Menjelang senja. Matahari mulai tampak condong ke ufuk barat. Aku mengayunkan kakiku bergantian menuju sebuah taman kompleks sambil merangkul bahu mungil adikku, Virna. Gadis kecil itu terlihat sangat antusias dan ceria. Beberapa kali langkahnya mendahuluiku karena terlalu bersemangatnya.
Menghabiskan waktu sore di taman kali ini cukup membuatku bernostalgia sejenak. Sudah lama aku tidak ke tempat ini. Virna segera melepas genggaman tanganku saat melihat lambaian tangan dari beberapa temannya. Dia segera berbaur dengan teman sebayanya untuk sekedar menghibur diri. Aku rasa, pertemuan mereka telah direncanakan. Tidak heran, sejak tadi siang Virna sudah sibuk memintaku mengantarnya ke taman ini.
Aku hanya duduk di bangku pinggir taman sambil mengamati Virna dari kejauhan. Suasana kali ini cukup ramai. Wajar, mengingat hari ini juga bertepatan dengan weekend. Tempat ini masih sama seperti beberapa tahun lalu, masih hijau dan asri. Cocok untuk menjadi taman bermain keluarga. Nyaman untuk sekedar melepas jenuh sejenak.
“Kak, bisa ambilin balon itu, nggak?” Suara lucu seorang anak kecil membuyarkan lamunan nostalgiaku sejenak. Dengan senyum polosnya, dia menantikan jawabanku sambil menujuk balonnya yang tersangkut di pohon, tidak jauh dari posisiku sekarang.
Aku tersenyum, “Itu balon kamu?” kataku sambil beranjak menuju pohon kecil tempat balon anak ini tersangkut.
Dia mengangguk yakin.
Dengan sedikit usaha keras, aku berusaha meraih tali balon itu yang menjulur cukup panjang. Meskipun pohon ini kira-kira hanya setinggi 2 meter tapi posisinya cukup rumit. Aku rasa, anak kecil ini cukup cerdas. Dia sudah menyadari bahwa tinggi tubuhnya tidak bisa menjangkau balon itu. Dan dia meminta tolong pada orang yang tepat.
“Ah, dapat!” seruku girang dengan menggengam tali balon itu kuat-kuat.
Tangan kecil anak laki-laki itu sudah siap terbuka menerima balonnya kembali. Senyum naturalnya melebar. Ada kelegaan di wajahnya yang menggemaskan. Tapi aku masih menahan balon biru itu.
“Eh, tunggu dulu! Kakak harus tau, nama kamu siapa?” tanyaku sambil menunduk untuk menyamai tingginya.
Aku bisa melihat wajah lucu anak kecil yang berumur sekitar 6 tahun ini. Dia sedikit terkejut karena aku yang masih menahan balonnya. Aku suka ekspresi natural seseorang. Dia tampak sedikit berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin gatal seketika.
“Alvaro Refandra. Tapi suka dipanggilnya ‘Al’, Kak.”
Mendengar jawabannya membuat jantungku berdetak lebih kencang seketika. Aku merasa darahku mengalir ke bawah lebih cepat kali ini. Napasku sedikit tidak teratur. Alvaro Refandra, nama itu mengingatkan aku pada seseorang sewaktu SMA. Aku tidak tau apakah nama itu masih special hingga saat ini. Tapi hanya mendengar kembali namanya, kenapa aku tiba-tiba merasa seaneh ini? Apa selama ini belum cukup untuk sekedar melupakannya?
“Kakak kenapa, sih? Kok malah diam?” tanyanya heran. Salah satu sisi dari anak kecil seperti Al yang rasa ingin taunya besar terlihat sekarang. Senyum tulus masih terukir di bibir mungilnya.
Aku tersenyum sambil mengusap kepalanya lembut, “Nama kamu bagus. Mirip namanya seseorang…” ujarku jujur. Aku hanya tidak tau lagi jawaban apa yang harus diberikan.
“Oh, pasti pacar kakak, ya?” tebaknya asal sambil tertawa lebar.
Aku menggeleng sambil masih melempar senyum atas kepolosannya, “Ini balon kamu. Kalo main, hati-hati, ya.”
“Terima kasih kakak cantik!” Ujarnya girang sambil memegang balon di tangannya erat-erat. Dia segera berlari menemui teman-temannya yang sudah menunggu dari tadi. Sejurus kemudian, punggungnya sudah menghilang diantara anak kecil lainnya.
Dunia anak kecil memang menyenangkan. Hanya beberapa menit aku bertemu dengan Al tapi seperti telah ada kehangatan yang tercipta dari beberapa kepolosannya. Di pikiran mereka hanya ada bermain tanpa beban. Aku hanya sedikit merindukan masa kecilku.
Mengenai perasaan aneh yang aku rasa ketika mendengar nama itu, semuanya terasa diluar kendaliku. Sudah cukup lama nama itu tidak terdengar di telingaku. Aku sendiri tidak tau lagi, apakah nama itu masih special untukku. Mungkin ini hanya perasaan gugup biasa..
*-*-*
Setelah menemani Virna belajar, aku sengaja ingin mencari angin ke teras rumah. Udara angin malam yang sejuk mungkin mampu membuatku rileks sebelum tidur. Ternyata ayah dan ibu juga sedang bersantai sambil minum teh bersama di teras. Aku ikut duduk bersama mereka, bercerita bagaimana aku selama 3 tahun ini di Kairo. Semuanya terasa nyaman dan hangat. Rasanya tidak ada yang lebih menenangkan selain kehangatan keluarga yang memelukku saat ini.
“Apa kamu sudah punya calon, Nak?” Tanya ayah seketika membuatku terdiam. Ibu terlihat begitu menantikan jawaban apa yang akan keluar dari mulutku.
Aku menunduk, “Belum, Yah. Ifa masih fokus sama kuliah aja. Belum kepikiran ke calon.” Jawabku jujur dan pelan. Aku menjadi bingung dan sedikit merasa bersalah karena akan membuat mereka kecewa. Tapi hanya kenyataannya yang bisa aku katakan.
“Wah berarti kebetulan, Yah..” Ujar Ibu yang langsung membuatku bertanya-tanya karena ekspresinya yang berbeda dari perkiraanku sebelumnya. Wanita paruh baya itu tersenyum menatapku.
Alisku hampir tertaut, “Kebetulan apa, Bu?” tanyaku tidak sabar.
Ayah menghela napas sejanak, “Jadi begini, Nak. Sudah lama semenjak kamu pergi ke Kairo, ada pemuda baik yang sudah ayah kenal juga berniat ingin melamarmu.” Jawab Ayah lembut dan tenang.
“Namanya Aufar, Nak. Pemuda yang baik, shaleh, dan insyaAllah memang cocok untukmu. Tapi semuanya ada di tanganmu, Nak. Ibu dan Ayah menunggu keputusanmu.” Sambung Ibu ikut menjelaskan.
Aku benar-benar mencerna habis setiap kata yang diucapkan Ayah dan Ibu. Berpikir keras jawaban apa yang memang seharusnya aku katakan. Terlalu banyak kata-kata yang sudah di kerongkongan tapi tertahan karena aku sendiri bingung harus berkata bagaimana. Aku hanya tidak ingin membuat mereka kecewa. Tapi semuanya begitu terasa mendadak untukku.
Bayangan Alvaro seketika terlintas jelas di benakku. Hal itu membuatku bimbang. Laki-laki yang mungkin tidak akan pernah bisa bersatu denganku itu, aku rasa hanya menjadi masa lalu yang tidak pernah bisa aku lupakan. Aku hanya harus memperjuangkan apa yang menjadi masa depanku sekarang. Tapi kenapa masih ada harapan di hati ini? Setelah sekian lama, mengapa semuanya seperti belum berubah? Mungkin ini saatnya aku menutup masa laluku.
“Jika memang dia jodoh Ifa, insyaAllah jalannya akan lancar, Yah, Bu. Ifa pasrahkan semuanya kepada Allah karena Ifa yakin Allah pasti tau yang terbaik,” Kataku pelan. Aku harap ini jawaban terbaik yang bisa dikatakan.
“Alhamdulillah, pikiranmu memang dewasa, Nak. Semuanya memang di tangan Allah,” Ujar Ayah lega. Ibu juga ikut tersenyum sambil merangkul bahuku lembut.
Setidaknya sekarang aku cukup lega melihat ekspresi bahagia Ayah dan Ibu. Aku sengaja, mengabaikan semua perasaan ragu yang seketika bersemayam di hatiku karena setelah sekian lama, mungkin inilah jalan terbaiknya. Aku tau membuka hati memang bukan perkara mudah tapi semuanya harus dicoba. Itu keyakinanku sekarang.
*-*-*
“Kak Ifa, ini ada surat buat kakak..” Seru Virna sambil tergesa-gesa masuk ke kamarku. Di tangannya ada sebuah kertas persegi panjang yang mirip sebuah amplop. Dia langsung menyodorkannya ke arahku.
“Dari siapa ini?” tanyaku penasaran sambil masih meraba dan meneliti bacaan di amplop itu.
Gadis kecil itu mengangkat kedua bahu mungilnya, “Aku nggak tau, Kak. Tadi Ibu nggak bilang dari siapa,” jawab Virna seadanya.
“Jadi kamu dapat ini dari Ibu?”
Dia mengangguk. Aku masih mengerutkan dahi. Pikiranku masih mencoba menerka siapa pengirim surat ini. Secara pelan, Virna melangkahkan kakinya keluar dari kamarku. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Mungkin waktu bermainnya sedikit terganggu gara-gara tugasnya mengantar surat ini.
“Vir? Mau kemana? Makasih, ya.” Ujarku ketika dia sudah mencapai ambang pintu.
Dia menoleh dan tersenyum, “Aku mau main lagi, ya, Kak.” Jawabnya dan sejurus kemudian punggungnya sudah tidak terlihat lagi.
Aku membuka amplop itu. Selembar kertas yang dilipat rapi tertanam di dalamnya. Aku membaca tulisan di surat itu secara teliti di setiap kata-nya. Hanya sebuah undangan tapi entah kenapa sukses membuat jantungku berdegup lebih kencang lagi.
Aku menarik napas perlahan. Berusaha mengendalikan semua perasaan aneh yang muncul lagi. Ini sebuah undangan reuni akbar alumni SMAN 1 Jakarta. Tapi kenapa semua yang berhubungan dengan masa SMA ini membuatku mengingatnya lagi? Perasaan ini masih saja muncul. Melupakan bukan perkara mudah. Aku hanya tidak ingin terus mengingatnya…
*-*-*
Terik matahari terasa menyengat kulit. Dengan peluh yang bercucuran aku berlarian menyusuri koridor yang menghubungkan ruang kelas dengan aula utama. Napasku tersengal-sengal saat tiba di depan pintu. Sejenak aku berusaha menstabilkan napasku. Pintu besar aula utama itu sudah tertutup rapat. Secara pelan dan hati-hati aku mendorong pegangan pintu berbahan marmer itu dan melihat ke bagian dalam aula ini.
Diluar dugaanku. Setelah mengedarkan pandanganku ke dalam ruangan, aku terdiam sejenak. Ruangan itu kosong dan gelap. Sangat berbeda jauh dari perkiraanku sebelumnya. Setelah melirik jam silver yang melingkar di tangan kiriku, aku memutuskan untuk melangkah mundur. Aku hanya bingung dan terdiam di depan pintu.
“Hey? Kamu ngapain?” Seru seseorang dari arah belakang. Aku langsung menoleh dan mendapati seorang laki-laki berjalan santai mendekat ke arahku.
“Menghadiri rapat anggota organisasi baru. Tapi..” Jawabku ragu.
Laki-laki asing itu melirik jam hitam di tangannya, “Kamu tau sekarang jam berapa?” tanyanya lagi yang membuatku heran. Laki-laki yang memakai almameter coklat ini memandangku aneh. Aku hanya bingung kenapa dia masih bertanya tentang jam sedangkan aku baru saja mendapati dia melihat jam tangannya beberapa detik yang lalu.
“Jam setengah dua.” Jawabku santai.
“Ah, pantas saja!” ujarnya seperti kecewa dengan jawabanku. Aku masih mengerutkan dahiku. Beberapa pertanyaan telah terkumpul di otakku sedari tadi dan laki-laki asing ini justru menambahku semakin bingung. “Boleh aku liat undanganmu?” lanjutnya.
“Untuk apa?” tanyaku singkat. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan sikapnya. Laki-laki asing ini mungkin seniorku. Tapi aku harus tetap hati-hati dengan perilakunya yang cukup aneh.
Dia menghela napas berat, “Untuk memastikan kamu dari mana saja.” Jawabnya sambil masih melipat tangannya di dada. Tatapannya seperti tidak cukup menyenangkan, “Tapi, sudahlah. Lebih baik sekarang kamu pulang. Sebentar lagi hujan.” Lanjutnya sambil berbalik dan berjalan menjauh.
Aku yang masih terpaku dalam kebimbangan hanya bisa diam menatapnya. Semua sikapnya sungguh membuat aku tidak mengerti. Kenapa di sekolah baruku ini ada orang seaneh dia? Mungkin ini pertemuan yang tidak terlalu menyenangkan bagiku. Meskipun aku yakin pasti akan bertemu dengan orang ini lagi, huh.
“Oh, iya, satu lagi! Jangan lupa periksa lagi apa yang salah dari jam tanganmu itu, ya.” Ujarnya sedikit berteriak saat dia hampir sampai di persimpangan koridor.
Sejurus kemudian aku langsung meneliti jam tangan kesayanganku, “Ah, jam ini mati! Detiknya nggak jalan. Sejak kapan batrainya bisa habis?” aku menggerutu pada diriku sendiri sambil melepaskan jam itu dari pergelanganku.
Aku memutuskan untuk berjalan pulang dan melewati koridor yang sepi secepat mungkin. Sekolah baruku ini cukup luas, dan aku merasa sedikit cemas berada di sini sendirian. Jam besar yang berada di dekat gerbang sekolah sukses membuat mataku membulat. Jarumnya kompak menunjukkan pukul tiga lima belas menit. Sekarang aku baru mengerti apa maksud dari reaksi aneh laki-laki asing itu. Kenapa baru sekarang? Aku pasti terlihat bodoh di depan orang itu, huh.
Aku sangat terlambat ke acara itu. Itu semua karena jam tanganku mati dan aku sempat tertidur selepas bel pulang berbunyi. Dan ternyata aku datang saat acara itu sudah selesai. Laki-laki itu bisa saja salah satu panitianya. Tetapi tetap saja dia cukup menyebalkan, meskipun aku cukup terkesan akhirnya.
*-*-*
“Oh, jadi dia wakil ketua organisasi kita?” Tanyaku spontan saat melihat laki-laki asing itu duduk di samping ketua organisasi ini. Teman yang duduk di sebelahku hanya mengangguk sambil menaruh telunjuknya di depan mulutnya.
“Pelan-pelan aja ngomongnya, Fa. Nggak enak, kan, lagi rapat..” tegurnya sambil berbisik pelan. Dira, teman baruku ini cukup membuatku nyaman diantara yang lain. Kebetulan aku juga satu organisasi dengannya. Kami berteman baik sejak pertama masuk sekolah ini. Dia juga satu-satunya orang yang tau aku tertidur di kelas selepas pelajaran. Sudah pasti, dia juga teman sekelasku.
“Kamu tau nggak…..” perkataanku langsung dipotong oleh jawaban Dira yang asal.
“Namanya Alvaro Refandra.” Timpalnya langsung yang membuatku sedikit terkejut karenanya. Padahal aku bukan ingin tau nama orang itu. Aku sedikit mengerutu karena itu.
“Aku bukan mau tanya tentang itu, Dir.” Ujarku mencoba menjelaskan dan meluruskan semuanya. Aku hanya merasa tidak perlu tau namanya. Tapi seketika Dira membuatku terpaksa mengetahui namanya yang ternyata cukup terdengar berkelas..
Dia melirikku tajam, “Ssttt, nanti aja nanyanya, ya.” Ujarnya sambil kembali fokus. Aku hanya menghela napas berat. Rapat ini membuatku bosan. Buku catatan yang ada di depanku masih bersih, berbeda dengan beberapa orang yang lain. Buku catatan mereka penuh dengan perkataan pemimpin rapat dan semuanya terlihat fokus.
“Kamu, yang pakai kerudung putih di sebelah Dira! Coba jelaskan ulang apa yang kakak sampaikan dari tadi?” Seru seseorang dari arah depan. Aku terkejut dan mendapati semua mata memandang ke arahku. Aku menoleh ke sekeliling. Tidak ada orang lain disamping Dira selain aku yang berkerudung putih.
“Iya benar, kamu Hifasya?” Suara laki-laki wakil ketua organisasi itu. Ah, kenapa aku harus berurusan dengan senior menyebalkan ini lagi? Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal, aku merasa sangat gugup.
*-*-*
Aku tidak pernah tau darimana manusia bernama Alvaro itu hafal namaku. Aku hanya merasa dia mempunyai semacam dendam sehingga bisa mempermalukanku di depan forum. Tapi entah kenapa, setelah itu takdir selalu membawa kami lebih dekat satu sama lain. Pekerjaan di organisasi selalu melibatkan aku dan dia. Tapi, aku harap semuanya akan sebatas profesionalitas saja.
“Kamu istirahat aja. Biar aku yang melanjutkan..” Ujarnya santai sambil mencoba meraih laptop yang ada di depanku. Aku hanya pasrah sambil mengusap wajahku perlahan.
Dia langsung melanjutkan apa yang aku kerjakan, “Itu tinggal sedikit lagi kok, Kak..” Kataku masih mengamati pekerjaanku yang sekarang menjadi pekerjaannya.
Sependek aku kenal dengan senior yang satu ini, dia tidak seperti yang aku bayangkan di awal. Terkadang, dia memang menyebalkan dan sok tau. Tapi Kak Al adalah senior yang paling tinggi tingkat kepeduliannya terhadap sesama. Dia bukan tipikal orang yang cuek dan gengsi. Yang aku tau, dia orang yang sangat ramah. Tidak aneh jika dia punya banyak kenalan di sekolah ini.
Aku hanya merasa sedikit aneh. Kenapa aku selalu terlibat dengan tim yang dipimpin Kak Al? Padahal aku selalu berharap bisa berpisah pekerjaan −dengannya. Aku juga ingin bekerja bersama mereka yang sama-sama perempuan. Mungkin rasanya akan lebih nyaman karena tidak harus menjaga jarak seperti ini. Aku hanya takut akan ada fitnah tidak baik nantinya, hmm.
*-*-*
Pagi ini terasa begitu berbeda. Aku merasa langit lebih cerah, matahari lebih ceria dan kicauan burung lebih merdu dari biasanya. Bahkan aku juga menyambut hari ini dari detik pertamanya tadi malam. Aku rela tidur lebih larut dari biasanya. Aku ingin hari ini terasa special. Aku juga berharap ada sesuatu mengesankan yang akan terjadi di hari ini. Semoga semuanya sesuai harapan..
Kakiku bergerak menyusuri koridor sekolah yang masih sepi. Aku sengaja berangkat lebih pagi. Aku hanya ingin menikmati suasana sunyi pagi di sekolah. Dira yang sudah biasa sampai di sekolah sebelumku sedikit terkejut karena kali ini aku lebih dulu sampai. Dia hanya menatapku heran sambil memastikan semuanya baik-baik saja.
Memasuki jam istirahat, Dira mengotak-atik smartphone-nya dan langsung menepuk dahinya pelan. Seperti baru saja melupakan sesuatu. Aku yang masih sibuk menyalin catatan di papan tulis hanya mengamatinya heran. Mungkin dia baru teringat ulang tahunku.
Dira menyenggol lenganku sengaja, “Eh, jadi.. Hari ini kamu aneh gara-gara..” Aku langsung beralih perhatian dan menatapnya. Wajahnya sangat ceria. Aku tersenyum lega, akhirnya gadis berambut sebahu ini sadar, “Happy Birthday, Hifasya Azzahra! Oh, aku harus menyirammu di taman hari ini. Dan kamu harus mentraktir aku hari ini, oke?” Ujarnya sambil berteriak riang dan membuat seisi kelas seketika berpusat perhatian kepadaku.
Dia memelukku erat dan masih memasang wajah cerianya itu. Aku tertawa karenanya. Rupanya aku tidak salah mengira. Dira baru mengingat ulang tahunku. Dan dia juga membuatku dikelilingi teman sekelas seketika. Mereka bergantian memberiku selamat dan semuanya mengatakan hal yang sama –Selamat ulang tahun. Yap, ini memang hari ulang tahunku. Itulah kenapa semuanya terasa special.
Dira langsung menarikku ke kantin. Gadis berkulit putih ini langsung memesan sebuah menu special. Aku hanya duduk menurutinya sambil mengamati sekitar. Kedua mataku bergerak mencari seseorang. Aku tidak tau apa alasanku ingin menemukan sosoknya sekarang.
Aku sedikit putus asa. Setelah menyapu pandangan ke seluruh penjuru kantin, aku tidak menemukan Kak Alvaro. Iya, aku mencarinya. Aku ingin melihatnya meskipun hanya punggungnya saja. Dan itu cukup bodoh. Apa yang bisa aku harapkan dari dia?
*-*-*
Ting! Tung!
Suara bel rumahku memanggil. Seseorang datang. Aku langsung beranjak dari sofa depan tv untuk menemui siapa yang datang, “Tunggu sebentar..” Ujarku sedikit berteriak.
“Assalamu’alaikum,” Ujar tamu kali ini ketika aku membuka pintu.
Aku mengerutkan alisku, “Wa’alaikumussalam. Dira?”
“Aku mencari Ifa. Dia ada di rumah?” Katanya membuat aku tersenyum. Dia memang sering bercanda meskipun belum ahli. Tapi itu cukup menghiburku.
“Oh ayolah, Dir. Kamu selalu bercanda. Ada apa? Ayo masuk,” Balasku sambil mempersilahkannya masuk.
Dia tersenyum sambil memamerkan giginya yang rapi, “Nggak usah, Fa. Sebenernya aku mau ngajak kamu ke taman. Aku mau beli.. Siomay. Nah, tapi aku cuma nggak mau sendirian kesana,” Jelasnya. Dari tatapannya dia terlihat sangat meminta aku mengiyakan ajakannya.
Aku berpikir sejenak, “Sebenernya agak aneh, tapi.. Yaudahlah, sebentar, ya!” Aku langsung masuk sekejap untuk berpamitan dengan Ibu dan menyambar ponselku yang berada dimeja.
Aku berjalan beriringan dengan Dira. Dia masih bersemangat seperti biasa. Dan wajahnya juga terlihat biasa saja ketika tukang siomay yang dia maksud tidak ada di tempat. Dia tidak keberatan sama sekali. Semuanya semakin aneh dan tidak wajar. Padahal aku juga tau Dira tidak biasa makan siomay. Tapi Dira masih mengajakku berkeliling taman kompleks.
“SURPRISE!!!!!” Terdengar riuh teriakan banyak orang yang tertuju padaku. Mereka berasal dari belakangku. Sontak aku terkejut dan langsung berbalik badan.
Aku tersenyum lebar sekaligus tidak menyangka. Mereka semua mayoritas partner kerjaku di organisasi. Tapi banyak juga teman sekelasku disini. Rasanya semua diluar bayanganku. Mereka mampu menyiapkan ini semua tanpa aku tau. Kejutan ini benar-benar berhasil. Satu hal yang paling tidak aku sangka tapi paling berkesan yaitu Kak Al yang membawa kue ulang tahunku. Dan semuanya kompak menunjukkan Kak Al yang menyiapkan dan merencanakan ini semua.
‘Happy Birthday, Ifa!’ Seperti biasa mereka serentak menyanyikan sebuah lagu khas ulang tahun dan tiup lilin. Kak Al yang terlihat ceria masih memegangi kue ulang tahunku. Semuanya larut dalam keseruan yang berawal dari keisengan Dira yang melumuri wajahku dengan krim kue.
Aku bahagia. Sangat bahagia karena dikelilingi orang yang peduli denganku. Aku sempat tidak melihat Kak Al disekolah tadi. Dan ternyata dia telah menyiapkan semuanya. Aku hanya tidak menyangka dia tidak lupa ulang tahunku. Walaupun sebenarnya aku sendiri lupa apakah aku pernah memberi taunya tentang ini. Aku tidak tau ternyata dia sepeduli ini..
“Selamat makin tua, Ifa! Surprise-nya keren, kan?” Kata Kak Al percaya diri.
*-*-*
Aku tidak tau kenapa semuanya mulai berubah sekarang. Aku merasa jantungku berdebar ketika menyadari Kak Al ada di dekatku. Sedikit gugup, ketika menyadari perhatian Kak Al padahal sudah biasa terjadi. Dia yang menyebalkan berubah menjadi sosok yang sebaliknya. Semuanya terasa aneh. Aku juga merasa bahagia ketika dia menyapaku meskipun hanya sekilas. Ada apa denganku?
Hujan seketika turun menghujam bumi dengan tetesan airnya. Aku yang sedang berjalan santai di bahu jalan langsung berlari agar secepat mungkin menemukan tempat berteduh yang tepat. Hujan di weekend bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku tidak ada persiapan apapun untuk menghadapi hujan. Aku hanya selesai mengantar Virna ke tempat bimbingan belajarnya. Di hari Minggu yang cerah, kenapa hujan turun tiba-tiba seperti ini?
Kakiku berhenti di depan sebuah toko buku langgananku. Aku melihat sebuah buku incaranku di etalase toko itu. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk dan menjelajahi rak buku dengan genre favoritku. Sambil berkeliling, aku melihat Kak Al dengan jarak tiga meter dari tempatku berdiri. Dia tampak sedang mencari suatu buku di rak seberang.
“Kak Al?” Aku mencoba membuatnya menoleh. It works! Dia langsung mengalihkan perhatiannya dengan berbalik badan.
“Hei, Ifa! Kebetulan banget ketemu disini, ya,” Ujarnya basa-basi. Dia tersenyum gugup dan masih mencoba sehangat mungkin. Aku tau, mungkin dia sedikit bingung apa yang harus dikatakan selain itu.
Aku melirik buku yang dipegangnya, “Kak, lagi cari buku apa?”
“Ini buku titipan Mama. Kamu sendiri cari buku apa, Fa?” Tanyanya kembali setelah mengamati aku yang belum menenteng buku satupun.
“Novel romance. Tadi aku lihat novel incaranku di etalase depan, tapi belum tau tempatnya dimana,” Jawabku jujur sambil masih memasang senyum gugup. Aku harap dia tidak membantuku mencari novel itu. Aku tidak tau obrolan apa yang pas disela-sela pencarian, hmm..
“Mau aku bantu?” Katanya mencoba menawarkan bantuan. Dia langsung beralih kearah rak buku genre favoritku.
Aku sedikit terbelalak, apa yang ada di bayanganku langsung terjadi, “Biar aku cari sendiri, Kak. Aku juga mau cari-cari yang lain..” Aku harap ini alasan yang masuk akal untuk mencegahnya.
“Oke, yaudah. Aku duluan, ya, Fa!” Ujarnya sambil beranjak ke arah antrian kasir. Dia masih memamerkan lengkungan bibirnya itu sampai punggungnya menghilang dibalik rak buku.
Aku mengangguk. Dan menghela napas lega kemudian. Semuanya terasa lemas setelahnya. Aku bisa mengendalikan kegugupanku dan itu sebuah kemajuan yang baik. Mungkin dia merasa aku aneh, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk terlihat sewajar mungkin meskipun itu sulit.
Aku hendak berbalik mencari dimana novel incaranku itu. Tapi sebuah rasa penasaran tiba-tiba merasuk ke pikiranku. Aku berdiri di depan rak buku tempat Kak Al mendapat bukunya tadi. Kira-kira buku macam apa yang dia cari? Pertanyaan paling mendasar yang terlintas di otakku semakin membuat rasa ingin tauku membuncah.
Aku mengambil salah satu buku dari rak itu. Setelah membaca judulnya, aku merasa aneh sekaligus asing. Itu buku tentang agama Kristen! Aku bisa memastikannya. Aku buru-buru menaruhnya kembali setelah menyadarinya. Dan saat itu juga aku baru tau, aku ditatap aneh oleh beberapa orang sekitar. Mungkin mereka heran, apa yang dilakukan gadis berkerudung ini pada buku-buku di rak itu.
Berbagai kesimpulan bermunculan begitu saja di pemikiranku. Aku cukup terkejut dan tidak menyangka. Selama ini aku memang tidak terlalu menaruh perhatian pada apa agama Kak Al. Semua kesimpulan itu menjelma menjadi sebuah pertanyaan besar, apa mungkin Kak Al non-islam?
*-*-*
Siang ini keadaan sekolah cukup sepi. Sekarang hari Jum’at. Dan sudah suatu kewajiban mayoritas laki-laki muslim di sekolahku shalat Jum’at. Aku yang berasal dari ruang guru tidak sengaja melintasi lapangan basket indoor yang pintunya terbuka. Aku bisa pastikan ada aktivitas di dalamnya. Beberapa laki-laki yang kebanyakan merupakan seniorku terlihat sedang asyik memainkan bola basket. Aku cukup penasaran. Entah apa yang membuat aku tertarik dengan ini tapi aku ingin masuk diam-diam.
Rasa penasaranku terbalas. Aku melihat Kak Al diantara banyak siswa laki-laki itu. Aku mengenal beberapa diantara mereka. Kebanyakan –dan mungkin semuanya− dari mereka sudah aku ketahui sebagai non-muslim. Jadi Kak Al memang non-muslim?
Aku berjalan lemas sampai ke kelas. Aku tidak tau kenapa semuanya menjadi diluar perkiraanku. Aku memikirkan banyak kemungkinan lain, tapi semuanya malah membuatku ragu dari keyakinan sebelumnya. Aku hanya takut berkesimpulan.
“Jadi kamu baru tau, Fa?” Ujar Dira seperti tidak percaya. Respon dari dia ini sudah menjelaskan semuanya. Dira masih memandangiku dengan tatapan keheranan. Sekarang semuanya bukan dugaanku lagi. Itu memang faktanya.
Aku menghela napas, “Aku pikir, dia muslim. Ya, seperti kebanyakan temanku. Aku cuma tidak menyangka..” Jawabku seadanya. Aku sengaja menggantung ucapanku dan tidak ada niat untuk melanjutkannya lagi.
Aku tidak tau harus merasakan apa sekarang. Rasanya ini semua seperti mimpi. Hal sepele yang aku remehkan ternyata dapat menjadi kejutan besar yang tidak pernah disangka sebelumnya. Aku hanya bingung, kenapa aku begitu peduli dengan agama Kak Al? Kami hanya partner kerja. Dan kami juga tidak sengaja saling mengenal. Dia cuma seniorku. Sejak berseragam merah putih juga kita diajarkan menghargai perbedaan agama. Tapi kali ini terasa berbeda. Apa aku telah berharap bisa bersama kak Al? Ini konyol. Itu tidak akan bisa.
*-*-*
To be continue...
Sengaja saya posting dalam dua part nih!
Ini cerpen terpanjang saya looh, dan nggak nyangka banget
semuanya bisa selesai dalam satu hari, yap!
Langsung lanjut ke part berikutnya ya:)
Secara keseluruhan bagus, cuma ada sedikit yang menggelitik. Ada anak umur 6 tahun sudah bisa tanya pacar, rasanya kurang pas. Tapi itu pendapat dari sudut pandang saya. Setiap penulis bisa memiliki sudut pandang yang berbeda. Maaf kalau saya lancang memberi komentar.
BalasHapusOh, itu muncul dari spontanitas aja. Nggak kepikiran kalo dirasa kurang pas. Tapi, semua orang berhak berpendapat:) Terima kasih untuk komentarnya.. Semoga saya bisa lebih baik lagi dalam menulis:)
BalasHapus