It Isn’t Just A Dream?
Cahaya matahari menyembul dari
balik tirai jendela di kamarku. Ayam jantan berkokok dengan semangatnya. Aku
masih dalam pelukan selimutku yang hangat ini. Enggan rasanya untuk beranjak. Tapi aku mengerjapkan
mataku sejenak saat mengingat hari ini tanggal berapa.
“Ah, ya. Sekarang kan tanggal 14.” kataku sambil beranjak dari tempat tidur dan melihat ke sebuah kalender duduk yang ada di kamarku untuk memastikan tanggal berapa hari ini. Benar saja, hari ini tanggal 14 November!
“Yes, tomorrow is my birthday! Yuhuuuu..” teriakku saat menyadari besok ulang tahunku yang ke-16. Satu pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku dan mengusik perayaaanku. ‘Sekarang jam berapa?’. Aku diam sejenak dan melirik ke jam bulat berwarna biru yang menempel lekat di dinding kamarku.
“Hah? Jam 06.30?” aku melotot ke arah jam itu. Mengedip-ngedipkan mataku. Siapa tau, aku salah melihat jarum jam. Dan juga memastikan apakah jarumnya masih berdetik karena bisa saja jam itu mati dari semalam. Ah, tapi tidak salah lagi, itu benar-benar jam 06.30. Yah, terlambat lagi…
***
“Non Kayla, kenapa selalu
terlambat sih?” tanya Pak Satpam penjaga pintu gerbang sekolahku. Dia tampak tak habis pikir denganku.
“Pak, tolong buka gerbangnya. Saya, kan, cuma terlambat beberapa menit. Ayolah, Pak, tolong saya.” Pintaku memohon kepada Pak Satpam ini setelah aku kalah cepat saat dia menutup gerbang sekolah dan aku hampir saja lolos menerobos masuk. Hampir.
“Beberapa menit? Non Kayla itu terlambat 15 menit lebih.” katanya protes sambil menunjuk jam yang ada di posnya.
“Yaudah, Pak. Besok pasti saya gak terlambat lagi, deh. Tapi tolong buka gerbangnya, Pak.” aku mencoba meyakinkan satpam itu. Tiba-tiba kudengar suara motor balap, ya sejenis motor balap mendekat ke arahku.
“Ayo bareng gue aja.” ujarnya singkat tapi suaranya sukses membuat jantungku ber-dugem ria. Hmm.. Aku kenal suara itu. Perlahan aku menoleh ke arahnya.
“Gak akan boleh masuk sama Pak Satpam.” jawabku sekenanya. Jujur aku gugup. Ternyata dia Rasya. Idola seantero sekolah. Banyak perempuan disekolah yang mengagumi dan megidolakan dia. Ehm, termasuk aku.
“Jadi mau bareng gue apa enggak?” sahutnya sedikit sinis, huh.
“Yaudah kalo maksa.” ujarku tanpa berpikir lagi langsung naik ke motornya. Dia hanya mengernyit heran, ‘Siapa yang maksa? Dasar cewek aneh.’ ─pikirnya mungkin.
“Pak, tolong buka gerbangnya.” perintahnya kepada Pak Satpam tadi. Aku ragu kalau Pak Satpam itu mau menurutinya. Tapi dengan sigap satpam itu langsung membuka gerbang sekolah dan membiarkan motor berpenumpang aku dan Rasya masuk dengan mudahnya. Hal itu menjawab keraguanku tadi.
Setelah memarkirkan motornya, aku turun, “Makasih, ya.” ujarku kemudian. Lalu aku melihatnya melepaskan helmnya dan mengibaskan kepalanya agar rambutnya tertata rapi kembali. So cool…
“Pak, tolong buka gerbangnya. Saya, kan, cuma terlambat beberapa menit. Ayolah, Pak, tolong saya.” Pintaku memohon kepada Pak Satpam ini setelah aku kalah cepat saat dia menutup gerbang sekolah dan aku hampir saja lolos menerobos masuk. Hampir.
“Beberapa menit? Non Kayla itu terlambat 15 menit lebih.” katanya protes sambil menunjuk jam yang ada di posnya.
“Yaudah, Pak. Besok pasti saya gak terlambat lagi, deh. Tapi tolong buka gerbangnya, Pak.” aku mencoba meyakinkan satpam itu. Tiba-tiba kudengar suara motor balap, ya sejenis motor balap mendekat ke arahku.
“Ayo bareng gue aja.” ujarnya singkat tapi suaranya sukses membuat jantungku ber-dugem ria. Hmm.. Aku kenal suara itu. Perlahan aku menoleh ke arahnya.
“Gak akan boleh masuk sama Pak Satpam.” jawabku sekenanya. Jujur aku gugup. Ternyata dia Rasya. Idola seantero sekolah. Banyak perempuan disekolah yang mengagumi dan megidolakan dia. Ehm, termasuk aku.
“Jadi mau bareng gue apa enggak?” sahutnya sedikit sinis, huh.
“Yaudah kalo maksa.” ujarku tanpa berpikir lagi langsung naik ke motornya. Dia hanya mengernyit heran, ‘Siapa yang maksa? Dasar cewek aneh.’ ─pikirnya mungkin.
“Pak, tolong buka gerbangnya.” perintahnya kepada Pak Satpam tadi. Aku ragu kalau Pak Satpam itu mau menurutinya. Tapi dengan sigap satpam itu langsung membuka gerbang sekolah dan membiarkan motor berpenumpang aku dan Rasya masuk dengan mudahnya. Hal itu menjawab keraguanku tadi.
Setelah memarkirkan motornya, aku turun, “Makasih, ya.” ujarku kemudian. Lalu aku melihatnya melepaskan helmnya dan mengibaskan kepalanya agar rambutnya tertata rapi kembali. So cool…
“Ngapain masih disini? Lo kan
udah telat.” ujarnya dingin
ketika memergokiku tengah memperhatikannya. Ah, aku jadi salah tingkah.
“Emm, iya..iya. Makasih, ya.” aku segera berlari menyusuri koridor sekolah yang tampak sepi untuk mencapai kelasku. Sejenak aku berpikir, ‘Kenapa dia bisa masuk semudah itu, ya?’ , namun aku segera menepuk dahiku. ‘Jelas saja, dia kan anak pemilik yayasan sekolah, huh.’
Aku mengintip ke dalam ruang kelasku. Beruntung, tak kutemui guru disana. Bahkan teman sekelasku sedang bercanda-canda santai. Kecuali Reva. Teman sebangkuku itu tengah asik berkutat dengan bukunya. Tak biasanya dia serajin itu. Dengan santai dan percaya diri aku masuk ke kelas.
“Gak ada guru, ya?” tanyaku pada Reva.
Reva menggeleng, “Lo telat lagi? Kok bisa masuk?” sambungnya kemudian.
Aku tersenyum, “Tadi gue bareng Rasya dong.” jawabku bangga.
“Rasya? Kok bisa?”
“Emm, iya..iya. Makasih, ya.” aku segera berlari menyusuri koridor sekolah yang tampak sepi untuk mencapai kelasku. Sejenak aku berpikir, ‘Kenapa dia bisa masuk semudah itu, ya?’ , namun aku segera menepuk dahiku. ‘Jelas saja, dia kan anak pemilik yayasan sekolah, huh.’
Aku mengintip ke dalam ruang kelasku. Beruntung, tak kutemui guru disana. Bahkan teman sekelasku sedang bercanda-canda santai. Kecuali Reva. Teman sebangkuku itu tengah asik berkutat dengan bukunya. Tak biasanya dia serajin itu. Dengan santai dan percaya diri aku masuk ke kelas.
“Gak ada guru, ya?” tanyaku pada Reva.
Reva menggeleng, “Lo telat lagi? Kok bisa masuk?” sambungnya kemudian.
Aku tersenyum, “Tadi gue bareng Rasya dong.” jawabku bangga.
“Rasya? Kok bisa?”
***
“Hari ini gue seneng banget,
Rev!” kataku ketika selesai bercerita tentang pengalamanku tadi pagi. Sambil
memakan cemilan di kantin, Reva hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ocehanku dari tadi.
“Hmm, ya. Gue tau..”
“Eh, besok hari apa? Lo inget gak?” tanyaku mecoba menguji ingatan Reva.
Dia tampak berpikir sejenak, “Gue inget kok, hari ulang tahun lo, kan?” sahutnya kemudian dengan gaya sedikit heboh.
“Hehe, iya bener! Gue kira lo lupa.” ujarku sambil memberi dua jempol padanya.
“Mana mungkin bisa lupa? Lo kan selalu nulis tanggal lahir lo dimanapun.” katanya jujur. Yah, mungkin aku termasuk orang yang paling kurang kerjaan.
“Hehe, biar semua orang tau tanggal lahir gue.” sahutku sedikit terkekeh.
“Oh iya, lo lagi pengen apa?” Reva bertanya penasaran. Mungkin dia ingin memberiku kado.
“Gue lagi pengen pergi ke Paris dan ngerayain ulang tahun gue di bawah Menara Eiffel bareng─” belum selesai, aku menghentikan perkataanku karena tiba-tiba Reva memegangi dahiku.
“Hello! Lo gak lagi sakit, kan? Menghayalnya tinggi banget.” Reva terkekeh.
“Eh, siapa tau kan jadi kenyataan.” aku membela diri. Reva hanya geleng-geleng kepala.
“Amin, semoga aja deh.” Katanya mengalah.
“Menurut lo, Rasya bakal tau besok gue ulang tahun apa enggak, ya?” aku ingin mendengar respon Reva.
“Maybe… no.” jawabnya singkat sambil menyedot habis jus mangganya. Yah, bukan itu respon yang aku harapkan. Bahkan Reva tidak merasa berdosa menjawab seperti itu. Dasar.
“Udah yuk, kita ke kelas. Sebentar lagi kan bel.” ajak Reva mengalihkan pembicaraan dan melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
“Oke..”
“Bayar dulu jusnya. Punya gue juga, ya. Kan besok lo ulang tahun.” kata Reva sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya.
“Gue kan ulang tahun besok! Yaudah, kali ini lo gue traktir deh.” aku sedikit protes pada Reva lalu berjalan ke arah kasir diiringi senyum jail dari Reva, huh.
“Udah? Makasih, ya, Kayla cantik dan baik hati.” goda Reva sambil mencubit pipi gembulku saat aku sudah selasai membayar. Rupanya dia baru tau kalau aku memang cantik dan baik hati.
“Hmm, ya. Gue tau..”
“Eh, besok hari apa? Lo inget gak?” tanyaku mecoba menguji ingatan Reva.
Dia tampak berpikir sejenak, “Gue inget kok, hari ulang tahun lo, kan?” sahutnya kemudian dengan gaya sedikit heboh.
“Hehe, iya bener! Gue kira lo lupa.” ujarku sambil memberi dua jempol padanya.
“Mana mungkin bisa lupa? Lo kan selalu nulis tanggal lahir lo dimanapun.” katanya jujur. Yah, mungkin aku termasuk orang yang paling kurang kerjaan.
“Hehe, biar semua orang tau tanggal lahir gue.” sahutku sedikit terkekeh.
“Oh iya, lo lagi pengen apa?” Reva bertanya penasaran. Mungkin dia ingin memberiku kado.
“Gue lagi pengen pergi ke Paris dan ngerayain ulang tahun gue di bawah Menara Eiffel bareng─” belum selesai, aku menghentikan perkataanku karena tiba-tiba Reva memegangi dahiku.
“Hello! Lo gak lagi sakit, kan? Menghayalnya tinggi banget.” Reva terkekeh.
“Eh, siapa tau kan jadi kenyataan.” aku membela diri. Reva hanya geleng-geleng kepala.
“Amin, semoga aja deh.” Katanya mengalah.
“Menurut lo, Rasya bakal tau besok gue ulang tahun apa enggak, ya?” aku ingin mendengar respon Reva.
“Maybe… no.” jawabnya singkat sambil menyedot habis jus mangganya. Yah, bukan itu respon yang aku harapkan. Bahkan Reva tidak merasa berdosa menjawab seperti itu. Dasar.
“Udah yuk, kita ke kelas. Sebentar lagi kan bel.” ajak Reva mengalihkan pembicaraan dan melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
“Oke..”
“Bayar dulu jusnya. Punya gue juga, ya. Kan besok lo ulang tahun.” kata Reva sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya.
“Gue kan ulang tahun besok! Yaudah, kali ini lo gue traktir deh.” aku sedikit protes pada Reva lalu berjalan ke arah kasir diiringi senyum jail dari Reva, huh.
“Udah? Makasih, ya, Kayla cantik dan baik hati.” goda Reva sambil mencubit pipi gembulku saat aku sudah selasai membayar. Rupanya dia baru tau kalau aku memang cantik dan baik hati.
***
Bel pulang telah berdering.
Semua siswa berhamburan keluar kelas. Ah, aku lega karena pelajaran sejarah
yang membosankan ini berakhir juga. Bel pulang itu sudah kutunggu bunyinya
daritadi karena ampuh mengusir guru ini dari ruang kelas.
Aku berkemas pulang. Seperti biasa, aku pulang sekolah dengan berjalan kaki
sampai rumah bersama Reva. Kadang, jika lagi malas berjalan aku juga di jemput olah supir pribadiku.
Tapi itu jarang sekali.
“Apa besok orang tua lo akan pulang ngerayain ulang tahun lo? Besok kan weekend.” tanya Reva membuka pembicaraan di bawah matahari yang terik ini terasa menyengat kulit dan jalanan juga terlihat tandus.
“Entahlah, tapi mereka sibuk banget.” jawabku sambil menunduk. Aku memang tak bisa mengharapkan kedua orang tuaku pulang besok. Bahkan untuk menelponku dan mengucapkan ‘Happy Birthday Kayla.’ saja rasanya tak mungkin. Mereka benar-benar tidak memiliki waktu. Itulah orang tuaku.
“Mungkin besok mereka akan ngasih lo kejutan lain. Positive thinking dulu lah.” Reva mencoba menghiburku. Dia tau benar sibuknya kedua orang tuaku.
“Mereka gak akan punya waktu.”
“Besok kita nonton aja, atau piknik mungkin? Kita hang out-lah. Yang penting kita have fun. Gimana?” Reva masih berusaha membuatku memiliki secercah harapan untuk bersenang-senang di hari ulang tahunku.
“Gampang. Nanti gue telpon kalo jadi.” jawabku sambil sedikit tersenyum.
Tak terasa sudah sampai di depan rumahku. Aku berpisah dengan Reva karena rumahnya masih di ujung jalan sana.
“Selamat berjalan kembali.” ujarku kepada Reva. Dia hanya melambaikan tangan kepadaku. Aku segera masuk ke rumah dan mendapati bibi tergopoh-gopoh mendekat ke arahku.
“Non Kayla kenapa gak minta jemput Pak Supir?” tanya bibi kemudian saat melihatku tergeletak di sofa ruang depan. Lelah sekali..
“Gapapa kok, Bi. Aku memang lagi pengen jalan sama Reva.” jawabku sambil beranjak ke kamarku yang ada di lantai dua. “Tolong antarkan minuman dan makanan ke kamarku ya, bi.” sambungku lagi.
“Baik, Non.”
Ketika sampai di kamarku, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Dan meletakkan tasku sembarangan. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu disertai suara bibi dari balik pintu.
“Non, ini makanan dan minumannya.”
“Masuk aja, Bi. Pintunya gak di kunci, kok.” jawabku, lalu bibi masuk dengan membawa sebuah nampan berisi segelas jus jeruk, segelas air putih, sepiring nasi putih dengan sup ayam kesukaanku, juga tak lupa setoples keripik kentang balado kesukaanku. Lengkap banget.
“Taruh di meja aja, Bi.” perintahku lembut. Lalu bibi pun menurutinya dan hendak keluar dari kamarku setelah itu.
“Bi?” panggilku yang membuat dia menoleh sebentar ke arahku. “Iya, non? Ada apa?” jawabnya kemudian mengira aku akan memintanya membawakan sesuatu lagi.
“Aku mau bertanya. Apa besok ada kemungkinan Mama dan Papa pulang, bi?” tanyaku lirih. Bibi tampak ragu.
“Sepertinya tidak, non.” jawabnya sambil menuduk menyesal. Sudah kuduga sebelumnya, pasti itu jawaban bibi.
“Oh, tidak aneh. Sudah biasa. Yaudah, terima kasih, Bi.” ujarku mencoba menutupi kekecewaanku. Bibi hanya mengangguk lalu pergi dari kamarku.
Karena bosan menghampiriku, aku mengambil laptopku dan memainkan game kesukaanku. Entah berapa ribu kali aku memainkannya, tapi anehnya aku tak pernah merasa bosan sedikitpun. Sambil menjelajahi internet aku jadi lupa waktu.
Tak terasa hari sudah malam. Hujan mengguyur dengan derasnya malam ini. Dingin terasa menusuk tulang. Aku masih kecewa dengan kedua orang tuaku yang terlalu sibuk dengan urusan mereka. Bahkan sampai melupakan aku, anaknya sendiri.
Kurasa tak ada lagi yang harus dikerjakan setelah perutku kenyang. Aku berbaring di kasurku. Aku mencoba membayangkan hal-hal terindah yang mungkin akan terjadi besok. Perlahan, rasa kantukku mulai memaksaku untuk memejamkan mata. Sampai jumpa pagi!
“Apa besok orang tua lo akan pulang ngerayain ulang tahun lo? Besok kan weekend.” tanya Reva membuka pembicaraan di bawah matahari yang terik ini terasa menyengat kulit dan jalanan juga terlihat tandus.
“Entahlah, tapi mereka sibuk banget.” jawabku sambil menunduk. Aku memang tak bisa mengharapkan kedua orang tuaku pulang besok. Bahkan untuk menelponku dan mengucapkan ‘Happy Birthday Kayla.’ saja rasanya tak mungkin. Mereka benar-benar tidak memiliki waktu. Itulah orang tuaku.
“Mungkin besok mereka akan ngasih lo kejutan lain. Positive thinking dulu lah.” Reva mencoba menghiburku. Dia tau benar sibuknya kedua orang tuaku.
“Mereka gak akan punya waktu.”
“Besok kita nonton aja, atau piknik mungkin? Kita hang out-lah. Yang penting kita have fun. Gimana?” Reva masih berusaha membuatku memiliki secercah harapan untuk bersenang-senang di hari ulang tahunku.
“Gampang. Nanti gue telpon kalo jadi.” jawabku sambil sedikit tersenyum.
Tak terasa sudah sampai di depan rumahku. Aku berpisah dengan Reva karena rumahnya masih di ujung jalan sana.
“Selamat berjalan kembali.” ujarku kepada Reva. Dia hanya melambaikan tangan kepadaku. Aku segera masuk ke rumah dan mendapati bibi tergopoh-gopoh mendekat ke arahku.
“Non Kayla kenapa gak minta jemput Pak Supir?” tanya bibi kemudian saat melihatku tergeletak di sofa ruang depan. Lelah sekali..
“Gapapa kok, Bi. Aku memang lagi pengen jalan sama Reva.” jawabku sambil beranjak ke kamarku yang ada di lantai dua. “Tolong antarkan minuman dan makanan ke kamarku ya, bi.” sambungku lagi.
“Baik, Non.”
Ketika sampai di kamarku, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Dan meletakkan tasku sembarangan. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu disertai suara bibi dari balik pintu.
“Non, ini makanan dan minumannya.”
“Masuk aja, Bi. Pintunya gak di kunci, kok.” jawabku, lalu bibi masuk dengan membawa sebuah nampan berisi segelas jus jeruk, segelas air putih, sepiring nasi putih dengan sup ayam kesukaanku, juga tak lupa setoples keripik kentang balado kesukaanku. Lengkap banget.
“Taruh di meja aja, Bi.” perintahku lembut. Lalu bibi pun menurutinya dan hendak keluar dari kamarku setelah itu.
“Bi?” panggilku yang membuat dia menoleh sebentar ke arahku. “Iya, non? Ada apa?” jawabnya kemudian mengira aku akan memintanya membawakan sesuatu lagi.
“Aku mau bertanya. Apa besok ada kemungkinan Mama dan Papa pulang, bi?” tanyaku lirih. Bibi tampak ragu.
“Sepertinya tidak, non.” jawabnya sambil menuduk menyesal. Sudah kuduga sebelumnya, pasti itu jawaban bibi.
“Oh, tidak aneh. Sudah biasa. Yaudah, terima kasih, Bi.” ujarku mencoba menutupi kekecewaanku. Bibi hanya mengangguk lalu pergi dari kamarku.
Karena bosan menghampiriku, aku mengambil laptopku dan memainkan game kesukaanku. Entah berapa ribu kali aku memainkannya, tapi anehnya aku tak pernah merasa bosan sedikitpun. Sambil menjelajahi internet aku jadi lupa waktu.
Tak terasa hari sudah malam. Hujan mengguyur dengan derasnya malam ini. Dingin terasa menusuk tulang. Aku masih kecewa dengan kedua orang tuaku yang terlalu sibuk dengan urusan mereka. Bahkan sampai melupakan aku, anaknya sendiri.
Kurasa tak ada lagi yang harus dikerjakan setelah perutku kenyang. Aku berbaring di kasurku. Aku mencoba membayangkan hal-hal terindah yang mungkin akan terjadi besok. Perlahan, rasa kantukku mulai memaksaku untuk memejamkan mata. Sampai jumpa pagi!
***
“Today is my birthday!” teriakku
saat bangun dari tempat tidur. Aku segera berlari keluar dan bertemu bibi juga Pak Supir yang
menyodorkanku sebuah cake dengan sebuah lilin di atasnya.
“Selamat ulang tahun ya, Non. Ini cake buatan bibi lho..” kata bibi kemudian diiringi oleh lagu selamat ulang tahun oleh gitar yang dimainkan Pak Supir. Aku tak menyangka Pak Supir pandai juga bermain gitar. Ternyata, bibi dan Pak Supir saja yang bukan siapa-siapaku bisa sepeduli ini padaku. Tapi orang tuaku? Entah apa mereka masih ingat hari ulang tahunku. Bahkan apakah mereka masih ingat mempunyai anak seperti aku?
“Ayo, tiup lilinnya, Non.” perintah bibi. Aku menurutinya, memejamkan mataku sejenak untuk meminta sebuah permintaan. Setelah selesai meniup lilin, bibi dan Pak Supir bergantian menyalamiku dan mendoakan aku. Sungguh, aku masih bersyukur ada yang peduli padaku.
Ting…tung…ting…tung...! Suara bel berbunyi..
“Biar aku saja yang buka.” kataku. Entah mengapa aku masih berharap yang datang adalah orang tuaku. Mereka pulang untukku, karena ulang tahunku. Tapi aku ragu kalau itu benar orang tuaku.
“Permisi, apa benar ini rumah Mbak Kayla?” kata seorang tukang pos yang aku kenali dari seragamnya. Sudah kuduga, tidak mungkin orang tuaku.
“Ya, benar. Ada apa?”
“Ini ada surat untuk Mbak Kayla.” katanya sambil memberiku sebuah amplop berwarna putih.
“Terima Kasih.” jawabku kemudian. ‘Surat? Dari siapa, ya?’ batinku penasaran.
Aku membuka isi dari amplop itu, ada sebuah surat. Bukan, tapi dua surat. Aku membaca surat yang pertama. Setelah kubaca, aku benar-benar tak menduga. Itu tiket ke Paris siang ini! Wow. Sontak aku berteriak kegirangan. Kemudian aku membaca surat yang kedua,
‘Selamat ulang tahun, sayang. Semoga panjang umur, bahagia selalu, bertambah cerdas, semakin cantik, dan semakin patuh sama orang tua dan semua yang baik. Kami disini hanya bisa mendoakanmu menjadi terbaik. Ini tiket ke Paris buat kamu, semoga kamu suka liburan kesana, ya. Maaf mama dan papa gak bisa pulang. Have fun, sayang! We love you so muchJ’ Jadi, ini semua dari mama dan papa? Ah, mereka baik sekali. Aku sayang mereka. Aku jadi merasa bersalah karena sudah berburuk sangka pada mereka. Walaupun kekecewaanku belum terobati karena mereka tidak bisa pulang. Tapi aku bersyukur, minimal mereka masih ingat ulang tahunku. Terima kasih mama dan papa. I love you too so much!
“Selamat ulang tahun ya, Non. Ini cake buatan bibi lho..” kata bibi kemudian diiringi oleh lagu selamat ulang tahun oleh gitar yang dimainkan Pak Supir. Aku tak menyangka Pak Supir pandai juga bermain gitar. Ternyata, bibi dan Pak Supir saja yang bukan siapa-siapaku bisa sepeduli ini padaku. Tapi orang tuaku? Entah apa mereka masih ingat hari ulang tahunku. Bahkan apakah mereka masih ingat mempunyai anak seperti aku?
“Ayo, tiup lilinnya, Non.” perintah bibi. Aku menurutinya, memejamkan mataku sejenak untuk meminta sebuah permintaan. Setelah selesai meniup lilin, bibi dan Pak Supir bergantian menyalamiku dan mendoakan aku. Sungguh, aku masih bersyukur ada yang peduli padaku.
Ting…tung…ting…tung...! Suara bel berbunyi..
“Biar aku saja yang buka.” kataku. Entah mengapa aku masih berharap yang datang adalah orang tuaku. Mereka pulang untukku, karena ulang tahunku. Tapi aku ragu kalau itu benar orang tuaku.
“Permisi, apa benar ini rumah Mbak Kayla?” kata seorang tukang pos yang aku kenali dari seragamnya. Sudah kuduga, tidak mungkin orang tuaku.
“Ya, benar. Ada apa?”
“Ini ada surat untuk Mbak Kayla.” katanya sambil memberiku sebuah amplop berwarna putih.
“Terima Kasih.” jawabku kemudian. ‘Surat? Dari siapa, ya?’ batinku penasaran.
Aku membuka isi dari amplop itu, ada sebuah surat. Bukan, tapi dua surat. Aku membaca surat yang pertama. Setelah kubaca, aku benar-benar tak menduga. Itu tiket ke Paris siang ini! Wow. Sontak aku berteriak kegirangan. Kemudian aku membaca surat yang kedua,
‘Selamat ulang tahun, sayang. Semoga panjang umur, bahagia selalu, bertambah cerdas, semakin cantik, dan semakin patuh sama orang tua dan semua yang baik. Kami disini hanya bisa mendoakanmu menjadi terbaik. Ini tiket ke Paris buat kamu, semoga kamu suka liburan kesana, ya. Maaf mama dan papa gak bisa pulang. Have fun, sayang! We love you so muchJ’ Jadi, ini semua dari mama dan papa? Ah, mereka baik sekali. Aku sayang mereka. Aku jadi merasa bersalah karena sudah berburuk sangka pada mereka. Walaupun kekecewaanku belum terobati karena mereka tidak bisa pulang. Tapi aku bersyukur, minimal mereka masih ingat ulang tahunku. Terima kasih mama dan papa. I love you too so much!
***
Aku telah menginjakkan kakiku di Paris!! Whoa, sudah lama aku ingin
berkunjung ke sini. Dan sekarang telah terwujud juga.
“Reva gue udah di Paris nih!” seruku kepada Reva di ujung telpon. Dia tampak terkejut sekaligus ikut senang,
“Wah, keinginan lo terwujud juga akhirnya! Happy birthday, Kay! Wish you all the best ya.”
“Makasih..”
“Jangan lupa oleh-oleh dari Paris ya!”
“Gampang, yaudah, nanti gue telpon lagi ya.. Bye.”
“Oke, bye.”
Aku mengakhiri perbincangan singkatku dengan Reva. Karena aku harus benar-benar menikmati kunjunganku ke Paris ini, malam nanti setelah menikmati Menara Eiffel aku harus pulang ke Indonesia. Singkat banget. Tapi yang penting aku sudah pernah menikmati kota Paris.
Setibanya di hotelku, aku menaruh barang-barangku dan setelah itu baru menjelajahi kota Paris ditemani kamera kesayanganku. Yeah, ini kado terindah!
Masih pagi di sini, padahal di Indonesia sudah menjelang sore. Aku sangat bersemangat untuk mengunjungi tempat-tempat terkenal di Paris dan mengambil gambar foto di setiap sudutnya. Karena keasyikan, tak terasa waktu sudah sore.
Cepat sekali waktu berjalan, sekarang sudah malam. Malam hari di Paris adalah hal terpenting yang tak boleh aku lewatkan. Beruntung sekarang sedang musim panas, jadi aku tak perlu memakai jaket yang tebal.
Aku duduk di sekitar Menara Eiffel sambil menikmati keindahannya yang jarang aku alami. Tak henti-hentinya aku mengabadikan gambarnya dengan kameraku. Sungguh, tempat impianku di depan mata!
“Ehm, lo Kayla kan?” tanya seseorang yang sekaligus membuatku terkejut. ‘Di Paris ada yang kenal aku?’ Dan suaranya tidak asing di telingaku.
“Ya… Rasya?!” aku benar-benar tak menyangka dia berada di sini. Di Paris! Bersamaku? Entah aku harus mengatakan apa.
“Lo disini? Di Paris? Dan kita.. ketemu?!” aku tak percaya.
“Ya, seperti yang lo liat.” jawabnya santai sambil tersenyum manis lalu mengambil tempat di sebelahku. Jantungku.. jangan sampai meloncat keluar. Huh.
Aku tak berani menatapnya. Ah, aku benar-benar salah tingkah kali ini. Ini benar-benar seperti keinginanku. Aku bahagia.
“Gue denger lo ulang tahun hari ini. Ayo, tiup lilinnya jangan lupa make a wish dulu.” ujarnya lalu menyodorkan ke arahku sebuah cake kecil nan imut dari belakang punggungnya. Aku hanya mengangguk mengikuti keinginannya dan memejamkan mataku sejenak memanjatkan permintaan. Kemudian meniup lilin di atas cake itu.
Hey, ini seperti keinginanku yang aku bicarakan dengan Reva kemarin. ‘Pergi ke Paris dan ngerayain ulang tahun gue di bawah Menara Eiffel bareng.. Rasya’ Ya, itu dia! Dan sekarang terlaksana semuanya.
“Kenapa lo bisa disini?” tanyaku penasaran sambil memotong cake itu.
“Liburan. Dan gue tau lo juga lagi ke Paris. Saat gue ketemu lo, mendadak gue juga inget ulang tahun lo. Karena lo adalah cewek yang paling kurang kerjaan selalu nulis tanggal lahir lo dimanapun.” jelasnya. Aku hanya terkekeh dengan pernyataannya.
“Nih, cakenya..” aku menyodorkan cake ke arahnya.
“Eh, yang ulang tahun wajib nyuapin dong.” protesnya manja.
“Suapin? Dasar anak manja.” ledekku sambil memberikan sesendok cake ke mulutnya. Aku tertawa melihat tingkah lakunya.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo.”
“Ngomong apa?” jantungku semakin berdegup tak karuan.
“Gue.. suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue? Menara Eiffel ini jadi saksinya.” mataku membulat menatapnya saat dia berhenti berkata. ‘Dia suka kepadaku? Wow.’
“Mmm...” kata-kataku tertahan di kerongkongan, saat aku menyadari wajahnya perlahan mendekat ke arahku. Tak tau apa yang akan terjadi. Akhirnya aku memilih memejamkan mataku. Aku tak mau melihat hal gila yang kemungkinan akan terjadi. Entah apa.
“Reva gue udah di Paris nih!” seruku kepada Reva di ujung telpon. Dia tampak terkejut sekaligus ikut senang,
“Wah, keinginan lo terwujud juga akhirnya! Happy birthday, Kay! Wish you all the best ya.”
“Makasih..”
“Jangan lupa oleh-oleh dari Paris ya!”
“Gampang, yaudah, nanti gue telpon lagi ya.. Bye.”
“Oke, bye.”
Aku mengakhiri perbincangan singkatku dengan Reva. Karena aku harus benar-benar menikmati kunjunganku ke Paris ini, malam nanti setelah menikmati Menara Eiffel aku harus pulang ke Indonesia. Singkat banget. Tapi yang penting aku sudah pernah menikmati kota Paris.
Setibanya di hotelku, aku menaruh barang-barangku dan setelah itu baru menjelajahi kota Paris ditemani kamera kesayanganku. Yeah, ini kado terindah!
Masih pagi di sini, padahal di Indonesia sudah menjelang sore. Aku sangat bersemangat untuk mengunjungi tempat-tempat terkenal di Paris dan mengambil gambar foto di setiap sudutnya. Karena keasyikan, tak terasa waktu sudah sore.
Cepat sekali waktu berjalan, sekarang sudah malam. Malam hari di Paris adalah hal terpenting yang tak boleh aku lewatkan. Beruntung sekarang sedang musim panas, jadi aku tak perlu memakai jaket yang tebal.
Aku duduk di sekitar Menara Eiffel sambil menikmati keindahannya yang jarang aku alami. Tak henti-hentinya aku mengabadikan gambarnya dengan kameraku. Sungguh, tempat impianku di depan mata!
“Ehm, lo Kayla kan?” tanya seseorang yang sekaligus membuatku terkejut. ‘Di Paris ada yang kenal aku?’ Dan suaranya tidak asing di telingaku.
“Ya… Rasya?!” aku benar-benar tak menyangka dia berada di sini. Di Paris! Bersamaku? Entah aku harus mengatakan apa.
“Lo disini? Di Paris? Dan kita.. ketemu?!” aku tak percaya.
“Ya, seperti yang lo liat.” jawabnya santai sambil tersenyum manis lalu mengambil tempat di sebelahku. Jantungku.. jangan sampai meloncat keluar. Huh.
Aku tak berani menatapnya. Ah, aku benar-benar salah tingkah kali ini. Ini benar-benar seperti keinginanku. Aku bahagia.
“Gue denger lo ulang tahun hari ini. Ayo, tiup lilinnya jangan lupa make a wish dulu.” ujarnya lalu menyodorkan ke arahku sebuah cake kecil nan imut dari belakang punggungnya. Aku hanya mengangguk mengikuti keinginannya dan memejamkan mataku sejenak memanjatkan permintaan. Kemudian meniup lilin di atas cake itu.
Hey, ini seperti keinginanku yang aku bicarakan dengan Reva kemarin. ‘Pergi ke Paris dan ngerayain ulang tahun gue di bawah Menara Eiffel bareng.. Rasya’ Ya, itu dia! Dan sekarang terlaksana semuanya.
“Kenapa lo bisa disini?” tanyaku penasaran sambil memotong cake itu.
“Liburan. Dan gue tau lo juga lagi ke Paris. Saat gue ketemu lo, mendadak gue juga inget ulang tahun lo. Karena lo adalah cewek yang paling kurang kerjaan selalu nulis tanggal lahir lo dimanapun.” jelasnya. Aku hanya terkekeh dengan pernyataannya.
“Nih, cakenya..” aku menyodorkan cake ke arahnya.
“Eh, yang ulang tahun wajib nyuapin dong.” protesnya manja.
“Suapin? Dasar anak manja.” ledekku sambil memberikan sesendok cake ke mulutnya. Aku tertawa melihat tingkah lakunya.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo.”
“Ngomong apa?” jantungku semakin berdegup tak karuan.
“Gue.. suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue? Menara Eiffel ini jadi saksinya.” mataku membulat menatapnya saat dia berhenti berkata. ‘Dia suka kepadaku? Wow.’
“Mmm...” kata-kataku tertahan di kerongkongan, saat aku menyadari wajahnya perlahan mendekat ke arahku. Tak tau apa yang akan terjadi. Akhirnya aku memilih memejamkan mataku. Aku tak mau melihat hal gila yang kemungkinan akan terjadi. Entah apa.
Kriiiiiiiiiiiing!
Kriiiiiiiiiiiiing!
Terdengar suara deringan yang memecah keheningan diantara kami. Apa? Deringan? Aku berusaha mengingat deringan apa itu. Handphone-ku? Ah, bukan seperti itu nada deringnya. Aku masih mengingat deringan macam apa itu. Hei, itu.. alarmku! Tapi alarm apa?
Aku mengerjapkan mataku sejenak. Berpikir, mengingat apa yang barusan terjadi. Cukup lama otakku mencerna. Sialan! Aku sedang berada di kamarku. Lalu, Paris? Rasya? Dan Menara Eiffel? Kemana mereka semua? Kemana?! Cuma mimpikah? Aaaaaaaaaahhhh!!!!
Aku melirik alarmku yang masih berdering berisik! Aku mengutuk alarm itu. Karena dia, aku kehilangan mimpi indahku bersama Rasya di bawah Menara Eiffel. Huh..
Dering sms dari handphone-ku tiba-tiba membuatku semakin kesal saja.
From: Reva
Happy Birthday, honey! Wish you all the best and God bless you!! Maaf merusak moment ulang tahun lo, tapi gue harus ngasih kabar ini ke lo. Gue baru tau kalau Rasya udah punya pacar. Hari ini mereka sah menjalin hubungan. Sabar ya, Kay. Mungkin dia bukan yang terbaik buat lo.
Apa? Kado terindah macam apa ini?! Lengkap sudah kado ulang tahun di dunia nyataku. Kenapa tidak seindah di mimpiku?! Ah! Tiba-tiba dunia terasa gelap gulita.
*****
Cerita ini hanya karangan semata. Mohon maaf jika ada kesamaan apapun dalam cerita, ini hanya unsur ketidaksengajaan. Terima kasih sudah membaca:)
-Mia
Terdengar suara deringan yang memecah keheningan diantara kami. Apa? Deringan? Aku berusaha mengingat deringan apa itu. Handphone-ku? Ah, bukan seperti itu nada deringnya. Aku masih mengingat deringan macam apa itu. Hei, itu.. alarmku! Tapi alarm apa?
Aku mengerjapkan mataku sejenak. Berpikir, mengingat apa yang barusan terjadi. Cukup lama otakku mencerna. Sialan! Aku sedang berada di kamarku. Lalu, Paris? Rasya? Dan Menara Eiffel? Kemana mereka semua? Kemana?! Cuma mimpikah? Aaaaaaaaaahhhh!!!!
Aku melirik alarmku yang masih berdering berisik! Aku mengutuk alarm itu. Karena dia, aku kehilangan mimpi indahku bersama Rasya di bawah Menara Eiffel. Huh..
Dering sms dari handphone-ku tiba-tiba membuatku semakin kesal saja.
From: Reva
Happy Birthday, honey! Wish you all the best and God bless you!! Maaf merusak moment ulang tahun lo, tapi gue harus ngasih kabar ini ke lo. Gue baru tau kalau Rasya udah punya pacar. Hari ini mereka sah menjalin hubungan. Sabar ya, Kay. Mungkin dia bukan yang terbaik buat lo.
Apa? Kado terindah macam apa ini?! Lengkap sudah kado ulang tahun di dunia nyataku. Kenapa tidak seindah di mimpiku?! Ah! Tiba-tiba dunia terasa gelap gulita.
*****
Cerita ini hanya karangan semata. Mohon maaf jika ada kesamaan apapun dalam cerita, ini hanya unsur ketidaksengajaan. Terima kasih sudah membaca:)
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar