Oke, kali ini aku cuma nurut sama pikiran dan jari-jariku doang. Dijamin isinya mungkin nggak jelas. Jangan dibaca lebih lanjut...
Tapi kalo mau baca terserah yaa, aku udah ngasi peringatan lho yaa:D
Setelah sekian lama,
akhirnya malam ini ada suatu keperluan yang mengharuskanku pergi keluar rumah.
Kau tau? Biasanya aku tidak peduli pada apa yang ada di langit. Tapi malam ini
mereka memaksaku mendongak sejenak. Menyapa mereka yang entah kapan terakhir
aku pandang. Mereka seperti memanggilku dari atas sana.
Seketika darahku terasa
berdesir ketika mataku menatap jubah hitam malam yang dihiasi bintang-bintang
yang bertaburan bak berlian itu. Aku rindu pada bintangku. Jantungku berpacu
lebih cepat ketika bayangan benda kekuningan nan anggun itu tertangkap oleh
kedua manikku. Aku rindu pada bulanku. Angin yang bertiup sepoi-sepoi makin
membuatku merasakan hal yang aneh. Seketika aku sadar, sudah lama aku tidak
mencurahkan perasaanku pada mereka. Seakan mereka protes, aku masih terpaku
pada kedamaian mereka yang selalu bertengger di langit gelap. Aku tau, mereka
selalu dan masih setia ada disana.
Jantungku masih berdegup
tak biasa, tapi anehnya sekarang aku merasakan kedamaian ketika menatap mereka;
bintang dan bulan itu berdampingan. Aku tau, mereka selalu disana. Hanya aku
yang pura-pura tidak peduli, mungkin.
Mereka masih sama,
bersinar terang diantara langit gelap.
Mereka masih sama, memberikan kedamaian dengan cahayanya masing-masing.
Mereka masih sama, mau mendengarkan segala curahanku.
Mereka masih sama, memberikan solusi −dengan kebisuan mereka membuktikan.
Mereka masih sama, memberikan kedamaian dengan cahayanya masing-masing.
Mereka masih sama, mau mendengarkan segala curahanku.
Mereka masih sama, memberikan solusi −dengan kebisuan mereka membuktikan.
Dulu, aku selalu punya
waktu menatap mereka setiap hari walau hanya 5 detik. Terkadang, memang mereka
tidak menemuiku karena mengalah kepada sang mega. Tapi mereka selalu
merindukanku. Aku pun begitu. Aku masih menggenggam asa untuk menghampiri
bintangku.
Dulu, aku selalu punya
waktu untuk sekedar menyapa mereka. Kemudian dengan bangga aku juga pernah
menuliskan sebuah nama di jubah hitam angkasa yang berhias bintang dan bulan
itu. Ah, dulu aku terlalu berharap. Kau tau? Nama itu masih ada di setiap aku
menatap bintang yang paling dekat dengan bulan. Nama itu masih bertengger rapi
disana. Aku ingin menghapusnya. Aku ingin sekali mengubur dalam-dalam semua
itu. Aku ingin sekali menganggapnya tidak pernah ada di hidupku. Hanya saja, aku
tidak mengerti bagaimana caranya.
Aku masih mencari
bagaimana cara menghapus nama itu. Bintang pun kemudian berkedip memberikan
sebuah isyarat padaku, “Kau tidak harus menghapusnya...” Aku beralih menatap
bulan. Ah, rupanya bulan telah melihat kebimbangan dari mataku. Dia pun seolah
tersenyum kepadaku dan berbisik lembut, “Kau hanya perlu menggantinya.”
Lanjutnya yang membuatku tambah tidak mengerti. Menggantinya? Bagiku, ini lebih
sulit dari sekedar menganggapnya tidak ada.
Sekarang, aku tidak bisa
percaya diri seperti dulu lagi. Aku terlalu takut hancur, walaupun aku juga
belum benar-benar mengalaminya. Aku hanya tergores dan itu sungguh diluar
bayanganku! Bagaimana jika aku hancur? Ketika tanganku ingin bergerak
menuliskan nama pengganti, seketika semuanya menjadi kaku. Aku tidak seyakin
dulu. Aku sangat ragu. Bagaimana jika goresan yang akan dihasilkan lebih parah,
lebih dalam, lebih besar?
Angin malam terasa
lembut membelaiku, secara halus dia berbisik, “Kau tau? Terkadang masa lalu
yang ingin sekali kau anggap tak pernah ada telah menyumbangkan warna dalam
pelangi hidupmu.. Segalanya menjadi lebih indah karena kehadirannya, meski itu
menyakitkan bagimu…” Aku membisu. Angin sudah biasa membuat hatiku bergetar
dengan bisikannya. Mungkin apa yang dikatakannya benar, mungkin.. Jika nanti
aku telah benar-benar menyadarinya.
Kini, aku masih dalam
kebimbangan. Tapi bukan karena nama itu lagi. Bintang dan bulan telah
menyamarkannya diantara kegelapan angkasa tanpa matahari. Nama itu tidak
terlihat lagi untuk sementara ini. Biarlah, tidak harus aku yang menghapusnya.
Mungkin waktu akan menguburnya semakin dalam untuk kemudian akan membuatnya
menghilang dengan sendirinya. Nama itu sudah cukup sampai disini. Namun, masih
ada hal yang membuatku dilema. Kenapa hatiku harus serapuh ini?
Untuk hal ini bintang
dan bulan pun belum mengetahuinya. Aku berniat untuk kembali menuliskan sebuah
nama di luasnya jubah langit. Ini hal gila. Bintang dan bulan pasti
terheran-heran. Ini gila karena aku belum siap untuk segala konsekuensinya. Apa
aku siap hancur? Tidak aku belum siap. Itu jawabanku tapi disisi lain lagi
otakku menjalankan sebuah logika sederhana, mungkin saja aku bisa bahagia
karena ini. Ah! Aku benar-benar tidak pernah mengerti dengan semua ini.
Pada akhirnya aku hanya
bisa tersenyum menatap mereka yang berkedip-kedip dan tersenyum anggun. Masih
melalui keheningan, mereka berpesan… “Ikutilah jalan yang ditunjuk hatimu..”
ucap mereka pelan. Hatiku kembali bimbang. Seketika ada keraguaan merasuk dan
aku rasa hanya perlu waktu untuk percaya lagi. Nanti, ketika hatiku mulai
berbelok aku akan menceritakannya pada mereka. Aku akan selalu meridukanmu
bintang dan bulanku…
*-*-*
Huhu, udah dibilang kan gajelas banget ini tulisan-_-
Nggak tau kenapa lagi ada konflik di pikiran sama hati saya *halah*
jadi yaa akhirnya larinya kesini deh._.v
Maaf dan terima kasih..
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar