempat di sebelahku.

Dia tersenyum, “Kapan kamu berangkat lagi ke Kairo, Nak?”

Aku menghentikan aktifitasku dan menaruh perhatian penuh padanya, “Ada apa, Ibu? InsyaAllah Ifa secepatnya akan kembali lagi ke Kairo.” Jawabku hati-hati. Aku menemukan kecemasan dari matanya yang sayu.

“Ibu dan Ayah ingin kamu menikah sebelum kembali lagi kesana, Nak..” Katanya pelan sambil masih mengusap tanganku, “Kalau kamu sudah menikah, suamimu pasti akan menjaga kamu kapanpun dan dimanapun. Jadi, Ayah sama Ibu di sini bisa tenang.” Ungkapnya jujur.

Aku menghela napas, “InsyaAllah, Ifa siap. Semuanya tergantung dari calon Ifa, Bu. Ifa hanya bisa menunggu..”

“Dia akan datang lusa. Kamu nggak keberatan, kan?”

Mataku sedikit terbelalak. Aku langsung tersenyum lagi setelahnya. Mungkin semua ini sudah takdir-Nya. Aku langsung memeluk tubuh ibuku. Ada cairan bening yang mendesak ingin keluar dari pelupuk mataku. Tapi sekuat tenaga aku menahan semuanya. Aku sudah dan harus menerima semua ini dengan pikiran terbuka. Allah akan memberikan yang terbaik untuk hambaNya, aku selalu yakin itu.

*-*-*

“Vir? Kakak boleh nanya sama kamu, nggak?” Tanyaku iseng sengaja sedikit mengganggu aktifitas berkebunnya di belakang rumah yang jadi hobi favoritnya sejak kecil.

Dia masih sibuk dengan tanamannya, “Boleh, kok, Kak. Memang mau nanya apa?” Ujarnya masih belum beralih dari pekerjaannya.

“Kamu tau Kak Aufar itu orangnya gimana, sih?”

Dia langsung menoleh dan mendekat ke arahku sambil berbisik, “Baik, ganteng, sholeh dan dia juga sukses, Kak.” Jawabnya sambil mendekatkan mulutnya di telingaku.

Aku ragu, “Beneran? Kenapa harus bisik-bisik?” Aku gantian berbisik di telinganya.

Dia hanya tertawa geli sambil mengangguk yakin, “Pokoknya dia keren banget, Kak!” ujarnya jujur. Kemudian dia melanjutkan lagi berkutat dengan tanah dan pohon-pohon kecilnya itu. Aku hanya mengamati, semangatnya sangat besar.

Aku tidak tau bagaimana Virna bisa berbohong. Sepanjang dia jadi adikku, aku selalu melihat kejujuran dari matanya. Meskipun itu buruk, pasti dia akan mengatakan yang sebenarnya walaupun sambil berlinang air mata. Virna masih kecil dan polos. Mungkin Aufar memang sosok yang mengagumkan bagi gadis kecil ini. Aku jadi semakin penasaran, siapa Aufar itu?

*-*-*

“Ifa, itu Aufar sudah datang beserta keluarganya..” Ibu berkata dari pintu. Aku masih duduk di atas ranjangku sambil beberapa kali mengatur napas. Aku hanya ingin menstabilkan perasaanku.

Aku merasa sangat gugup sekarang. Jantungku bergemuruh kencang. Orang yang akan aku temui ini akan menjadi suamiku nantinya. Aku tidak menyangka hari ini akan datang secepat ini. Ibu masih mengamatiku dari pintu. Dia selalu mengerti perasaan putrinya.

“Bismillah, Nak..”

Aku melangkah keluar. Ibu juga mendampingiku. Virna tersenyum ketika aku melewatinya yang berdiri di depan kamarku. Dia juga mengikutiku dan Ibu. Aku menggenggam tangannya erat dan melingkarkan lengan di pinggang ibu.

“Kakak cantik banget!” Puji gadis kecil berambut panjang itu.

Semua keluarga telah berkumpul. Mereka seperti begitu menungguku disini. Aku masih menunduk. Rasanya berat untuk sekedar mengangkat kepala dan menatap seperti apa sosok Aufar ini. Aku telah mengusulkan kepada Ayah agar kami bertaaruf dulu sebelum menikah. Aku ingin lebih mengenalnya lagi, tapi dengan cara Islam.

“Nak Ifa, ini Aufar. Dan Nak Aufar, pasti sudah tau lebih dulu, ini Ifa. Kalian akan berta’aruf kemudian InsyaAllah bisa melanjutkan ke pernikahan.” Suara Ayah terdengar jelas.

Perlahan aku mengangkat kepalaku. Memberanikan diri untuk menatap wajahnya sekilas. Dan saat yang sama juga darahku terasa jelas mengalir di dalam tubuhku. Jantungku berdetak semakin kencang. Aku merasa semuanya seperti mimpi.

“Alvaro?”

Semuanya seketika terdiam. Aku menatap ayahku tidak percaya. Apa semua ini hanya ilusi-ku saja? Kenapa hayalanku separah ini? Aku hampir tidak bisa membedakan yang nyata dan hayalan. Aku makin erat menggenggam tangan ibu. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang ada di depanku sekarang. Aku takut terbangun..

“Kamu benar, Fa. Ini Aku Al..” Jawabnya sambil tersenyum lebar. Dia terlihat santai sekali. Berbeda jelas dengan ekspresiku yang mungkin sangat konyol.

“Alvaro itu namanya dulu. Sewaktu dia masih SMA. Rupanya mereka sudah saling kenal.” Seseorang mencoba menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan besar di kepalaku, “Setelah kami sekeluarga menjadi mualaf, Alvaro memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Aufar.” Lanjut laki-laki paruh baya disebelahnya yang aku kira seperti ayahnya.

“Ayah lupa bercerita tentang itu sama kamu, Fa. Ayahnya Aufar ini sudah menjadi teman ayah sejak lama.” Sahut ayah yang langsung disambut tawa ringan dari semua orang di ruangan ini kecuali aku –mungkin. Aku masih bingung harus berekpresi bagaimana lagi.

Semuanya langsung terhanyut dalam cerita persahabatan ayah dan ayah Al−maksudku ayah Aufar− ketika mereka masih muda. Aku hanya bisa diam dan mendengarkan. Aufar juga sama. Dia terlihat menikmati pertemuan keluarga kecil ini.

Aku tidak tau bagaimana semua rangkaian indah ini bisa terjadi di hidupku. Aku juga tidak percaya, aku bisa bersatu dengan laki-laki yang rasanya tidak mungkin berdampingan bersamaku. Jalan kami terlihat berlawanan arah sewaktu SMA. Dan semuanya menjadi searah dan selaras setelah sekian tahun. Dinding perbedaan yang membatasi kami seakan telah rata dengan tanah.

Ini bukan mimpi. Dan semuanya sungguh aku alami secara nyata. Satu hal; Jodoh pasti akan kembali, sejauh apapun dia meninggalkan kita. Terkadang Allah memang membungkus suatu anugrah dengan kesedihan dan kesusahan. Selalu yakin, Allah tidak pernah salah dalam memberi cobaan. Semuanya tidak pernah berada diatas kemampuan kita.

Jika kita memang mencintai seseorang, jangan takut untuk melepasnya jika memang itu harus dilakukan. Karena jodoh tidak mungkin tertukar. Walaupun sejauh apapun keadaan memaksa. Jika memang bukan, Allah pasti memberi jodoh yang terbaik. Itu keyakinanku dan sekarang aku mendapat anugrah terbesar−dapat bersama orang yang aku cintai.

Aku berjalan beriringan dengan Aufar. Dia menggenggam tanganku erat. Alhamdulillah, dia telah halal untukku sekarang. Dia tersenyum sambil sesekali memperhatikanku. Aku merasa sangat bahagia sekarang. Rasanya seperti semua impianku jadi kenyataan.

“Ifa, kamu mau tau sesuatu?” Katanya pelan dan lembut. Dia juga mengusap kepalaku. Sorot matanya membuatku bertanya-tanya.

“Apa?”

“Aku mencintaimu. Dan akan selalu mencintaimu karena Allah.” Jawabnya kemudian.

Dia melingkarkan lengannya di bahuku. Aku menyenderkan kepalaku padanya. Rasanya aku ingin waktu berhenti disini. Dan semua ini nyata. Tidak ada lagi perbedaan yang membentang seperti tembok tebal diantara kami. Aku merasa sangat bahagia sekarang.

Sekarang, aku dan Aufar –dulu, Alvaro− duduk di pinggir Sungai Nil menyaksikan matahari terbenam bersama.

FIN!

*-*-*
Finally kelar juga!!!
FYI, ini totalnya 7K words loh! Cerpen terpanjang saya hehe.
Rekor baru juga, aku menyelesaikannya dalam satu hari! Kiw bangeeet;)
Cerpen ini cuma fiksi yaa, nggak ada maksud mau nyinggung pihak tertentu
apalagi masalah agama, itu cuma khayalan sayaa~
Btw, saya juga masih belajar darlam menulis, so...
Kritik dan saran jangan lupa yaa~
Thanks!
-Mia
12262014

                

0 komentar:

Posting Komentar