There’s
Something in The Way You Look at Me
Cuaca
mendung siang ini sangat pandai menipuku. Awan hitam yang bergelantungan di
angkasa Batam mampu menutupi sinar matahari yang sarat akan siang hari. Aku
menoleh ke sekelilingku, sepi. Di kelas kuliah pagi ini hanya ada aku, bahkan
bayanganku yang biasa menemaniku-pun menghilang entah kemana bersama matahari.
“Deraaa!!! Jangan lupa makan siang, lah..” aku menarik tubuhku ke belakang lalu
mengelus dadaku sejenak saat terkejut melihat sesosok wajah ceria yang
tiba-tiba muncul di balik buku setebal tembok yang habis kubaca.
“Aldooo!!! Apa gak ada pekerjaan lain untukmu selain membuat aku terkejut, hah?” aku berteriak kesal, sambil mengerucutkan mulutku pada orang yang kupanggil Aldo
itu. Tapi wajahnya itu tak berubah sedikitpun, masih tertawa lebar seolah puas
telah membuatku terkejut.
“Kamu terlalu serius, sih..” dia mulai menahan tawanya perlahan. “Makan siang
dulu, nih. Pasti belum makan siang, kan?” sekotak nasi goreng disodorkannya
kepadaku. Dia memang paling tau makanan kesukaanku.
Aku menggeleng pelan, “Pasti kamu dapat bocoran dari cacing-cacing di perutku
ya? Hmm, makasih Aldo!” aku menerimanya
dan langsung memakannya karena perutku sudah tak sabar.
“Itu masakanku lho! Enak kan? Enaklah pasti.” ujarnya sambil menatapku yang
makan dengan lahap. Dengan percaya diri dia menunggu jawabanku.
“Enak banget baunya..”
“Rasanya?” dia masih berharap aku memujinya.
“Dibilang enak? Enggak , tuh. Terus gimana
ya?” aku meliriknya dengan tatapan jahil. Sambil menahan tawa, aku mengamati wajahnya yang terlihat ditekuk karena kecewa itu.
“Hahaha!! Aldo.. Aldo.. mukamu lucu banget kalo lagi murung,” akhirnya tawaku
meledak tak tertahankan lagi. “Masakanmu enak kok, tadi aku cuma bercanda.”
“Serius? Yes! Akhirnya masakanku ada yang memuji juga.” Wajahnya berubah menjadi ceria. Saat matanya berbinar
bahagia tatapannya menjadi aneh. Sudah sering Aldo menatapku seperti ini. Apa
artinya ini? Apa tatapannya itu menggambarkan perasaannya?
“Udah, ah, kita pulang, yuk?” ajaknya kemudian saat aku selesai mengenyangkan perutku.
Aku mengiyakan ajakannya. Jarang-jarang Aldo mengajakku pulang bersama seperti ini.
“Aku gak bawa motor. Kita naik bis aja, ya?” tawarnya ketika kami telah berada di luar gedung kampus.
“Gak masalah,” jawabku santai lalu kami berjalan menuju halte terdekat dari
kampus.
Keheningan menghampiri kami, cukup lama kami berada di halte itu seperti orang
asing satu sama lain. Sampai awan hitam yang menggantung di langit tak mampu
lagi menahan tetes-tetes air hujan, yang akhirnya turun juga
menjadi rintik-rintik hujan.
Aku dan Aldo masih dalam diam kami masing-masing. Aku bingung apa yang harus
dibicarakan, mungkin Aldo juga berpikiran sama. Ditambah, bis kota yang kami tunggu tak kunjung
datang, mungkin karena hujan. Hujan yang deras membuat jalanan sepi oleh
pejalan kaki. Tapi ada seorang perempuan yang berjalan di trotoar seberang
jalan. Dia tampak sedang berteduh di
bawah pohon rindang yang kebetulan ada di pinggir jalan itu. Dia cukup menarik
perhatianku, juga Aldo mungkin.
“Adira?” suara Aldo memecah keheningan yang sedari tadi membelenggu kami. Dia
terus menatap perempuan itu.
“Adira? Kamu kenal dia?” tanyaku penasaran. Aldo tak sedikitpun memalingkan
wajahnya yang tengah memandang ke arah
perempuan itu.
Kemudian dia menengok sekilas, “Dera, maaf. Kali ini aku gak bisa
pulang bareng kamu. Gak apa-apa, kan?” mata Aldo menatapku, suaranya terdengar lirih, berharap aku memakluminya. Aku
tau jawaban yang dia mau.
“Gak masalah, kok,” aku mencoba
tersenyum memahaminya.
“Makasih, Dera.” tanpa berkata lagi, Aldo langsung menyeberang jalan menerobos
hujan yang cukup lebat itu dengan satu tujuan, menghampiri Adira.
Lalu, aku hanya mengamatinya dari halte, dia tampak
senang bisa sedekat itu dengan Adira. Tiba-tiba sebuah rasa aneh yang aku tak
tau namanya membuat hatiku bersedih. Ini aneh, seharusnya aku senang melihat Aldo
tersenyum, tapi ini berbeda.
Rasa ini makin menjadi saat aku melihat Aldo mengeluarkan sebuah payung berwarna biru muda bermotif
garis-garis, juga sekotak nasi goreng yang sama seperti yang diberikan kepadaku, lalu semua itu dia berikan pada Adira. Kemudian Aldo berjalan berpayungan bersama Adira
meninggalkan trotoar itu. ‘Jadi dia lebih memilih pulang bersama Adira
meski hujan dibanding aku? Dia lebih memilih pulang berpayungan bersama Adira dan meninggalkanku sendiri disini? Dan dia juga
memberi nasi goreng yang sama kepada Adira? Berarti dia memasak bukan cuma untukku? Oh, sekarang aku paham. Dia hanya menganggapku sahabat.
Aldo menyukai Adira, bukan aku. Ternyata matanya telah menipuku.
Ternyata matanya bisa berbohong.’
Bertepatan sekali di saat aku mungkin sudah tak kuat lagi melihat itu semua, bus kota yang kutunggu-tunggu dari tadi akhirnya muncul juga dengan penumpang yang sudah berdesakan di dalamnya.
***
Aku termenung sejenak saat melihat dan menyadari aku turun dimana. ‘Bodoh!
Kenapa aku turun di Pelabuhan Batam?’ hujan rintik-rintik terus
berjatuhan di sekitar badanku dan secara perlahan membuat bajuku basah.
Aku masih berdiri di tengah-tengah hujan itu, berpikir kenapa aku bisa turun di
sini. Pelabuhan Batam, ini cukup jauh
dari rumahku.
Tiba-tiba kurasakan hujan berhenti menjatuhi tubuhku. Apa hujan sudah berhenti? Seketika aku sadar, hujan belum
berhenti, tetapi ada seorang laki-laki tegap berdiri di sampingku sambil
memegang sebuah payung yang sekarang menaungiku dan dia dari hujan.
“Hujan gak baik buat kamu,”
Aku mengerutkan alisku, “Kamu menawarkan sewa payung?” dengan santai aku berkata
padanya.
Dia menggeleng cepat, “Bukan! Aku cuma gak mau kamu hujan-hujanan.” Kemudian
dia menarikku ke sebuah kedai teh yang ada di dekat pelabuhan itu.
“Kalau bukan, terus kamu siapa?
Kenapa kamu peduli sama aku? Apa kita pernah kenal?” aku masih mengernyitkan
dahiku, heran dengan orang di depanku saat ini.
“Kita gak pernah kenal. Aku? Gak tau kenapa tiba-tiba aku peduli sama kamu, lalu berbagi payungku denganmu.”
jawabnya lalu menatap ke arah laut yang sedikit diselimuti kabut. “Ohiya, aku Naufal.” dia tersenyum kemudian.
“Aku Dera.”
“Kenapa kamu bisa ke sini? Mau nyebrang?” dia berdiri lalu menghadap ke laut
sambil menyandarkan tangannya di balkon kedai teh.
Aku mengikutinya dan berdiri di
sampingnya, “Aku gak tau kenapa aku bisa sampai ke tempat ini. Saat aku hujan-hujanan
tadi, sebenarnya aku lagi mikir kenapa aku bisa turun di sini.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Mungkin karena aku terlalu memikirkan Aldo dan Adira. Dan mungkin karena aku
terlalu kecewa pada Aldo.” tanpa sadar kalimat itu meluncur dari mulutku dan membuatku menyesal setelahnya.
“Aldo? Siapa dia? Pacarmu?” rasa ingin tau Naufal makin menjadi-jadi karena aku
berbicara asal.
“Bukan, tapi...” belum selesai kalimatku, Naufal menyambar.
“Oh, calon pacarmu? Hahaha,” Entah kenapa aku
bertemu manusia sok tau semacam Naufal ini. Dia juga tertawa seperti puas mengejekku. Padahal yang dikatakannya itu salah. Dasar!
“Bukan! Sudahlah, kita ngomong yang lain aja.” Aku mencoba mengalihkan
perhatian.
“Kalo kamu suka, perjuangkan! Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, kok.” Tiba-tiba dia berubah menjadi bijak.
“Ada, kok, yang gak mungkin.” Aku menyangkal. Dia penasaran dan mengisyaratkan
‘apa’ dari ekspresi wajahnya, “Bersin sambil membuka mata! Iyakan?”
Lelaki berlesung pipi itu tampak mencerna jawabanku, “Iya, sih,”
“Oh iya, bagaimana dengan kamu? Bagaimana kisah
cintamu?” mendadak rasa ingin tahuku membuncah. Dia sudah terlanjur tau tentang Aldo─orang yang tak ada
hubungannya dengan dia sekarang.
Lelaki berwajah oriental itu, tampak kebingungan menjawab pertanyaanku, “Apa?
Kisah cintaku? Hmm, tidak menarik.” jawabnya singkat.
“Ayolah ceritakan kepadaku. Yah, meskipun kita baru bertemu,” aku mencoba
membujuknya.
“Mm, aku.. aku pernah menyukai seseorang karena tertarik dari matanya yang
memancarkan pelangi.” Akhirnya dia mau menceritakan kisahnya kepadaku.
“Pelangi? Pelangi apa?” aku mengerutkan alisku, heran.
“Pelangi yang tercipta dari sinar ketulusan hati dan air mata keikhlasan.
Pelangi itu tak pernah padam dari matanya. Mata itu tak bisa berbohong.” ujarnya dengan binar mata yang masih menatapku.
“Tapi aku pernah tertipu oleh mata. Mata juga bisa berbohong. Mata Aldo
contohnya.” aku menyangkalnya
lagi. Dia tersenyum mendengar jawabanku.
“Mata Aldo berbeda dengan matanya. Lagipula, dimana ada mata yang jujur di situ
juga ada mata yang berbohong.” jawabnya sambil masih tersenyum.
“Siapa gadis bermata pelangi itu?”
Dia tampak terdiam dan menolak menjawab pertanyaan itu. “Tak usah dibahas. Hei,
dimana rumahmu? Apa kamu sadar ini jam berapa?”
“Rumahku cukup jauh dari sini. Baik, sudah hampir gelap, aku harus pulang.”
“Besok kamu bisa ke sini lagi? Kamu harus lihat pemandangan Singapura yang
terlihat jelas dari sini. Hari ini hujan dan berkabut, jadi tidak jelas.” katanya ketika aku bersiap pulang.
“Entah. Belum pasti.”
“Asal kamu tau, Singapura itu salah satu kota impianku yang ada di depan mata,
tapi cukup jauh untuk meraihnya.” ungkapan terakhir yang dituturkannya sebelum aku pulang. Mengenalnya hari ini sungguh tidak rugi. Dibalik kesedihanku
rupanya ada hikmah aku turun di pelabuhan ini dan bertemu Naufal, lelaki yang tak kukenal dan tiba-tiba memayungiku dan peduli padaku
lebih dari orang yang mengenalku─Aldo. Dan yang tak kalah penting,
wajahnya cukup manis.
***
Tiga hari setelah percakapan terakhir hari itu, aku memutuskan untuk kembali
mengunjungi Pelabuhan Batam karena penasaran dengan pemandangan Singapura yang
Naufal bilang. Aku sangat
sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk sehingga baru sempat mengunjungi
Pelabuhan Batam dan bertemu dengan Naufal. Mungkin, aku membuat lelaki
berhidung mancung itu sedikit kecewa.
Awan mendung menghiasi angkasa. Aku duduk di kedai teh yang dulu tempatku berteduh
bersama Naufal. Aku menoleh ke sekelilingku, mataku bergerak mencari sesosok
lelaki tampan yang kemarin berdiri tegap memayungiku agar aku tidak basah. Tapi
aku tak menemuinya. Mungkin belum.
Sebelum hujan mengguyur laut, aku terpaku sejenak melihat pemandangan luar
biasa negara Singapura yang makmur. Kini aku mengerti kenapa Naufal menyuruhku
melihat pemandangan ini.
Sambil menyeruput secangkir teh hangatku, aku melirik ke arah jam tangan yang
melingkar di tangan kiriku. Sudah satu jam aku di sini, tapi Naufal tak kunjung
datang. Dimana dia?
Aku beranjak melangkahkan kakiku meninggalkan kedai teh dan menerobos hujan
tanpa payung atau pelindung apapun. Naufal tak datang. Mungkin dia telah melupakan aku. Ya
aku? Orang asing.
Aku terkejut saat merasakan seseorang menyentuh pundakku, sebelum kakiku
benar-benar mengajakku bermain hujan yang dingin. Aku menoleh, berharap sekali
itu Naufal. Dia menyodorkan sebuah payung padaku. Aku tersenyum menerimanya.
“Bukannya udah dibilang kalo hujan gak baik buat kamu?” katanya kemudian. Tapi
detik selanjutnya aku mengerutkan dahiku, mencerna apa yang salah dari
perkataan orang itu. Aku mendongak menatap orang itu. Suaranya sangat berbeda
dengan Naufal yang aku kenal. Dia bukan Naufal. Dia orang asing yang tak
kukenal.
“Siapa kamu?”
Dia menarik kedua
sudut bibirnya, “Aku sahabatnya Naufal. Dia, cuma nitip payung itu dan nyuruh
aku buat ngomong seperti yang kamu dengar tadi. Kamu pasti mengira aku Naufal,
ya? Suara aku beda banget sama Naufal, makanya kamu heran, kan?” orang yang
lebih tinggi dariku itu tertawa lebar seolah puas telah menjawab semua
pertanyaan yang berkecamuk di otakku.
“Oh, gitu. Memang
Naufal-nya kemana? Apa dia marah sama aku karena aku baru bisa datang
sekarang?” mataku beralih menatap jutaan tetes hujan yang jatuh secara
bersamaan sambil menunggu jawaban lelaki itu.
“Hah, memang kamu
buat salah apa sama Naufal? Dia gak mungkin bisa marah sama kamu. Malah dia─”
lelaki itu menggantung jawabannya yang membuat aku semakin penasaran.
“Malah apa?
Sebenarnya Naufal kemana?” aku mencoba mendesak lelaki itu yang tampak berpikir
keras sejenak.
“Nanti pasti kamu
akan tau jawabannya, kok. Aku gak ada kewenangan buat ngomong macem-macem lagi
sama kamu.” Dia mengalihkan pandangannya ke jam yang tertempel lekat di dinding
kedai teh itu, “Udah sore, lebih baik kamu pulang. Tapi jangan menerobos hujan,
ya. Aku pergi dulu,” dia mengakhiri kalimatnya lalu pergi begitu saja. Aku baru
tersadar bahwa aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepadanya tapi
punggungnya sudah menghilang dari penglihatanku.
Aku membuka payung
itu lebar-lebar. Sebuah gulungan kertas kecil berpita biru tiba-tiba
terjatuh di kakiku ketika payung itu telah terbuka. Mungkin gulungan itu tadi
terselip di payung yang terlipat tadi.
Aku berjongkok
mengambil gulungan kertas itu, melepas pita biru yang melilitnya. Aku menemukan
sederet tulisan panjang yang ada dibalik gulungan itu. Sudah kuduga itu sebuah
surat yang juga sudah kuketahui pengirimnya siapa.
‘To: Dera
Tolong jangan baca surat ini sambil hujan-hujanan yaa, hujan gak baik buat kamu. ─kata pertama di surat itu yang membuat aku tersadar kalau aku sudah tidak berada dalam naungan atap kedai teh lagi.─ Dera, maaf, disaat kamu menikmati pemandangan Singapura yang luar biasa aku tidak berada disampingmu untuk menjadi guide-mu, hehe. Ohiya, aku ingin membuat suatu pengakuan, seperti yang pernah aku ceritakan, aku pernah menyukai seseorang karena tertarik oleh mata pelanginya. Asal kamu tau, orang itu adalah kamu. Kenapa bisa begitu, ya? Hmm, sebenarnya, aku berat mengakuinya, tapi kamu harus tau kalo aku pengagum rahasiamu di SMA dulu. Mungkin kamu lupa sama aku, tapi aku gak pernah lupa sama kamu.
Tolong jangan baca surat ini sambil hujan-hujanan yaa, hujan gak baik buat kamu. ─kata pertama di surat itu yang membuat aku tersadar kalau aku sudah tidak berada dalam naungan atap kedai teh lagi.─ Dera, maaf, disaat kamu menikmati pemandangan Singapura yang luar biasa aku tidak berada disampingmu untuk menjadi guide-mu, hehe. Ohiya, aku ingin membuat suatu pengakuan, seperti yang pernah aku ceritakan, aku pernah menyukai seseorang karena tertarik oleh mata pelanginya. Asal kamu tau, orang itu adalah kamu. Kenapa bisa begitu, ya? Hmm, sebenarnya, aku berat mengakuinya, tapi kamu harus tau kalo aku pengagum rahasiamu di SMA dulu. Mungkin kamu lupa sama aku, tapi aku gak pernah lupa sama kamu.
Itu juga salah satu
sebab kenapa waktu itu tiba-tiba aku memayungi kamu, karena aku seneng bisa
ketemu lagi. Mungkin aku menjadi pengecut karena diam-diam mengagumi kamu tanpa
berani mengatakannya. Tapi rasanya, aku selalu gak punya kesempatan dari kamu untuk
mengatakan itu semua. Dan Aldo yang waktu itu kamu bicarakan mungkin dia lebih
segala-galanya dibanding aku. Aku gak bermaksud apa-apa, kok, cuma mau mengakui
itu semua sama kamu.
Setelah aku nulis
semua kata-kata di atas tadi, kamu tau? Rasanya aku baru melepas semua beban
terpendam dari bahuku. Rasanya lega banget. Ohiya, sekarang aku lagi berdiri di
kota impianku yang ada di depan mata. Kamu tau kan kota apa? ─aku menoleh ke laut tempat Singapura berada. Cukup terlihat
meski berkabut─ Ternyata untuk menggapainya gak cukup jauh, kok. Semuanya
akan dekat pada waktunya. Cuma butuh kepercayaan lebih, aja.
Dera, mungkin aku
akan kembali kalau kamu menungguku. Tapi kalo enggak, ya gak masalah. Mungkin
aku akan selamanya di Singapura, karena aku mendapat beasiswa disana. Tapi jika
kamu menungguku, tunggu aku di kedai teh Pelabuhan Batam yang sewaktu itu,
ya. Kamu harus tau kalau aku kangen ingin bertemu dan melihat matamu.
Cause there’s something in the way you look at me..
Salam,
Naufal.
Aku baru tersadar kalau
tinta pulpen di surat itu mulai luntur karena ada beberapa tetesan yang
menjatuhinya. Apa itu tetesan hujan? Bukan, itu tetesan hangat dari pelupuk
mataku. Aku terheran sendiri, kenapa aku bisa menangis. Harusnya aku bahagia
karena ada lelaki tulus yang ternyata sudah mengenalku dengan baik sedari dulu,
meski aku tak pernah tau.
“Aku akan menunggumu,
Naufal.” Tekadku dalam hati. Semenjak pertemuan hari itu, aku sadar kalau aku
nyaman berada didekatnya. Cause there’s something in the way you look
at me too.
***
Hari ketiga setelah
membaca surat itu, aku masih menunggu Naufal datang ke kedai teh ini. Kira-kira
kapan dia datang, mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. Aku tertarik fokus
menatap ke arah Singapura yang cukup terlihat meski rintik hujan berkunjung.
Tak biasanya.
Tiba-tiba sekilas
bayangan melintas di otakku. Bayangan saat aku memakai seragam putih abu-abu.
Hampir setiap pagi aku menemukan secarik kertas berisi sebait puisi yang
ditulis dengan tinta biru. Tapi aku hanya membacanya sekilas, tanpa peduli
siapa yang mengirimnya. Mungkin selama ini, Naufal bukan menjadi pengecut
belaka. Tapi dia tak pernah punya tanggapan baik dan kesempatan dariku. Dia
memang pandai membuatku nyaman. Terbukti saat kita pertama bertemu, seperti
kawan lama yang sedang mengadakan reuni.
Seketika telingaku
menangkap suara seseorang yang tengah menyanyikan lagu ‘Christian Bautista –The
Way You Look at Me’ ─lagu kesayanganku sedari berseragam putih abu-abu.
“Cause there’s
something in the way you look at me. It as if my heart knows you’re the missing
piece. You make me believe that there’s nothing in this world I can’t be. I’d
never know what you see, but there’s something in the way you look at me.”
Suara penyanyi itu semakin dekat, kurasa, saat secara spontan aku ikut
bernyanyi bersama. Rupanya penyanyi itu menghampiriku, secara dramatis semua
mata pengunjung kedai teh ini tertuju kepadaku. Mataku membulat saat menyadari
siapa yang menjadi penyanyi itu. Dia Naufal. Aku tak menyangka suaranya semerdu
itu.
Suara riuh tepuk
tangan para pengunjung kedai membuyarkan semua lamunanku. Termasuk kekagumanku
pada suara Naufal dan lagu kesayanganku yang dinyanyikannya.
“Hai, Dera…” sapanya
saat duduk di meja yang sama denganku, kami saling berhadapan. Dia menggaruk
kepalanya yang mungkin tidak gatal.
Aku menarik sudut
bibirku, “Hai, Naufal… aku ingin bertanya mengenai suratmu waktu itu─”
perkataanku terhenti, atau tepatnya dihentikan oleh Naufal yang meletakkan
telunjuknya di depan mulutku sambil mendesis pelan.
“Sssssssttttttt!!!!
Itu rahasia. Sekarang aku dulu yang harus bertanya.” sergahnya halus.
“Apa?”
“Kamu menungguku? Apa
artinya itu? Apa kamu benar-benar ingin aku kembali kesini? Apa kamu bisa
kehilangan aku? Atau.. Apa kamu mempunyai perasaan lebih? Perasaaan apa?”
Naufal menyerangku dengan sederet pertanyaan yang kurang banyak sampai
membuatku bingung menjawab darimana.
“Hahahahaha..” aku
menutupi kebingunganku.
“Kok malah ketawa,
sih? Ada yang aneh sama aku? Apa ada yang salah mungkin?” Naufal tampak bingung
melihatku tertawa, padahal dia tau, itu saatnya aku harus menjawab sederet
pertanyaannya. Bukan tertawa tanpa sebab jelas.
“Udah selesai
bertanyanya? Apa masih ada yang ketinggalan, Pak Masinis?” kataku sambil masih
tertawa tak jelas tujuannya. Naufal masih menopang dagunya dan mengerutkan
alisnya, mungkin dia pikir aku gadis aneh. Tapi biarlah.
“Kok Pak Masinis?
Kenapa bisa nyambung ke Pak Masinis, sih?” Naufal masih tak mengerti dengan
jalan pikiranku. Terlihat dari dua alis tebalnya yang masih beradu.
“Pertanyaanmu itu
kurang panjang, sampai-sampai kereta saja kalah. Hahaha, dasar Pak
Masinis,” ujarku yang langsung merubah mimik muka Naufal sekaligus mengendurkan
alisnya yang tegang sedari tadi. Dia seakan baru tau kalau aku bukan aneh, tapi
sedang bercanda. Hmm.
“Sekarang
serius-lah..” dia tersenyum memaksa memamerkan dua lesung pipinya.
“Eh iya, oke..”
Naufal diam sejenak,
“Dera, terima kasih kamu udah mau menunggu aku. Apa itu artinya kamu mau aku
kembali kesini? Buat apa kamu menungguku?” dia tampak mencari pandanganku,
mungkin itu salah satu cara agar dia tau aku jujur atau bohong.
Hembusan angin laut
terdengar hadir diantara kami yang saling diam seketika. Aku yang sedang
berpikir jawaban yang tepat untuk pertanyaannya, Naufal yang sedang barharap
aku menjawab seperti yang dia harapkan.
“Iya, aku ingin kamu
kembali, Naufal. Buat apa? Entah kenapa aku ingin menunggumu,” aku menjawab
dengan kepolosan yang menjadi ciri khasku.
Naufal mengeluarkan
secarik kertas dari saku celananya, “Ini ada beasiswa ke Singapura. Karena aku
dapet nilai terbaik, jadi aku dapet bonus satu. Kamu mau ikut aku kuliah
disana? Ya, supaya kita bisa lebih dekat menjadi teman atau.. lebih dari
sekedar teman mungkin?” Naufal menaikkan satu alisnya sambil tersenyum aneh.
“Hah? Maksudmu?”
berbeda dengannya, aku justru mengerutkan alisku, heran.
“Emm..” Naufal
memegang leher bagian belakangnya, “Dera mau gak jadi pacar aku?” sambungnya
kemudian yang membuat aku membulatkan mataku.
“Enggak, ah..”
jawabku singkat.
Mimik wajah Naufal
menunjukkan dengan jelas kekecewaannya, “Yah, enggak kenapa?”
“Enggak nolak lagi,
haha,” aku tertawa lebar sambil menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
“Huh! Kamu hampir
bikin aku gila, tau?” katanya lalu ikut tertawa lebar.
“Aku cuma bercanda,
hehe. Maaf.”
Dia berdiri lalu
mengahadap ke laut dan menyandarkan tangannya di balkon kedai teh itu, “Jadi
kamu mau ikut aku ke Singapura?”
Aku menyembul dari
sebelah kirinya, “Mau, dong.”
Naufal membentuk
lengkungan di bibirnya, “Oke, besok kita siap-siap berangkat ke Singapura, ya,
pacarku?”
“Hah?”
“Kamu kan udah jadi
pacarku.” Katanya protes.
Aku menggaruk
kepalaku, “Oh iya, mulai sekarang inget terus, deh.. Pacarku,”
Naufal menatapku
dengan senyumnya yang manis itu, ternyata tidak semua mata yang tulus itu
cinta, tapi semua cinta yang tulus itu pasti memancarkan sinar dari mata yang
tulus pula. Kami menghadap ke laut, Naufal merangkul bahuku. Kami bahagia bisa
menikmati senja dan sunset di Pelabuhan Batam ini. Di balik kesedihanku karena
Aldo, ternyata aku bisa bertemu orang yang lebih baik buatku. Dan Aldo memang
selamanya tetap menjadi temanku, begitu pula Adira. Aku merasa beruntung bisa
tertawa bersama orang yang memang menerimaku apa
adanya, juga bahagia memiliki aku. Karenamu, aku bertemu lagi dengannya, terima
kasih Pelabuhan Batam.
*****
Cerita ini hanya karangan semata. Mohon maaf jika ada kesamaan apapun dalam cerita, ini hanya unsur ketidaksengajaan. Terima kasih sudah membaca:)
-Mia
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar