“Aku ingin kau tetap
menantiku sampai takdir akan mempertemukan kita kembali. Karena aku akan
kembali untukmu, Nes. Hanya untukmu…”
*-*-*
Matahari bertengger di atas sana
dengan gagahnya. Menyorotkan sinar paling terang yang pernah aku tau. Tapi aku
tidak peduli betapa panasnya cuaca siang ini. Sebuah pohon yang berdiri tegak
dan berdaun rindang telah menaungiku dari panas sang surya.
Aku
mengedarkan pandanganku ke depan. Menerawang jauh angkasa biru yang luas itu.
Aku terduduk di atas bukit mungil yang terbungkus karpet hijau ini sambil
memeluk lututku. Angin yang berhembus kubiarkan memainkan rambutku yang sengaja
terurai. Rumput-rumput liar yang mulai meninggi ikut bergoyang menurut angin.
Aku suka suasana ini…
Mataku
terpejam sejenak. Menikmati kesunyian yang ada. Aku ingin merasa damai seperti
ini selamanya, tapi tidak sendiri. Kicauan merdu burung liar yang bersarang di
atas pohon sana menarik perhatianku. Aku mendongak dan mendapati burung betina
itu dengan sangkarnya ada di pucuk pohon. Memanggil sang jantan yang sedang
berkeliling mencari makanan.
Tampaknya
burung betina itu kesepian. Seperti aku, disini; sekarang. Aku sendiri tidak
mengerti kenapa aku merasa kesepian selama ini. Entah kenapa, aku hanya ingin
Virza –sahabat
lamaku dan juga ehm.. cinta pertamaku yang menemaniku hari-hariku lagi agar
lebih berwarna. Aku hanya ingin dia kembali. Aku berharap waktu segera
mengembalikannya padaku, secepatnya.
“Nes? Kau
sendirian?”
Suara berat
khas seorang laki-laki menyeruak. Mataku tertarik untuk melirik orang
disampingku ini walaupun aku sudah bisa memastikan siapa orang ini. Laki-laki
bertubuh tegap itu duduk di sampingku tanpa permisi. Wajah menawannya menatap
kearahku, menantikan sebuah jawaban yang harusnya sudah meluncur dari bibirku.
Aku cukup
malas menjawab pertanyaan bodoh itu. Ya, aku juga yakin pasti dia sudah
mengetahui jawabanku. Lagipula apa ada orang lain selain aku disini sebelum dia
datang, sudah jelas pertanyaan itu seperti sebuah sindiran bagiku.
“Untuk apa kau
kesini? Aku tidak ingin diganggu sekarang.”
Laki-laki itu
menyeringai, “Aku tidak bermaksud menggangumu, Nes. Aku hanya ingin memastikan
apakah pangeranmu yang pergi entah kemana itu sudah kembali..” katanya yang
lebih terdengar seperti ejekan untukku.
Tatapan tajam
kulemparkan kearahnya, “Kau tidak tau apa-apa, Vin! Jangan pernah berkata
apa-apa lagi tentang Virza.” Kataku dengan sedikit penekanan untuk
memperingatkan dia. Dia hanya tersenyum sambil masih membalas tatapanku.
“Apa
hatimu sudah berpaling dari Virza?”
Mataku
membulat seketika. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu aku seperti tersadar
dari sesuatu. Keraguan menyergap di hatiku. Pertanyaan Vino membuatku berpikir
untuk memastikan lagi; benarkah hatiku masih untuk Virza setelah sekian lama?
Aku
memilih terdiam sejenak. Mengumpulkan kembali keyakinan yang selama ini
mengakar di hatiku –Virza pasti pulang. Dia akan kembali.
Vino
menaikkan sebelah alisnya sambil melirikku dengan tatapan aneh, dia tersenyum
meremehkanku. Sepertinya, dia tau ada keraguan menyelimuti hatiku yang mungkin
terlihat dari mataku sekarang. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapannya.
“Apa
hal itu penting bagimu, hah? Sungguh itu bukan urusanmu.” Jawabku ketus.
Laki-laki
itu menatapku lekat dengan iris hitamnya. Mencari kelemahan lain yang sekiranya
ada di dalam diriku sekarang. Aku tetap menunggu Virza. Selamanya hanya Virza
dan tidak ada yang bisa menggantikan termasuk Vino.
Vino
Bramastya. Anak dari pengusaha kaya dan terkenal ini cukup terobsesi kepadaku.
Aku tidak pernah mengerti, kenapa dia lebih memilih aku daripada puluhan gadis
cantik yang tergila-gila kepadanya. Tapi ada hal yang paling aku benci darinya;
dia terlalu memaksaku. Memaksa aku mencintainya dan melupakan Virza begitu
saja. Tentu saja, itu hal paling gila yang pernah aku dengar. Ambisinya semakin
besar setelah orang tuaku dan orang tuanya juga telah sepakat menjodohkan aku
dengannya setelah Virza tidak kunjung kembali. Ini semua tidak pernah masuk
akal bagiku.
“Kau
lupa? Kita telah−“
Aku
menyambar ucapannya, “Apa?! Dijodohkan? Kau-pikir-aku-pernah-menyetujuinya?”
Aku memberi penekanan pada kalimat terakhirku. Mataku menatapnya sinis. Aku
hanya tidak habis pikir kenapa dia terlalu ingin ikut campur dengan segala
urusanku. Sungguh aku tidak menyukai caranya yang terlalu protektif itu.
Manik
hitam legamnya sedikit membulat, “Apa kau tidak pernah mengerti? Aku hanya
mencintaimu, Nessa.” Katanya pelan namun sukses meredakan emosiku yang cukup
meledak menanggapinya. Mimik wajahnya yang sedari tadi serasa meremehkanku,
berubah. Tatapannya berubah menjadi sayu.
“Kau
juga apa tidak pernah mengerti? Aku hanya mencintai Virza..” Kataku sambil
beranjak pergi, berlari menuruni bukit mungil ini untuk menghindari perdebatan
lebih lanjut.
“Nessa!”
-*-*-
Siang itu. Cuaca sangat cerah.
Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun. Tapi, angin sepoi-sepoi masih terasa
bertiup pelan dari atas bukit ini. Rumput liar yang membungkusnya pun ikut
bergoyang mengikuti arah angin. Di bawah pohon yang cukup rindang ini aku
menyandarkan punggungku pada batangnya yang kokoh. Membiarkan segala lelah yang
menghampiri itu hilang. Menanti, sampai seragam putih-biru yang aku kenakan
kering kembali dengan sendirinya setelah keringat derasku membuatnya basah.
“Apa
kau pernah merasa bosan ke bukit ini?” Suara Virza seketika memecah keheningan
yang ada. Dia menyandarkan tubuh kekarnya itu di batang pohon yang sama –tepat
di sampingku. Dia sama sepertiku, kami kelelahan setelah berlomba lari untuk
mencapai bukit mungil ini.
“Bosan?
Iya, jika aku hanya sendiri disini. Tidak denganmu.” Aku mengusap dahiku yang
seperti meleleh karena berkeringat. Dia tersenyum mendengar jawabanku.
Keheningan
pun menyergap. Aku melempar pandanganku ke bawah bukit yang hijau menyejukkan
mata. Aku melirik Virza sekilas di sebelahku, seketika aku menyadari ada yang
aneh. Aku tidak menemukan ketenangan disana. Tidak seperti biasanya, Virza
terlihat gelisah.
“Sudahlah,
Za. Jangan sedih karena tadi kau kalah dariku. Kemarin kau sudah merasakan
kemenangan, ‘kan?” Aku menepuk pundaknya pelan. Dia menoleh lalu tersenyum
lagi. Aku tidak mengerti kenapa hari ini mendadak dia menjadi sosok yang
berbeda –lebih
diam dari biasanya.
“Bukan
itu yang sedang aku pikirkan, Nes..”
“Lalu?”
Virza
membuang pandangannya ke arah lain. Dari manik coklatnya, terlihat ada beban di
dalam dirinya. Dia masih diam. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
Aku merasa, ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dan pasti sangat penting.
“Mm,
Nes…” Ujarnya membuatku semakin tidak sabar ingin segera mendengar hal apa yang
akan dia ungkapkan.
“Ya?”
“Bagaimana
jika…” Katanya menggantung seperti tidak yakin dengan hal yang akan
dikatakannya.
“Apa?”
Desakku tidak sabar.
Dia
menghela napas, “Jika kita tidak bisa bersama-sama lagi..” katanya pelan.
Kata-kata
itu masuk ke gendang telingaku dan segera dicerna oleh otakku, alisku sukses
berkerut karenanya, “Maksudmu apa, Za?”
“Kau
tau, kondisi ayahku semakin parah setiap harinya. Lusa aku akan berangkat ke
Jerman untuk pengobatannya, dalam waktu yang tidak sebentar, Nes..”
Aku
terdiam. Entah apa yang harus kukatakan. Aku masih tidak percaya hal ini
terjadi; Virza akan meninggalkanku? Apa jadinya aku tanpa dia?
Aku
menoleh, menatap lekat ke iris coklatnya yang memancarkan raut bersalah. Kedua
sudut bibirku tertarik membentuk sebuah lengkungan, “Lalu, apa yang kau minta
dariku, Za? Apa kau akan kembali?”
Virza
memejamkan matanya, dia tampak menghirup oksigen sekuat yang dia bisa sebelum
dihembuskan kembali. Hal ini biasa dilakukan ketika dia menghadapi ketegangan
yang luar biasa. Tapi sekarang hanya dihadapanku, apakah masih ada ketegangan
setelah selama lebih dari lima tahun kami telah bersahabat? Aku tidak tau pasti
apa yang akan dikatakannya, yang pasti dia sangat memerlukan ketenangan dari
oksigen-oksigen yang berhamburan di udara saat ini.
“Aku
menyayangimu, Nes. Lebih dari yang kau tau dan kau kira selama ini. Aku
menyayangimu lebih dari sahabat. Dan aku ingin kau tetap menantiku sampai
takdir akan mempertemukan kita kembali. Karena aku akan kembali untukmu, Nes.
Hanya untukmu…” katanya sambil menatapku dalam.
Jantungku
berdegup lebih kencang dari biasanya. Darahku berdesir-desir setelah mendengar
kata-kata Virza barusan. Jadi hal ini yang membuatnya setegang itu. Virza
menyayangiku lebih dari sahabat? Ah, tapi apakah benar perasaanku ini tidak
bertepuk sebelah tangan?
“Lelucon
macam apa ini, Za?” Kataku sekenanya menutupi kegugupan yang seketika
menyergapiku. Aku hanya ingin memastikan ini bukan candaan, meskipun aku tau
dia tidak pernah setegang ini sebelumnya jika memang semuanya hanya lelucon.
“Ini
bukan lelucon, Ness. Aku benar-benar menyayangimu. Hmm, tapi jangan khawatir
kalau memang kau tidak merasakan hal yang sama−“
“Aah,
tidak.. tidak! Aku… Aku juga sama, Za,” sergahku cepat. Spontan aku langsung
memotong ucapannya yang beranggapan tidak benar itu. Ah, aku juga menyayanginya
lebih..
Virza
tersenyum dengan menampilkan deretan rapi gigi putihnya; senyum pemikat yang
biasanya mengisi kebersamaan kami. Hari ini aku baru melihat senyum lepasnya
itu. Yah, Virza memang selalu bisa membuatku salah tingkah setelah melihat
senyum menawannya itu.
“Juga
sama? Benarkah?” Dia menundukkan kepalanya. Mencoba mencari pandanganku yang
tertunduk malu, “Pastikan hatimu tetap untukku, ya..”
-*-*-
“Nes? Kau sudah sadar?”
Aku
mengerjap sejenak. Membiarkan mataku menyesuaikan cahaya sekitar yang tiba-tiba
menjadi sangat menyilaukan. Apa yang barusan terjadi? Semuanya terasa asing
kecuali orang yang berada di depanku sekarang; Vino dengan raut kecemasannya
itu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling tempatku berbaring sekarang.
Hey, ini bukan bukit Arloza.
“Dimana
aku sekarang?” Tanyaku kebingungan.
“Kau
berada di klinik dekat bukit Arloza, Nes. Tenang saja, ada aku disini..” Kata
Vino lembut mencoba membuatku tenang.
“Memang
apa yang terjadi, Vin?”
Vino
tersenyum tenang, “Tadi kau pingsan setelah tersandung lalu tergelincir dari
atas bukit karena kau kurang hati-hati. Kau hanya terlalu terkejut dan
kelelahan, jadi kau tidak sadarkan diri. Karena aku takut terjadi sesuatu
padamu, akhirnya aku membawamu kesini. Apa kau ingat?”
Aku
menggeleng pelan. Tubuhku memang terasa sedikit lemas. Kepalaku juga sedikit
pusing.
“Kau
istirahat dulu saja, yaa,” kata Vino ramah.
Aku
tersenyum tipis menanggapinya. Sejurus kemudian, aku membuat otakku kembali
memutar memory sebelum kejadian ini. Aku tergelincir lalu pingsan? Hal yang aku
ingat, ketika aku berusaha meninggalkan Vino dan perdebatan kami lalu… Virza!
Ah, kejadian masa lampau itu. Jadi pertemuanku dengannya tadi hanya bayangan
masa lalu di dalam mimpi?
Seketika aku beranjak dari ranjang
klinik ini. Membuat sugesti, aku sudah baik-baik saja dan tidak ada yang perlu
dicemaskan lagi dariku. Vino menatapku keheranan.
“Kau
mau kemana, Nes? Kau masih harus is−“
“Sssssttt,
tidak apa, Vin. Terima kasih telah mengkhawatirkan aku, tapi aku baik-baik
saja,” Ujarku memotong ucapan Vino.
Vino
menghela napas panjangnya. Dia nampak pasrah dan seperti tidak berniat
menyanggah ucapanku kali ini. “Kau ingin kembali ke bukit Arloza? Biar aku
temani, ya?” tawarnya lagi.
Ah,
Vino. Dia terlalu baik dan perhatian padaku. Padahal selama ini aku bersikap
dingin dan tidak peduli padanya. Sayangnya, hatiku memang tidak untuknya. Jauh
di dalam perasaanku, sebenarnya aku tidak tega terus-terusan membuat hatinya
kecewa. Aku juga ingin… dia bahagia bersama yang lain.
“Tidak
perlu, Vin. Mm, terima kasih untuk perhatian dan kasih sayang yang selama ini
kau berikan untukku. Dan maaf kalau aku tidak bisa membalasnya. Aku yakin kau
akan mendapatkan gadis yang menyayangimu juga, dan mungkin itu bukan aku. Aku
hanya ingin kau juga bahagia,” kataku sambil tersenyum bersahabat, mengharap
dia mengerti maksudku. Semoga juga dia tidak tersinggung.
Vino
mengangguk dan tersenyum santai kemudian, “Terima kasih kembali, Nes. Ah, ya,
kau benar. Aku mengerti maksudmu, sekarang pergilah ke bukit Arloza, Nes.
Mungkin, Virza…” Vino tampak sengaja menggantung ucapannya agar aku segera
teringat janji Virza.
“Ya.
Mungkin, Virza sudah kembali!”
-*-*-
Aku berusaha mengerahkan sisa
tenaga yang mungkin masih bisa membuatku sampai secepat mungkin di bukit
Arloza. Setelah berada di pucuknya, kakiku lemas. Semuanya masih sama. Hanya
ada pohon dan rerumputan disana. Secara perlahan aku menghampiri pohon rindang
yang berdiri kokoh itu untuk kemudian menyandarkan punggungku disana;
meletakkan segala lelah yang kurasa.
Lelah?
Sebenarnya apa yang lelah bagiku? Hati atau tubuhku yang memang lemas sedari
tadi. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa berani ampak kesini dengan
harapan yang besar untuk Virza. Aku harusnya bisa lebih sabar lagi menanti
Virza. Harusnya bisa.
“Kau
menang lagi..”
Sebuah
suara menyeruak ditengah nyanyian angin sepoi-sepoi. Suara yang cukup asing
untuk telingaku. Aku tidak tau siapa pemilik suara itu tapi yang pasti dia
seorang laki-laki. Aku menoleh kearahnya, membiarkan otakku itu mencerna lagi
dan lagi siapa orang ini. Tapi, apa katanya? Menang lagi? Laki-laki itu
mengusap peluh di dahinya. Dia terlihat seperti habis berlomba lari. Seperti
yang dilakukan aku dan…
“Virza!
Benarkah kau, Virza?”
Dia
melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman. Tidak lama, deretan giginya
juga ampak menghiasi wajahnya yang menawan. Hey, itu senyuman pemikat milik
Virza!
Dia
berjalan mendekatiku, “Nessa, aku tidak ingkar janji, ‘kan?” katanya. Sejurus
kemudian, dia telah mendekapku erat ke dalam pelukannya. Membiarkan dinding
kerinduan yang berdiri kokoh diantara kami selama ini hancur begitu saja.
Jantungku
bergemuruh hebat. Seketika seperti ada kelegaan yang menyergap di hatiku.
Penatianku selama ini, tidak sia-sia. Dia telah kembali untuk menepati
janjinya. Dekapannya mulai mengendur dan perlahan lepas. Aku masih tidak bisa
menyembunyikan kebahagiaanku.
“Selama
ini, akhirnya penatianku tidak sia-sia,” ungkapku lega.
Kami
menyandarkan punggung kami kembali di pohon yang rindang ini. Peluh kami sudah
hampir hilang tertiup angin yang berhembus lembut. Seperti terakhir kali
sebelum Virza pergi; aku kembali memenangkan perlombaan lari yang tidak kami
rencanakan sebelumnya. Takdir telah mempertemukan kita kembali di waktu yang
tidak pernah aku sangka.
Virza
lebih tampan dari yang kukenal dulu. Penampilannya juga lebih rapi. Mungkin,
beberapa tahun di Jerman telah membuatnya menjadi sosok yang lebih menawan.
Matanya masih indah kecoklatan. Dia sahabatku, dan juga cintaku. Mungkinkah aku
wanita yang beruntung karena mendapatkan sahabat sekaligus cinta pada orang
yang sama?
Virza,
masih dengan senyum pemikatnya itu menatapku, “Kau hebat, Nes! Apa yang telah
membuatmu bertahan selama ini?”
“Keyakinan
bahwa cinta akan membawamu kembali..”
*****
Maaf jika masih ada kekurangan dalam cerpen ini, saya
masih harus banyak belajar lagi:D
Thanks for reading!
-Mia
0 komentar:
Posting Komentar