Senin, 03 Februari 2014

Selamanya Untukmu


          “Hai, San..” Sebuah sapaan ramah menyeruak hingga membuat seorang gadis yang merasa terpanggil menghentikan langkahnya dan menoleh mencari sumber suara. Gerakan matanya berhenti setelah dia melihat seorang laki-laki yang tengah tersenyum menatapnya. Bisa dia pastikan, dialah si pemilik suara itu.
Gadis itu memutar bola matanya, “Huh, lo lagi lo lagi. Ngapain, sih, lo?” tanyanya sambil memalingkan pandangannya ke tempat lain. Dia tampak tidak berniat menanggapi laki-laki itu.

“Sinis amat, San. Lo udah pulang, kan?” kata laki-laki itu masih mempertahankan keramahannya. Sepertinya dia tidak menganggap sikap Sandra yang dingin itu.
Gadis berambut sebahu itu mengusap keningnya sejenak, “Gini, ya, Riv, kalo belum waktunya pulang ngapain gue berkeliaran di luar kelas sambil bawa tas kaya gini..” Sandra kembali melanjutkan langkahnya menyusuri koridor panjang sekolahnya, meninggalkan Rivo yang masih terdiam mencerna jawabannya.
Laki-laki beralis tebal itu tampak pasrah sekarang, “Ya, oke oke..”
Sejurus kemudian, Rivo tanpa ragu lagi langsung mengikuti kemana arah langkah kaki Sandra. Dia hanya berjalan di belakang Sandra sambil memegangi tali tas ransel yang dikenakannya. Dia masih tidak mengerti kenapa gadis yang sudah dikenalnya sejak duduk di bangku SD itu seketika berubah menjadi dingin dan sinis kepadanya belakangan ini. Satu hal yang masih menjadi misteri untuknya, ada apa dengan Sandra yang sekarang?
“Daritadi lo masih ngikutin gue, Riv?” Sandra berbalik tiba-tiba. Wajahnya menampakkan ekspresi tidak habis pikir setelah melihat laki-laki di depannya ini. Rivo yang sudah tertangkap basah hanya bisa tersenyum pucat. Dia sudah pasrah jika Sandra akan memakinya lebih lanjut.
“Mm, pulang bareng gue, yuk, San..” Ajak Rivo seketika bersemangat.
“Enggak. Biar gue pulang sendiri aja.” tolak Sandra tegas. Dia langsung meninggalkan Rivo yang masih berwajah cerah menanggapi jawabannya. Sudah dia duga, pasti Sandra menolaknya.
Rivo menghela napas panjangnya, “Eh, San, tunggu sebentar,” katanya sambil mempercepat langkahnya untuk menyamai posisi Sandra.
“Udahlah, Riv, gue mau pulang sendiri.” Ujar Sandra dengan melemparkan tatapan tajam ke arah Rivo yang ada di sebelahnya.
Rivo beranjak ke arah lain. Sandra yang menyadari Rivo tidak mengikutinya lagi tampak pura-pura tidak peduli. Dia memilih melanjutkan langkahnya meninggalkan gerbang sekolah dan berjalan menyusuri jalanan yang panas. Dari wajahnya, dia memang menampilkan ekspresi lega karena Rivo tidak lagi mengikutinya. Tapi jauh di dalam hatinya dia kecewa. Kenapa Rivo tidak bertahan mengajaknya pulang bersama? Mungkin benar, Rivo telah mengabaikannya setelah dia mendapatkan hati seorang gadis jelita nan popular seantero sekolah.
‘Udahlah, San. Rivo pasti lebih milih pulang bareng Lisa.’ Terdengar suara menggema dari dalam diri Sandra sendiri. Entah suara itu berasal dari mana tapi Sandra setuju dengan suara itu. Suara itu benar. Dia semakin yakin Rivo sekarang sudah berubah.
Tiiiiiiiiiiiiiin!!!!!!!!
Suara menyebalkan yang selalu memaksa seseorang untuk minggir dari jalan raya. Sandra mendesah kesal. Orang macam apa yang tetap membunyikan klakson sekencang itu di belakangnya padahal jalanan sedang lengang?
Gadis bermata hitam legam itu membalikkan badannya. Rasa ingin taunya sangat besar. Dia penasaran klakson siapa yang telah membuatnya kesal itu. Sambil menyiapkan tatapan sinisnya, dia mengamati motor yang klaksonnya berbunyi itu sampai akhirnya dia merasa tidak asing dengan semuanya. Rivo.
Sandra melotot melihat Rivo yang tertawa cengengesan, “Apa-apaan, sih, lo?!”
“Lo yang apa-apaan. Orang disuruh bareng gue aja malah maksain diri kaya gini.” Jawab Rivo kemudian. Terdengar rasa khawatir terselip dalam nada bicaranya.
Jauh di dalam perasaanya, Sandra tidak menyangka Rivo masih sepeduli ini dengannya. Pikiran yang dari tadi menggelayuti pikirannya salah. Dia sudah salah berprasangka dengan sahabat lamanya ini. Kesabaran Rivo terlalu banyak. Seingat Sandra, Rivo belum pernah marah dengannya. Berbanding terbalik dengan Sandra yang sering kesal kepada Rivo. Tapi kali ini, Sandra sengaja ingin menguji dimana batas kesabaran Rivo.
“Udah cepetan naik, San,” kata Rivo kemudian.
“Enggak. Gue kan udah bilang, gue mau pulang sendiri aja. Biarin gue pulang sendiri, Riv,” Sandra berjalan mendahului Rivo yang masih berhenti di atas motornya.
Rivo menghela napas panjangnya lagi, “Yakin lo mau jalan dan pulang sendiri, San?” tanyanya pelan sambil menjalankan motornya perlahan untuk mengimbangi Sandra yang berjalan kaki di sebelahnya.
Sandra mengangguk yakin, “Iyalah.”
“Yaudah, ya.” Rivo buru-buru menarik gas motornya dan dengan cepat melesat dari posisi awalnya tadi. Dari kaca spion motornya, dia mengamati wajah Sandra yang semakin kecil dan jauh. Dia berharap akan mendengar Sandra memanggilnya kembali dan menarik semua tolakan yang diberikannya tadi. Tapi sampai wajah Sandra tidak terlihat lagi, dia tidak kunjung mendengar suara itu.
Akhirnya punggung Rivo menghilang dari pandangan Sandra. Dia tampak mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia harus menolak Rivo lagi? Seharusnya Rivo tidak meninggalkannya seperti itu. Dia berharap Rivo akan bertahan disini menemaninya. Apa hanya sebatas itu Rivo bertahan untuknya? Sekarang Rivo telah pergi. Mungkin Rivo telah menyerah menghadapi sikap dingin Sandra belakangan ini. Mungkin dia sudah tidak mengerti lagi bagaimana mencairkan hati Sandra yang bersikap sinis terhadapnya. Sandra merasa sangat bodoh.
            Udara lembab bertiup memainkan rambut indah Sandra yang kecoklatan itu. Aneh, karena jelas-jelas tadi matahari dengan gagahnya bertengger tepat diatas kepala. Tapi sekarang, cuaca panas itu berubah seketika. Rasanya sang mega mendung telah menduduki seluruh langit sehingga matahari tertutupi. Gumpalan awan hitam itu seperti telah siap menghujani bumi dengan air.
            Sandra masih berjalan sendiri di pinggir jalan itu. Matanya hanya menatap lurus ke depan meneliti setiap jengkal jalanan yang akan dia jejaki. Ada perasaan kecewa terbesit dalam hatinya. Tentu saja dia menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan pulang bersama Rivo yang mungkin akan bisa membuat persahabatannya dengan Rivo kembali membaik. Selain itu dia juga kecewa ternyata Rivo lebih memilih meninggalkannya. Rivo memang sulit ditebak batas kesabarannya.
            “Jalan sendirian aja, nih? Boleh gue temenin?” Suara itu membuyarkan semua lamunan Sandra. Sontak dia menoleh menatap sumber suara itu.
            “Rivo?” Kata Sandra tidak menyangka. “Lo… lo belum pulang?” lanjutnya lagi, dia terlihat sedikit gugup menatap wajah Rivo yang masih menyuguhkan senyuman untuknya.
            Rivo berjalan berdampingan dengan Sandra. Kedua tangannya masih menuntun sepeda motornya. Sejak tadi, dia merasa gelisah telah meninggalkan Sandra berjalan sendiri. Tanpa pikir panjang lagi, Rivo langsung memutar balik motornya dan memilih berjalan kaki menuntun motornya agar bisa mengikuti Sandra perlahan dari belakang. Tapi Sandra terlalu menikmati perjalanannya. Menurut Rivo, Sandra berjalan layaknya Siput yang membawa rumahnya, lambat sekali.
            “Gimana bisa gue pulang dengan tenang kalo belum mastiin lo udah sampe rumah dengan selamat..” jawab Rivo enteng. Dia menyadari, nada bicara Sandra sudah sedikit menurun. Rivo merasa memiliki harapan lagi untuk damai dengan Sandra. Karena sesungguhnya sahabatnya ini sangat mudah tersentuh hatinya. Mungkin Sandra sudah mulai mencairkan sikapnya yang belakangan sinis itu.
“Lo ngapain, sih, masih ngikutin gue, Riv?” Tanya Sandra kemudian. Kali ini mata hitam legamnya menatap manik Rivo yang teduh. Setelah belakangan ini Sandra selalu kabur sebelum Rivo selesai berbicara.
Rivo tertawa renyah, “Lo mending diikutin sama gue atau orang lain?”
Sandra membisu sejenak. Rintik-rintik hujan terasa menghujam tubuh mereka. Memang tidak terlalu deras, tapi hujan itu cukup lebat untuk sekedar membuat tubuh mereka basah dalam beberapa menit.
“Karena lo udah ngikutin gue dari tadi, sekarang giliran gue yang ngikutin lo mau tetep lanjut atau berteduh..” Sandra mengusap wajahnya yang mulai basah. Dia juga menyingkirkan rambut yang menghalangi wajahnya sambil masih menunggu keputusan Rivo.
Rivo masih berpikir. Kemudian tangannya menunjuk sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan yang masih tampak sepi. Rivo berjalan mendahului Sandra ke arah kedai itu sambil masih memegangi motornya. Sandra hanya mengekor Rivo dari belakang.
Atap sederhana dari genteng tanah liat yang terlihat rapuh pada pasak-pasaknya itu sekarang menjadi pelindung Rivo dan Sandra dari guyuran hujan. Mereka duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu sederhana. Sandra mengusap seragam putih abu-abunya yang terlihat basah kuyup itu. Angin semilir membawa aroma hujan yang segar hingga merasuk ke dalam pori-pori kulit. Sandra menggigil kedinginan.
“Dingin, ya, San?” kata Rivo sambil masih mengamati Sandra yang berusaha menghangatkan tubuhnya dengan menggosokkan kedua telapak tangannya.
“Mm, enggak, kok. Biasa aja, Riv..” jawab Sandra mencoba terlihat kuat meskipun dia telah berbohong. Sandra hanya tidak mau merepotkan Rivo lagi. Dia masih belum selesai menguji dimana batas kesabaran Rivo.
“Lo bohong, San. Gue tau, kok.” Rivo yang menyadari kejanggalan dari jawaban Sandra hanya menyeringai, “Lo kenapa, sih, belakangan ini sinis sama gue?” sambungnya.
Sandra menunduk. Dia tidak berani memampangkan iris hitamnya itu. Seketika hatinya bimbang. Dia menyadari ada sesuatu lain dibalik alasannya menguji kesabaran Rivo akhir-akhir ini. Rivo memang selalu sabar menghadapinya selama ini. Tapi bukankah tidak masalah kalo Rivo memang menjadi orang yang sabar untuk Sandra? Pikiran dan hatinya seperti sedang bekerja keras menemukan jawaban apa yang memang menjadi alasan dasarnya.
‘Gue cemburu lo pacaran sama Lisa, Riv. Gue gak mau lo lupain gue cuma gara-gara Lisa.’
“Sandra?” Rivo lebih merendahkan kepalanya lagi. Mencoba mencari pandangan Sandra yang masih menunduk.
Gadis berkulit kuning langsat itu mengulang sebuah kata yang dirasanya perlu diucapkan dengan penekanan, “Sinis?”
“Iya, lo sinis banget sama gue. Sikap lo dingin ke gue. Lo kenapa berubah, San?”
“Gue…” Sandra tampak gelisah. Dia mencoba menstabilkan kembali perasaannya dengan menggigit bibir bagian bawahnya. “Gue… nggak mau lo terlalu deket sama gue, Riv. Gue nggak mau pacar lo marah ke gue,” Akhirnya Sandra berani mengangkat kepalanya.
Rivo mengerutkan dahinya, “Pacar?”
“Lisa.”
“Ya Ampun. Jadi lo juga percaya gossip dari Genk-nya Elsa, San?” Rivo tampak tidak habis pikir. Dia menampilkan deretan giginya yang rapi dan menggeleng-gelengkan kepalanya, heran. “Gue nggak nyangka lo percaya sama gosipnya mereka. Kan lo yang bilang sendiri, mereka itu tong kosong berbunyi nyaring, San..”
Sandra menampakkan ekspresi datarnya. Dia masih tidak mengerti apa maksud Rivo, “Jadi?”
Rivo terkekeh melihat ekspresi Sandra yang sudah lama tidak dilihatnya itu, “Mana mungkin gue pacaran sama Lisa. Dia itu ditaksir sama Reyn. Masa iya gue mau ngerebut pujaan hati temen gue sendiri. Aneh, lo..” kata Rivo sambil mengacak-acak rambut Sandra gemas.
Ada seulas senyum di bibir Sandra sekarang, “Tapi gue masih bingung, Riv..”
“Kenapa?”
“Nah, kenapa lo masih peduli sama gue? Padahal kan gue udah sinis sama lo,”
Rivo menampilkan senyum mautnya lagi, “Bagi gue lo itu lebih dari sekedar sahabat. Jangan heran kalo gue masih peduli sama lo walaupun lo sinis sama gue. Gue tau kok lo pasti punya alasan kuat bersikap kaya gitu. Gue kenal banget sama lo. Karna gue disini buat lo, San..”
Kedua alis Sandra hampir tertaut satu sama lain. Dia masih berpikir apa maksud dari jawaban Rivo ini. Matanya tertarik menatap rintik hujan yang semakin lebat saja. Hawa dingin makin masuk hingga menusuk tulang. “Maksudnya?”
Rivo lagi-lagi menghela napas panjangnya, “Jadi lo belum tau, ya, San?”
Sandra menggeleng cepat. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang akan dikatakan Rivo. Jantungnya berpacu cepat sekali.
“Payah! Kita kan dijodohin dari kecil, San..”  
 Manik hitam Sandra membulat seketika, “Hah?”
“Jadi jangan takut gue lupain, jangan takut gue abaikan. Gue akan selamanya buat lo, San.” Jawab Rivo yang membuat darah Sandra berdesir-desir. “Eh, sekarang ngaku, deh. Lo cemburu, kan, pas gue di gosipin pacaran sama Lisa?” Lanjutnya sambil tersenyum jahil. Alisnya tampak naik turun.
“Enggak, kok..”
Rivo menyeringai manis, “Bohong. Buktinya lo sampe ngambek, gitu..”
Sandra tampak berpikir keras. Dia sedang berusaha mencari sesuatu agar bisa mengalihkan perhatian Rivo yang sedang memojokkannya. “Eh, udah reda, gue mau pulang, Riv..”
Kali ini Rivo mengalah lagi. Dia memang tidak bisa memaksa Sandra mengakui sesuatu walupun sudah jelas terlihat. “Okelah..”
Sandra tersenyum menang. Dia berhasil mengalihkan topik pembicaraan mereka. Dia tau Rivo tidak pernah berusaha memperjelas jawaban yang sengaja tidak terjawab oleh Sandra. Setidaknya, kali ini dia tidak perlu menjawab pertanyaan Rivo itu.
“San, tapi kalo kita beneran jadi dijodohin, lo mau nerima gue nggak?” Rivo spontan bertanya sekedarnya. Dia hanya ingin mendengar bagaimana respon Sandra sekarang.
Sandra bergumam di dalam hatinya, ‘Semoga kita memang berjodoh, Riv..’
“Mungkin… Entahlah..”  Sandra yang sudah duduk membonceng di belakang Rivo menarik kedua sudut bibirnya. Sekarang, dia merasa hatinya memiliki kepastian. Rivo hanya untuknya, selamanya…
***
Apabila masih menemui typo atau
kata yang belum benar mohon kritik
dan sarannya agar diksi saya bisa lebih
baik lagi ke depannya.
Thanks for reading~
-Mia

2 komentar:

  1. Bagus mi, karakter Sandranya *sedikit* mirip sm writer nya wkwk *peace n.nv

    BalasHapus
  2. Haihh, makasiiih;3 Emang iya mirip aku yaa hmm hahaha

    BalasHapus