“Hai, San..” Sebuah sapaan ramah menyeruak hingga membuat seorang gadis yang merasa terpanggil menghentikan langkahnya dan menoleh mencari sumber suara. Gerakan matanya berhenti setelah dia melihat seorang laki-laki yang tengah tersenyum menatapnya. Bisa dia pastikan, dialah si pemilik suara itu.
Gadis itu memutar bola
matanya, “Huh, lo lagi lo lagi. Ngapain, sih, lo?” tanyanya sambil memalingkan
pandangannya ke tempat lain. Dia tampak tidak berniat menanggapi laki-laki itu.
“Sinis amat, San. Lo
udah pulang, kan?” kata laki-laki itu masih mempertahankan keramahannya.
Sepertinya dia tidak menganggap sikap Sandra yang dingin itu.
Gadis berambut sebahu
itu mengusap keningnya sejenak, “Gini, ya, Riv, kalo belum waktunya pulang
ngapain gue berkeliaran di luar kelas sambil bawa tas kaya gini..” Sandra
kembali melanjutkan langkahnya menyusuri koridor panjang sekolahnya,
meninggalkan Rivo yang masih terdiam mencerna jawabannya.
Laki-laki beralis tebal
itu tampak pasrah sekarang, “Ya, oke oke..”
Sejurus kemudian, Rivo
tanpa ragu lagi langsung mengikuti kemana arah langkah kaki Sandra. Dia hanya
berjalan di belakang Sandra sambil memegangi tali tas ransel yang dikenakannya.
Dia masih tidak mengerti kenapa gadis yang sudah dikenalnya sejak duduk di
bangku SD itu seketika berubah menjadi dingin dan sinis kepadanya belakangan
ini. Satu hal yang masih menjadi misteri untuknya, ada apa dengan Sandra yang
sekarang?
“Daritadi lo masih
ngikutin gue, Riv?” Sandra berbalik tiba-tiba. Wajahnya menampakkan ekspresi
tidak habis pikir setelah melihat laki-laki di depannya ini. Rivo yang sudah
tertangkap basah hanya bisa tersenyum pucat. Dia sudah pasrah jika Sandra akan
memakinya lebih lanjut.
“Mm, pulang bareng gue,
yuk, San..” Ajak Rivo seketika bersemangat.
“Enggak. Biar gue pulang
sendiri aja.” tolak Sandra tegas. Dia langsung meninggalkan Rivo yang masih
berwajah cerah menanggapi jawabannya. Sudah dia duga, pasti Sandra menolaknya.
Rivo menghela napas
panjangnya, “Eh, San, tunggu sebentar,” katanya sambil mempercepat langkahnya
untuk menyamai posisi Sandra.
“Udahlah, Riv, gue mau
pulang sendiri.” Ujar Sandra dengan melemparkan tatapan tajam ke arah Rivo yang
ada di sebelahnya.
Rivo beranjak ke arah
lain. Sandra yang menyadari Rivo tidak mengikutinya lagi tampak pura-pura tidak
peduli. Dia memilih melanjutkan langkahnya meninggalkan gerbang sekolah dan
berjalan menyusuri jalanan yang panas. Dari wajahnya, dia memang menampilkan
ekspresi lega karena Rivo tidak lagi mengikutinya. Tapi jauh di dalam hatinya
dia kecewa. Kenapa Rivo tidak bertahan mengajaknya pulang bersama? Mungkin benar,
Rivo telah mengabaikannya setelah dia mendapatkan hati seorang gadis jelita nan
popular seantero sekolah.
‘Udahlah, San. Rivo
pasti lebih milih pulang bareng Lisa.’ Terdengar suara menggema dari dalam diri Sandra sendiri.
Entah suara itu berasal dari mana tapi Sandra setuju dengan suara itu. Suara
itu benar. Dia semakin yakin Rivo sekarang sudah berubah.
Tiiiiiiiiiiiiiin!!!!!!!!
Suara menyebalkan yang
selalu memaksa seseorang untuk minggir dari jalan raya. Sandra mendesah kesal.
Orang macam apa yang tetap membunyikan klakson sekencang itu di belakangnya
padahal jalanan sedang lengang?
Gadis bermata hitam
legam itu membalikkan badannya. Rasa ingin taunya sangat besar. Dia penasaran
klakson siapa yang telah membuatnya kesal itu. Sambil menyiapkan tatapan
sinisnya, dia mengamati motor yang klaksonnya berbunyi itu sampai akhirnya dia
merasa tidak asing dengan semuanya. Rivo.
Sandra melotot melihat
Rivo yang tertawa cengengesan, “Apa-apaan, sih, lo?!”
“Lo yang apa-apaan.
Orang disuruh bareng gue aja malah maksain diri kaya gini.” Jawab Rivo
kemudian. Terdengar rasa khawatir terselip dalam nada bicaranya.
Jauh di dalam
perasaanya, Sandra tidak menyangka Rivo masih sepeduli ini dengannya. Pikiran
yang dari tadi menggelayuti pikirannya salah. Dia sudah salah berprasangka
dengan sahabat lamanya ini. Kesabaran Rivo terlalu banyak. Seingat Sandra, Rivo
belum pernah marah dengannya. Berbanding terbalik dengan Sandra yang sering
kesal kepada Rivo. Tapi kali ini, Sandra sengaja ingin menguji dimana batas
kesabaran Rivo.
“Udah cepetan naik,
San,” kata Rivo kemudian.
“Enggak. Gue kan udah
bilang, gue mau pulang sendiri aja. Biarin gue pulang sendiri, Riv,” Sandra
berjalan mendahului Rivo yang masih berhenti di atas motornya.
Rivo menghela napas
panjangnya lagi, “Yakin lo mau jalan dan pulang sendiri, San?” tanyanya pelan
sambil menjalankan motornya perlahan untuk mengimbangi Sandra yang berjalan
kaki di sebelahnya.
Sandra mengangguk yakin,
“Iyalah.”
“Yaudah, ya.” Rivo
buru-buru menarik gas motornya dan dengan cepat melesat dari posisi awalnya
tadi. Dari kaca spion motornya, dia mengamati wajah Sandra yang semakin kecil
dan jauh. Dia berharap akan mendengar Sandra memanggilnya kembali dan menarik
semua tolakan yang diberikannya tadi. Tapi sampai wajah Sandra tidak terlihat
lagi, dia tidak kunjung mendengar suara itu.
Akhirnya punggung Rivo
menghilang dari pandangan Sandra. Dia tampak mengutuk dirinya sendiri. Kenapa
dia harus menolak Rivo lagi? Seharusnya Rivo tidak meninggalkannya seperti itu.
Dia berharap Rivo akan bertahan disini menemaninya. Apa hanya sebatas itu Rivo
bertahan untuknya? Sekarang Rivo telah pergi. Mungkin Rivo telah menyerah
menghadapi sikap dingin Sandra belakangan ini. Mungkin dia sudah tidak mengerti
lagi bagaimana mencairkan hati Sandra yang bersikap sinis terhadapnya. Sandra
merasa sangat bodoh.
Udara lembab bertiup memainkan rambut indah Sandra yang kecoklatan itu. Aneh,
karena jelas-jelas tadi matahari dengan gagahnya bertengger tepat diatas
kepala. Tapi sekarang, cuaca panas itu berubah seketika. Rasanya sang mega
mendung telah menduduki seluruh langit sehingga matahari tertutupi. Gumpalan
awan hitam itu seperti telah siap menghujani bumi dengan air.
Sandra masih berjalan sendiri di pinggir jalan itu. Matanya hanya menatap lurus
ke depan meneliti setiap jengkal jalanan yang akan dia jejaki. Ada perasaan
kecewa terbesit dalam hatinya. Tentu saja dia menyesal telah menyia-nyiakan
kesempatan pulang bersama Rivo yang mungkin akan bisa membuat persahabatannya
dengan Rivo kembali membaik. Selain itu dia juga kecewa ternyata Rivo lebih
memilih meninggalkannya. Rivo memang sulit ditebak batas kesabarannya.
“Jalan sendirian aja, nih? Boleh gue temenin?” Suara itu membuyarkan semua
lamunan Sandra. Sontak dia menoleh menatap sumber suara itu.
“Rivo?” Kata Sandra tidak menyangka. “Lo… lo belum pulang?” lanjutnya lagi, dia
terlihat sedikit gugup menatap wajah Rivo yang masih menyuguhkan senyuman
untuknya.
Rivo berjalan berdampingan dengan Sandra. Kedua tangannya masih menuntun sepeda
motornya. Sejak tadi, dia merasa gelisah telah meninggalkan Sandra berjalan
sendiri. Tanpa pikir panjang lagi, Rivo langsung memutar balik motornya dan
memilih berjalan kaki menuntun motornya agar bisa mengikuti Sandra perlahan
dari belakang. Tapi Sandra terlalu menikmati perjalanannya. Menurut Rivo,
Sandra berjalan layaknya Siput yang membawa rumahnya, lambat sekali.
“Gimana bisa gue pulang dengan tenang kalo belum mastiin lo udah sampe rumah
dengan selamat..” jawab Rivo enteng. Dia menyadari, nada bicara Sandra sudah
sedikit menurun. Rivo merasa memiliki harapan lagi untuk damai dengan Sandra.
Karena sesungguhnya sahabatnya ini sangat mudah tersentuh hatinya. Mungkin
Sandra sudah mulai mencairkan sikapnya yang belakangan sinis itu.
“Lo ngapain, sih, masih
ngikutin gue, Riv?” Tanya Sandra kemudian. Kali ini mata hitam legamnya menatap
manik Rivo yang teduh. Setelah belakangan ini Sandra selalu kabur sebelum Rivo
selesai berbicara.
Rivo tertawa renyah, “Lo
mending diikutin sama gue atau orang lain?”
Sandra membisu sejenak.
Rintik-rintik hujan terasa menghujam tubuh mereka. Memang tidak terlalu deras,
tapi hujan itu cukup lebat untuk sekedar membuat tubuh mereka basah dalam
beberapa menit.
“Karena lo udah ngikutin
gue dari tadi, sekarang giliran gue yang ngikutin lo mau tetep lanjut atau
berteduh..” Sandra mengusap wajahnya yang mulai basah. Dia juga menyingkirkan
rambut yang menghalangi wajahnya sambil masih menunggu keputusan Rivo.
Rivo masih berpikir.
Kemudian tangannya menunjuk sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan yang masih
tampak sepi. Rivo berjalan mendahului Sandra ke arah kedai itu sambil masih
memegangi motornya. Sandra hanya mengekor Rivo dari belakang.
Atap sederhana dari
genteng tanah liat yang terlihat rapuh pada pasak-pasaknya itu sekarang menjadi
pelindung Rivo dan Sandra dari guyuran hujan. Mereka duduk di bangku panjang
yang terbuat dari bambu sederhana. Sandra mengusap seragam putih abu-abunya
yang terlihat basah kuyup itu. Angin semilir membawa aroma hujan yang segar
hingga merasuk ke dalam pori-pori kulit. Sandra menggigil kedinginan.
“Dingin, ya, San?” kata
Rivo sambil masih mengamati Sandra yang berusaha menghangatkan tubuhnya dengan
menggosokkan kedua telapak tangannya.
“Mm, enggak, kok. Biasa
aja, Riv..” jawab Sandra mencoba terlihat kuat meskipun dia telah berbohong.
Sandra hanya tidak mau merepotkan Rivo lagi. Dia masih belum selesai menguji
dimana batas kesabaran Rivo.
“Lo bohong, San. Gue
tau, kok.” Rivo yang menyadari kejanggalan dari jawaban Sandra hanya
menyeringai, “Lo kenapa, sih, belakangan ini sinis sama gue?” sambungnya.
Sandra menunduk. Dia
tidak berani memampangkan iris hitamnya itu. Seketika hatinya bimbang. Dia
menyadari ada sesuatu lain dibalik alasannya menguji kesabaran Rivo akhir-akhir
ini. Rivo memang selalu sabar menghadapinya selama ini. Tapi bukankah tidak
masalah kalo Rivo memang menjadi orang yang sabar untuk Sandra? Pikiran dan
hatinya seperti sedang bekerja keras menemukan jawaban apa yang memang menjadi
alasan dasarnya.
‘Gue cemburu lo pacaran
sama Lisa, Riv. Gue gak mau lo lupain gue cuma gara-gara Lisa.’
“Sandra?” Rivo lebih
merendahkan kepalanya lagi. Mencoba mencari pandangan Sandra yang masih
menunduk.
Gadis berkulit kuning
langsat itu mengulang sebuah kata yang dirasanya perlu diucapkan dengan
penekanan, “Sinis?”
“Iya, lo sinis banget
sama gue. Sikap lo dingin ke gue. Lo kenapa berubah, San?”
“Gue…” Sandra tampak
gelisah. Dia mencoba menstabilkan kembali perasaannya dengan menggigit bibir
bagian bawahnya. “Gue… nggak mau lo terlalu deket sama gue, Riv. Gue nggak mau
pacar lo marah ke gue,” Akhirnya Sandra berani mengangkat kepalanya.
Rivo mengerutkan
dahinya, “Pacar?”
“Lisa.”
“Ya Ampun. Jadi lo juga
percaya gossip dari Genk-nya Elsa, San?” Rivo tampak tidak habis pikir. Dia
menampilkan deretan giginya yang rapi dan menggeleng-gelengkan kepalanya,
heran. “Gue nggak nyangka lo percaya sama gosipnya mereka. Kan lo yang bilang
sendiri, mereka itu tong kosong berbunyi nyaring, San..”
Sandra menampakkan
ekspresi datarnya. Dia masih tidak mengerti apa maksud Rivo, “Jadi?”
Rivo terkekeh melihat
ekspresi Sandra yang sudah lama tidak dilihatnya itu, “Mana mungkin gue pacaran
sama Lisa. Dia itu ditaksir sama Reyn. Masa iya gue mau ngerebut pujaan hati
temen gue sendiri. Aneh, lo..” kata Rivo sambil mengacak-acak rambut Sandra gemas.
Ada seulas senyum di
bibir Sandra sekarang, “Tapi gue masih bingung, Riv..”
“Kenapa?”
“Nah, kenapa lo masih
peduli sama gue? Padahal kan gue udah sinis sama lo,”
Rivo menampilkan senyum
mautnya lagi, “Bagi gue lo itu lebih dari sekedar sahabat. Jangan heran kalo
gue masih peduli sama lo walaupun lo sinis sama gue. Gue tau kok lo pasti punya
alasan kuat bersikap kaya gitu. Gue kenal banget sama lo. Karna gue disini buat
lo, San..”
Kedua alis Sandra hampir
tertaut satu sama lain. Dia masih berpikir apa maksud dari jawaban Rivo ini.
Matanya tertarik menatap rintik hujan yang semakin lebat saja. Hawa dingin
makin masuk hingga menusuk tulang. “Maksudnya?”
Rivo lagi-lagi menghela
napas panjangnya, “Jadi lo belum tau, ya, San?”
Sandra menggeleng cepat.
Dia sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang akan dikatakan Rivo. Jantungnya
berpacu cepat sekali.
“Payah! Kita kan
dijodohin dari kecil, San..”
Manik hitam Sandra
membulat seketika, “Hah?”
“Jadi jangan takut gue
lupain, jangan takut gue abaikan. Gue akan selamanya buat lo, San.” Jawab Rivo
yang membuat darah Sandra berdesir-desir. “Eh, sekarang ngaku, deh. Lo cemburu,
kan, pas gue di gosipin pacaran sama Lisa?” Lanjutnya sambil tersenyum jahil.
Alisnya tampak naik turun.
“Enggak, kok..”
Rivo menyeringai manis,
“Bohong. Buktinya lo sampe ngambek, gitu..”
Sandra tampak berpikir
keras. Dia sedang berusaha mencari sesuatu agar bisa mengalihkan perhatian Rivo
yang sedang memojokkannya. “Eh, udah reda, gue mau pulang, Riv..”
Kali ini Rivo mengalah
lagi. Dia memang tidak bisa memaksa Sandra mengakui sesuatu walupun sudah jelas
terlihat. “Okelah..”
Sandra tersenyum menang.
Dia berhasil mengalihkan topik pembicaraan mereka. Dia tau Rivo tidak pernah berusaha
memperjelas jawaban yang sengaja tidak terjawab oleh Sandra. Setidaknya, kali
ini dia tidak perlu menjawab pertanyaan Rivo itu.
“San, tapi kalo kita
beneran jadi dijodohin, lo mau nerima gue nggak?” Rivo spontan bertanya
sekedarnya. Dia hanya ingin mendengar bagaimana respon Sandra sekarang.
Sandra bergumam di dalam
hatinya, ‘Semoga kita memang berjodoh, Riv..’
“Mungkin…
Entahlah..” Sandra yang sudah duduk membonceng di belakang Rivo menarik
kedua sudut bibirnya. Sekarang, dia merasa hatinya memiliki kepastian. Rivo
hanya untuknya, selamanya…
***
Apabila masih menemui typo atau
kata yang belum benar mohon kritik
dan sarannya agar diksi saya bisa lebih
baik lagi ke depannya.
Thanks for reading~
-Mia
Bagus mi, karakter Sandranya *sedikit* mirip sm writer nya wkwk *peace n.nv
BalasHapusHaihh, makasiiih;3 Emang iya mirip aku yaa hmm hahaha
BalasHapus