Senin, 24 Maret 2014

Cinta akan Membawamu...


“Aku ingin kau tetap menantiku sampai takdir akan mempertemukan kita kembali. Karena aku akan kembali untukmu, Nes. Hanya untukmu…”
*-*-*
Matahari bertengger di atas sana dengan gagahnya. Menyorotkan sinar paling terang yang pernah aku tau. Tapi aku tidak peduli betapa panasnya cuaca siang ini. Sebuah pohon yang berdiri tegak dan berdaun rindang telah menaungiku dari panas sang surya.
                Aku mengedarkan pandanganku ke depan. Menerawang jauh angkasa biru yang luas itu. Aku terduduk di atas bukit mungil yang terbungkus karpet hijau ini sambil memeluk lututku. Angin yang berhembus kubiarkan memainkan rambutku yang sengaja terurai. Rumput-rumput liar yang mulai meninggi ikut bergoyang menurut angin. Aku suka suasana ini…

                Mataku terpejam sejenak. Menikmati kesunyian yang ada. Aku ingin merasa damai seperti ini selamanya, tapi tidak sendiri. Kicauan merdu burung liar yang bersarang di atas pohon sana menarik perhatianku. Aku mendongak dan mendapati burung betina itu dengan sangkarnya ada di pucuk pohon. Memanggil sang jantan yang sedang berkeliling mencari makanan.
                Tampaknya burung betina itu kesepian. Seperti aku, disini; sekarang. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku merasa kesepian selama ini. Entah kenapa, aku hanya ingin Virza –sahabat lamaku dan juga ehm.. cinta pertamaku yang menemaniku hari-hariku lagi agar lebih berwarna. Aku hanya ingin dia kembali. Aku berharap waktu segera mengembalikannya padaku, secepatnya.
                “Nes? Kau sendirian?”
                Suara berat khas seorang laki-laki menyeruak. Mataku tertarik untuk melirik orang disampingku ini walaupun aku sudah bisa memastikan siapa orang ini. Laki-laki bertubuh tegap itu duduk di sampingku tanpa permisi. Wajah menawannya menatap kearahku, menantikan sebuah jawaban yang harusnya sudah meluncur dari bibirku.
                Aku cukup malas menjawab pertanyaan bodoh itu. Ya, aku juga yakin pasti dia sudah mengetahui jawabanku. Lagipula apa ada orang lain selain aku disini sebelum dia datang, sudah jelas pertanyaan itu seperti sebuah sindiran bagiku.
                “Untuk apa kau kesini? Aku tidak ingin diganggu sekarang.”
                Laki-laki itu menyeringai, “Aku tidak bermaksud menggangumu, Nes. Aku hanya ingin memastikan apakah pangeranmu yang pergi entah kemana itu sudah kembali..” katanya yang lebih terdengar seperti ejekan untukku.
                Tatapan tajam kulemparkan kearahnya, “Kau tidak tau apa-apa, Vin! Jangan pernah berkata apa-apa lagi tentang Virza.” Kataku dengan sedikit penekanan untuk memperingatkan dia. Dia hanya tersenyum sambil masih membalas tatapanku.
                “Apa hatimu sudah berpaling dari Virza?”
                Mataku membulat seketika. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu aku seperti tersadar dari sesuatu. Keraguan menyergap di hatiku. Pertanyaan Vino membuatku berpikir untuk memastikan lagi; benarkah hatiku masih untuk Virza setelah sekian lama?
                Aku memilih terdiam sejenak. Mengumpulkan kembali keyakinan yang selama ini mengakar di hatiku –Virza pasti pulang. Dia akan kembali.
                Vino menaikkan sebelah alisnya sambil melirikku dengan tatapan aneh, dia tersenyum meremehkanku. Sepertinya, dia tau ada keraguan menyelimuti hatiku yang mungkin terlihat dari mataku sekarang. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapannya.
                “Apa hal itu penting bagimu, hah? Sungguh itu bukan urusanmu.” Jawabku ketus.
                Laki-laki itu menatapku lekat dengan iris hitamnya. Mencari kelemahan lain yang sekiranya ada di dalam diriku sekarang. Aku tetap menunggu Virza. Selamanya hanya Virza dan tidak ada yang bisa menggantikan termasuk Vino.
                Vino Bramastya. Anak dari pengusaha kaya dan terkenal ini cukup terobsesi kepadaku. Aku tidak pernah mengerti, kenapa dia lebih memilih aku daripada puluhan gadis cantik yang tergila-gila kepadanya. Tapi ada hal yang paling aku benci darinya; dia terlalu memaksaku. Memaksa aku mencintainya dan melupakan Virza begitu saja. Tentu saja, itu hal paling gila yang pernah aku dengar. Ambisinya semakin besar setelah orang tuaku dan orang tuanya juga telah sepakat menjodohkan aku dengannya setelah Virza tidak kunjung kembali. Ini semua tidak pernah masuk akal bagiku.
                “Kau lupa? Kita telah−“
                Aku menyambar ucapannya, “Apa?! Dijodohkan? Kau-pikir-aku-pernah-menyetujuinya?” Aku memberi penekanan pada kalimat terakhirku. Mataku menatapnya sinis. Aku hanya tidak habis pikir kenapa dia terlalu ingin ikut campur dengan segala urusanku. Sungguh aku tidak menyukai caranya yang terlalu protektif itu. 
                Manik hitam legamnya sedikit membulat, “Apa kau tidak pernah mengerti? Aku hanya mencintaimu, Nessa.” Katanya pelan namun sukses meredakan emosiku yang cukup meledak menanggapinya. Mimik wajahnya yang sedari tadi serasa meremehkanku, berubah. Tatapannya berubah menjadi sayu.
                “Kau juga apa tidak pernah mengerti? Aku hanya mencintai Virza..” Kataku sambil beranjak pergi, berlari menuruni bukit mungil ini untuk menghindari perdebatan lebih lanjut.
                “Nessa!”
-*-*-
Siang itu. Cuaca sangat cerah. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun. Tapi, angin sepoi-sepoi masih terasa bertiup pelan dari atas bukit ini. Rumput liar yang membungkusnya pun ikut bergoyang mengikuti arah angin. Di bawah pohon yang cukup rindang ini aku menyandarkan punggungku pada batangnya yang kokoh. Membiarkan segala lelah yang menghampiri itu hilang. Menanti, sampai seragam putih-biru yang aku kenakan kering kembali dengan sendirinya setelah keringat derasku membuatnya basah.
                “Apa kau pernah merasa bosan ke bukit ini?” Suara Virza seketika memecah keheningan yang ada. Dia menyandarkan tubuh kekarnya itu di batang pohon yang sama –tepat di sampingku. Dia sama sepertiku, kami kelelahan setelah berlomba lari untuk mencapai bukit mungil ini.
                “Bosan? Iya, jika aku hanya sendiri disini. Tidak denganmu.” Aku mengusap dahiku yang seperti meleleh karena berkeringat. Dia tersenyum mendengar jawabanku.
                Keheningan pun menyergap. Aku melempar pandanganku ke bawah bukit yang hijau menyejukkan mata. Aku melirik Virza sekilas di sebelahku, seketika aku menyadari ada yang aneh. Aku tidak menemukan ketenangan disana. Tidak seperti biasanya, Virza terlihat gelisah.
                “Sudahlah, Za. Jangan sedih karena tadi kau kalah dariku. Kemarin kau sudah merasakan kemenangan, ‘kan?” Aku menepuk pundaknya pelan. Dia menoleh lalu tersenyum lagi. Aku tidak mengerti kenapa hari ini mendadak dia menjadi sosok yang berbeda –lebih diam dari biasanya.
                “Bukan itu yang sedang aku pikirkan, Nes..”
                “Lalu?”
                Virza membuang pandangannya ke arah lain. Dari manik coklatnya, terlihat ada beban di dalam dirinya. Dia masih diam. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Aku merasa, ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dan pasti sangat penting.
                “Mm, Nes…” Ujarnya membuatku semakin tidak sabar ingin segera mendengar hal apa yang akan dia ungkapkan.
                “Ya?”
                “Bagaimana jika…” Katanya menggantung seperti tidak yakin dengan hal yang akan dikatakannya.
                “Apa?” Desakku tidak sabar.
                Dia menghela napas, “Jika kita tidak bisa bersama-sama lagi..” katanya pelan.
                Kata-kata itu masuk ke gendang telingaku dan segera dicerna oleh otakku, alisku sukses berkerut karenanya, “Maksudmu apa, Za?”
                “Kau tau, kondisi ayahku semakin parah setiap harinya. Lusa aku akan berangkat ke Jerman untuk pengobatannya, dalam waktu yang tidak sebentar, Nes..”
                Aku terdiam. Entah apa yang harus kukatakan. Aku masih tidak percaya hal ini terjadi; Virza akan meninggalkanku? Apa jadinya aku tanpa dia?
                Aku menoleh, menatap lekat ke iris coklatnya yang memancarkan raut bersalah. Kedua sudut bibirku tertarik membentuk sebuah lengkungan, “Lalu, apa yang kau minta dariku, Za? Apa kau akan kembali?”
                Virza memejamkan matanya, dia tampak menghirup oksigen sekuat yang dia bisa sebelum dihembuskan kembali. Hal ini biasa dilakukan ketika dia menghadapi ketegangan yang luar biasa. Tapi sekarang hanya dihadapanku, apakah masih ada ketegangan setelah selama lebih dari lima tahun kami telah bersahabat? Aku tidak tau pasti apa yang akan dikatakannya, yang pasti dia sangat memerlukan ketenangan dari oksigen-oksigen yang berhamburan di udara saat ini.
                “Aku menyayangimu, Nes. Lebih dari yang kau tau dan kau kira selama ini. Aku menyayangimu lebih dari sahabat. Dan aku ingin kau tetap menantiku sampai takdir akan mempertemukan kita kembali. Karena aku akan kembali untukmu, Nes. Hanya untukmu…” katanya sambil menatapku dalam.
                Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Darahku berdesir-desir setelah mendengar kata-kata Virza barusan. Jadi hal ini yang membuatnya setegang itu. Virza menyayangiku lebih dari sahabat? Ah, tapi apakah benar perasaanku ini tidak bertepuk sebelah tangan?
                “Lelucon macam apa ini, Za?” Kataku sekenanya menutupi kegugupan yang seketika menyergapiku. Aku hanya ingin memastikan ini bukan candaan, meskipun aku tau dia tidak pernah setegang ini sebelumnya jika memang semuanya hanya lelucon.
                “Ini bukan lelucon, Ness. Aku benar-benar menyayangimu. Hmm, tapi jangan khawatir kalau memang kau tidak merasakan hal yang sama−“
                “Aah, tidak.. tidak! Aku… Aku juga sama, Za,” sergahku cepat. Spontan aku langsung memotong ucapannya yang beranggapan tidak benar itu. Ah, aku juga menyayanginya lebih..
                Virza tersenyum dengan menampilkan deretan rapi gigi putihnya; senyum pemikat yang biasanya mengisi kebersamaan kami. Hari ini aku baru melihat senyum lepasnya itu. Yah, Virza memang selalu bisa membuatku salah tingkah setelah melihat senyum menawannya itu.
                “Juga sama? Benarkah?” Dia menundukkan kepalanya. Mencoba mencari pandanganku yang tertunduk malu, “Pastikan hatimu tetap untukku, ya..”
-*-*-
“Nes? Kau sudah sadar?”
                Aku mengerjap sejenak. Membiarkan mataku menyesuaikan cahaya sekitar yang tiba-tiba menjadi sangat menyilaukan. Apa yang barusan terjadi? Semuanya terasa asing kecuali orang yang berada di depanku sekarang; Vino dengan raut kecemasannya itu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling tempatku berbaring sekarang. Hey, ini bukan bukit Arloza.
                “Dimana aku sekarang?” Tanyaku kebingungan.
                “Kau berada di klinik dekat bukit Arloza, Nes. Tenang saja, ada aku disini..” Kata Vino lembut mencoba membuatku tenang.
                “Memang apa yang terjadi, Vin?”
                Vino tersenyum tenang, “Tadi kau pingsan setelah tersandung lalu tergelincir dari atas bukit karena kau kurang hati-hati. Kau hanya terlalu terkejut dan kelelahan, jadi kau tidak sadarkan diri. Karena aku takut terjadi sesuatu padamu, akhirnya aku membawamu kesini. Apa kau ingat?”
                Aku menggeleng pelan. Tubuhku memang terasa sedikit lemas. Kepalaku juga sedikit pusing.
                “Kau istirahat dulu saja, yaa,” kata Vino ramah.
                Aku tersenyum tipis menanggapinya. Sejurus kemudian, aku membuat otakku kembali memutar memory sebelum kejadian ini. Aku tergelincir lalu pingsan? Hal yang aku ingat, ketika aku berusaha meninggalkan Vino dan perdebatan kami lalu… Virza! Ah, kejadian masa lampau itu. Jadi pertemuanku dengannya tadi hanya bayangan masa lalu di dalam mimpi?
Seketika aku beranjak dari ranjang klinik ini. Membuat sugesti, aku sudah baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dicemaskan lagi dariku. Vino menatapku keheranan.
                “Kau mau kemana, Nes? Kau masih harus is−“
                “Sssssttt, tidak apa, Vin. Terima kasih telah mengkhawatirkan aku, tapi aku baik-baik saja,” Ujarku memotong ucapan Vino.
                Vino menghela napas panjangnya. Dia nampak pasrah dan seperti tidak berniat menyanggah ucapanku kali ini. “Kau ingin kembali ke bukit Arloza? Biar aku temani, ya?” tawarnya lagi.
                Ah, Vino. Dia terlalu baik dan perhatian padaku. Padahal selama ini aku bersikap dingin dan tidak peduli padanya. Sayangnya, hatiku memang tidak untuknya. Jauh di dalam perasaanku, sebenarnya aku tidak tega terus-terusan membuat hatinya kecewa. Aku juga ingin… dia bahagia bersama yang lain.
                “Tidak perlu, Vin. Mm, terima kasih untuk perhatian dan kasih sayang yang selama ini kau berikan untukku. Dan maaf kalau aku tidak bisa membalasnya. Aku yakin kau akan mendapatkan gadis yang menyayangimu juga, dan mungkin itu bukan aku. Aku hanya ingin kau juga bahagia,” kataku sambil tersenyum bersahabat, mengharap dia mengerti maksudku. Semoga juga dia tidak tersinggung.
                Vino mengangguk dan tersenyum santai kemudian, “Terima kasih kembali, Nes. Ah, ya, kau benar. Aku mengerti maksudmu, sekarang pergilah ke bukit Arloza, Nes. Mungkin, Virza…” Vino tampak sengaja menggantung ucapannya agar aku segera teringat janji Virza.
                “Ya. Mungkin, Virza sudah kembali!”
-*-*-
Aku berusaha mengerahkan sisa tenaga yang mungkin masih bisa membuatku sampai secepat mungkin di bukit Arloza. Setelah berada di pucuknya, kakiku lemas. Semuanya masih sama. Hanya ada pohon dan rerumputan disana. Secara perlahan aku menghampiri pohon rindang yang berdiri kokoh itu untuk kemudian menyandarkan punggungku disana; meletakkan segala lelah yang kurasa.
                Lelah? Sebenarnya apa yang lelah bagiku? Hati atau tubuhku yang memang lemas sedari tadi. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa berani ampak kesini dengan harapan yang besar untuk Virza. Aku harusnya bisa lebih sabar lagi menanti Virza. Harusnya bisa.
                “Kau menang lagi..”
                Sebuah suara menyeruak ditengah nyanyian angin sepoi-sepoi. Suara yang cukup asing untuk telingaku. Aku tidak tau siapa pemilik suara itu tapi yang pasti dia seorang laki-laki. Aku menoleh kearahnya, membiarkan otakku itu mencerna lagi dan lagi siapa orang ini. Tapi, apa katanya? Menang lagi? Laki-laki itu mengusap peluh di dahinya. Dia terlihat seperti habis berlomba lari. Seperti yang dilakukan aku dan…
                “Virza! Benarkah kau, Virza?”
                Dia melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman. Tidak lama, deretan giginya juga ampak menghiasi wajahnya yang menawan. Hey, itu senyuman pemikat milik Virza!
                Dia berjalan mendekatiku, “Nessa, aku tidak ingkar janji, ‘kan?” katanya. Sejurus kemudian, dia telah mendekapku erat ke dalam pelukannya. Membiarkan dinding kerinduan yang berdiri kokoh diantara kami selama ini hancur begitu saja.
                Jantungku bergemuruh hebat. Seketika seperti ada kelegaan yang menyergap di hatiku. Penatianku selama ini, tidak sia-sia. Dia telah kembali untuk menepati janjinya. Dekapannya mulai mengendur dan perlahan lepas. Aku masih tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
                “Selama ini, akhirnya penatianku tidak sia-sia,” ungkapku lega.
                Kami menyandarkan punggung kami kembali di pohon yang rindang ini. Peluh kami sudah hampir hilang tertiup angin yang berhembus lembut. Seperti terakhir kali sebelum Virza pergi; aku kembali memenangkan perlombaan lari yang tidak kami rencanakan sebelumnya. Takdir telah mempertemukan kita kembali di waktu yang tidak pernah aku sangka.
                Virza lebih tampan dari yang kukenal dulu. Penampilannya juga lebih rapi. Mungkin, beberapa tahun di Jerman telah membuatnya menjadi sosok yang lebih menawan. Matanya masih indah kecoklatan. Dia sahabatku, dan juga cintaku. Mungkinkah aku wanita yang beruntung karena mendapatkan sahabat sekaligus cinta pada orang yang sama?             
                Virza, masih dengan senyum pemikatnya itu menatapku, “Kau hebat, Nes! Apa yang telah membuatmu bertahan selama ini?”
                “Keyakinan bahwa cinta akan membawamu kembali..”
*****

 Cerpen ini udah pernah aku posting
di salah satu akun cerita di facebook. Kebetulan,
sekarang saya juga admin disana hehe:)
Maaf jika masih ada kekurangan dalam cerpen ini, saya
masih harus banyak belajar lagi:D
Thanks for reading!
-Mia

0 komentar:

Posting Komentar